Presiden Jokowi Seng Ada Lawan?
"JIKA pemilu dilakukan hari ini, Jokowi akan terpilih kembali sebagai presiden!" Pesan itulah yang kita dapatkan, atau setidaknya sedang coba dibangun ketika kita membaca hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas dan SMRC.
Kesimpulan itu tidak salah bila kita hanya membaca data yang disajikan oleh kedua lembaga tersebut.
Litbang Kompas menyebutkan pada bulan April tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi cukup tinggi, 63.1 persen. Elektabilitasnya 41.6 persen.
SMRC angkanya malah lebih tinggi. Tingkat kepuasan publik atas kinerja Jokowi 67 persen dan elektabilitasnya 53.7 persen.
Menguntit di bawah Jokowi adalah Prabowo Subianto. Data Litbang Kompas menyebutkan, rival lama Jokowi di Pilpres 2014 itu elektabilitasnya hanya 22.1 persen. SMRC menyebutnya 37.2 persen. Jadi jauh tercecer di belakang.
Tingkat kepuasan publik atau kalau di Amerika Serikat disebut sebagai job approval rating, adalah sebuah standar untuk mengukur apakah seorang incumbent berpeluang terpilih kembali. Turunannya adalah elektabilitas alias tingkat keterpilihan.
Ada tiga indikator sebenarnya untuk mengukur apakah seorang kandidat berpeluang terpilih: Popularitas, disukai/kedisukaan dan elektabilitas (keterpilihan). Kepuasan publik atas kinerja kira-kira sama dengan kedisukaan atas kandidat yang tidak sedang menjabat atau penantang.
Rumus itu kesannya seolah sudah baku. Jika tingkat kepuasaan publik atas kinerjanya sangat bagus, maka hampir dipastikan seorang incumbent akan terpilih kembali.
Jadi kesimpulan “Jika Pilpres dilakukan saat ini (saat jajak pendapat dilakukan), maka Jokowi dipastikan akan terpilih lagi, tidak terlalu salah.
Namun namanya politik, apalagi kontestasi jabatan presiden tidaklah hidup di ruang hampa, banyak variabel berpengaruh yang sifatnya dinamis dan berubah-ubah. Yang paling utama adalah kebijakan dan kinerja sang pejabat.
Masih ada waktu dua tahun lagi untuk mengevaluasi kinerja Jokowi. Masih banyak waktu bagi para penantangnya untuk berbenah dan menyiapkan diri.
Khusus untuk Indonesia, utamanya di kalangan orang Jawa ada juga kalkulasi dan pertimbangan mistis, seperti istilah yang biasa kita dengar, “Satrio piningit”.
Dalam kosmologi Jawa, Satrio piningit adalah seorang kesatria yang sedang bersembunyi. Dia sedang bertapa, dan ketika waktunya tiba, dia akan muncul dan menyelamatkan Indonesia. Dalam khasanah pemikiran agama, dia semacam Isa Almasih, Mesiah.
Sebuah bangsa yang dipimpin oleh satrio piningit, digambarkan sebagai negara yang “Gemah ripah loh jinawi. Toto tentrem kertorahardjo.”
Rakyatnya hidup makmur berkelimpahan. Semua aspek khidupan tertata, pemerintahannya adil, hukum ditegakkan, tentram dan berbahagia. Hmmm kedengarannya kok Indonesia banget ya.*
Pasti belum lupa kemunculan Jokowi di pentas nasional, juga dibungkus dengan cerita-cerita mistis semacam itu. Apalagi Jokowi adalah priyayi Solo yang hidup di tepian bengawan, di kaki Gunung Lawu. Hidupnya sangat bersahaja, profilnya sangat pas dengan gambaran itu.
Andaikan istilah Satrio piningit itu kembali muncul pada Pilpres 2017, dipastikan figur itu bukan Jokowi. Mengapa? Karena dia sudah muncul, tidak dipingit lagi, tidak sedang bersembunyi. Kinerjanya juga sudah bisa kita ukur, apakah Indonesia sudah menjadi negara "Gemah ripah loh jinawi. Toto tentrem kertorahardjo?” Anda bebas menentukan penilaian sendiri.
Bagi kita yang memahami marketing politik, cerita dan sebutan semacam itu hanyalah semacam gimmick agar jualannya laku. Barang jualannya sama, hanya bungkusnya, packaging-nya yang berbeda, beda.
Kepuasan dan elektabilitas tidak jadi jaminan
Bagi Anda yang berminat menjadi kandidat presiden, atau setidaknya menjagokan seseorang untuk maju sebagai kandidat presiden, tidak perlu kecil hati melihat hasil berbagai survei. Apalagi kemudian balik badan, mengundurkan diri. Lembaga survei juga dikelola manusia biasa, bisa salah, khilaf dan lupa.
Sudah banyak terbukti lembaga survei salah memprediksi. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Amerika Serikat yang dianggap sebagai mbahnya Demokrasi.
Jangan lupa ada juga lembaga survei yang sengaja menyembunyikan atau membalikkan hasil jajak pendapatnya karena tidak sesuai dengan pesanan, atau kehendak hati.
Yang juga mungkin bisa membesarkan hati, banyak kok contoh tingkat kepuasaan atas kinerja dan elektabilitas yang tinggi, tidak selalu menjadi jaminan seorang _incumbent_ akan terpilih lagi. Contohnya banyak bertebaran di dalam maupun luar negeri.
Yang paling aktual dan masih terbayang di depan mata adalah fenomena Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama alias Ahok.
Soal popularitas, kurang apa populernya. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa di Jakarta --bahkan mungkin di Indonesia— siapa yang tidak kenal dengan Ahok.
Soal kepuasaan atas kinerja, menurut sejumlah survei, nilai Ahok juga cukup tinggi, di atas 70 persen. Elektabilitas jangan di tanya, di atas 50 persen.
Pada waktu itu semua lembaga survei dan pengamat menyatakan dengan pasti “Ahok seng ada lawan.” Bila ada lawan yang berani menantang Ahok, dipastikan akan ke laut.
Bahasa lembaga survei juga sama. “Jika pilkada dilakukan hari ini, maka Ahok akan terpilih kembali.” Persis sama kan?
Fenomena yang sama juga terjadi di pilkada DKI 2012. Gubernur incumbent Fauzi Bowo (Foke) adalah pejabat yang sangat populer dengan elektabilitas tinggi.
Selain didukung puluhan partai politik, keperkasaan Foke juga ditopang oleh fakta bahwa dia adalah putra Betawi, berpendidikan tinggi, sangat menguasai birokrasi. Sebagai pejabat karir dia sangat menguasai seluk beluk Jakarta. Pendek kata Foke adalah figur kandidat yang ideal.
Penantangnya adalah Jokowi. Walaupun namanya sudah mulai meroket, harap dicatat Jokowi “hanyalah” seorang walikota Solo yang nun jauh di sana dari ibukota. Yang satu anak Menteng dan yang lainnya adalah anak kampung dari Kragan, Karang Anyar, Jawa Tengah.
Toh keperkasaan Foke tumbang di tangan Jokowi. Jalan hidup kemudian membawa Jokowi menjadi Presiden RI.
Di tingkat provinsi kita juga bisa menyebut nama mantan Gubernur Banten Rano Karno. Sebagai incumbent Rano juga ditopang popularitas yang sangat tinggi. “Tukang insinyur” yang sangat populer dalam sinetron “Si Doel Anak Betawi” ini tak berhasil memaksimalkan posisinya sebagai _incumbent_ dan publik figur yang sangat populer.
Rano tumbang di tangan mantan Walikota Tangerang Wahidin Halim yang berpasangan dengan Andika Hazrumy. Sebagai catatan Andika adalah anak dari Ratu Atut Chosiyah, gubernur yang digantikan oleh Rano karena kasus korupsi.
Masih ada figur lain yang punya popularitas dan elektabilitas sangat tinggi, tapi juga kalah dalam pilkada.
Kali ini kita mundur ke tahun 2013 dengan lokasi di Jawa Barat. Dengan bekal wajah tampan, bentuk tubuh tegap, popularitas sebagai bintang sinetron dan iklan, Dede Yusuf yang saat itu menjadi Wagub Jabar adalah figur sempurna. Tapi ketika berlaga, Dede kalah juga.
Sebaliknya ada figur yang sangat populer tapi dalam konotasi yang berbeda. Setiap hari jadi bahan olok-olokan para kritikus dan komedian di media dan televisi. Bentuk jambulnya yang ikonik banyak mengilhami pembuat kartun dan menjelma menjadi meme-meme yang menarik.
Namun dia ternyata kemudian terpilih menjadi presiden sebuah negara adikuasa Amerika Serikat. Dia adalah Donald J Trump Presiden AS ke-45.
Cerita tentang Trump ini juga sangat fenomenal. Dari 20 lembaga survei yang membuat jajak pendapat sampai 80 kali, 19 diantaranya meramalkan Trump akan kalah. Maklumlah lawannya adalah Hillary Clinton. Sebagai mantan Menlu dan istri mantan Presiden Bill Clinton yang sangat sukses, Hillary didukung media, kelompok usaha besar, para artis, bahkan sampai para pemilik dan petinggi perusahaan IT sekelas Google dan Facebook.
Dengan bekal itu semua Hillary sangat percaya diri. Hasilnya seperti kita ketahui, Hillary kalah. Hanya satu lembaga survei yang dengan tepat memprediksi kemenangan Trump. 19 lembaga survei berpengaruh termasuk RealClearPolitics, dan The Upshot yang dibuat oleh The New York Times, salah memprediksi. Ini sebuah malapetaka bagi dunia survei di AS. Mereka lupa, bahwa kemampuan manusia ada batasnya.
Dunia politik adalah sebuah dunia yang juga penuh dengan anomali. Rumus matematika jauh lebih rumit dan complicated dari sekedar satu tambah satu, sama dengan dua.
Politik perut dan hati
Bila kita hanya menyandarkan perhitungan pada lembaga survei, Jokowi seperti halnya Ahok, “seng ada lawan.”
Bedanya dengan Ahok, Jokowi punya kekuatan lebih, yakni sikapnya yang santun, rendah hati dan ucapannya terjaga.
Jadi bila Anda calon penantang Jokowi jangan berharap durian runtuh dengan memanfaatkan kelemahan pribadi Jokowi. Tidak akan ketemu. Kalau dalam dunia persilatan Anda tidak bisa berharap “menjatuhkan dengan meminjam tenaga lawan.”
Lihatlah aksi terbarunya ketika berkunjung ke “kandang maung” Tasikmalaya dan Ciamis, Jawa Barat akhir pekan lalu. Dia bisa dengan santai mendatangi sebuah wilayah yang pernah menjadi sumber “gempa,” bagi pemerintahannya.
Gempa yang bersumber di Ciamis itu kemudian menjalar kemana-mana dan merambat menuju Jakarta, yang kemudian dikenal sebagai Aksi Bela Islam (ABI) III-212.
Jokowi sangat sadar bahwa ABI I-V yang dipicu oleh penistaan agama oleh Ahok bisa menggerogoti basis pemilihnya di kalangan umat Islam. Karena itu dia segera bergerilya.
Jika kita perhatikan dengan cermat Jokowi menerapkan prinsip quick wins, yakni meraih kemenangan-kemenangan tercepat, dengan mendekati kantong-kantong pemilih Nahdlatul Ulama (NU).
Hubungannya yang sangat dekat dengan Ketua Umum PB NU KH Said Agil Siradj betul-betul dimanfaatkannya sebagai pintu masuk ke pasar pemilih nadliyin. Sebuah langkah yang cerdas, jeli dan berani.
Ibarat kue, warga nahdliyin adalah potongan kue terbesar dalam talam pemilih Indonesia. Jadi setidaknya basis dukungan yang sempat tergerus akibat ABI, telah berhasil dia pulihkan.
Hati dan perasaan umat Islam tengah dia coba rebut kembali.
Jokowi agaknya sangat sadar untuk memenangkan sebuah peperangan, dia harus berhasil merebut hati dan perasaan pemilih.
Faktor lain yang agaknya kini tengah Jokowi mati-matian jaga adalah masalah perut alias ekonomi.
Masalah ekonomi dan tentu di dalamnya pembangunan berbagai infrastruktur, akan menjadi pertaruhan terbesar Jokowi. Situasi ekonomi dunia maupun dalam negeri agaknya tidak terlalu berpihak kepada Jokowi.
Kenaikan listrik yang hingga kini mencapai 300 persen, program tax amnesty, intensifikasi pajak berupa kewenangan pemerintah untuk bebas mengintip tabungan warga, merupakan indikasi ekonomi di bawah pemerintahan Jokowi tidak bisa disebut dalam kondisi “sedang baik-baik saja.”
Pembangunan beberapa proyek infrastruktur yang banyak menggunakan bantuan asing –terutama Cina—dengan menggadaikan aset beberapa BUMN, bila salah mengelolanya, bisa menjadi senjata makan tuan bagi Jokowi.
Hampir dapat dipastikan berbagai pembangunan infrastruktur tersebut akan dikebut dan diselesaikan pada tahun 2018, atau setidaknya sebelum Pilpres 2019 berlangsung. Tak heran bila Jokowi sangat marah besar ketika proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, pembangunannya tidak segera dimulai.
Ground breaking sebagai tanda dimulainya proyek mercusuar yang dibiayai oleh investor dan menggunakan teknologi Cina itu sudah dilakukan Januari 2016. Hingga kini, hampir satu setengah tahun berlalu, proyek tersebut masih mangkrak.
Seperti pertarungan politik lainnya, Pipres 2019 adalah pertempuran merebut perut, hati dan perasaan pemilih Indonesia. Keduanya harus saling melengkapi. Hanya sukses meraih hati dan perasaan, tapi perut kelaparan, menjadikan paket dan menu kemenangan Jokowi tidak lengkap. Jangan lupakan pepatah para pecinta kuliner “ Cinta datangnya dari perut, baru kemudian naik ke hati.”* end
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini jadi konsultan media dan politik