Presiden Gus Dur, Buka Lebar Kran Demokrasi
Gus Dur memerintah tidak lama. Hanya 21 bulan. Selama pemerintahanya banyak diwarnai berbagai kontroversi. Hubungan Gus Dur dengan para politisi tidak harmonis. Bahkan, Gus Dur sempat menjuluki DPR tak ubahnya taman kanak-kanan. “Beda DPR dengan teman kanak-kanak tidak jelas,” tandas Gus Dur.
Meski memerintah tidak lama, namun banyak keputusan-keputusan fundamental yang dilakukan Gus Dur. Di antaranya adalah membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan yang sudah ada sejak pemerintahan orde baru.
Departemen Sosial dibubarkan karena dianggap sebagai sarang koruptor. Sedang Departemen Penerangan dibubarkan karena dianggap menghambat pertumbuhan demokrasi. Di era Soeharto Departemen Penerangan menjadi alat pemerintah yang sangat efektif untuk mengontrol media massa. Harmoko menjadi sosok loyalis Soeharto yang begitu lihai menjalankan misi itu.
Dengan dibubarkannya Departemen Penerangan, maka surat ijin pendirian media tidak ada lagi. Euforia pun terjadi. Media tumbuh bak jamur di musim penghujan. Terutama media online. Di era pemerintahan Gus Dur ini, media online memang sedang booming. Media juga bisa memberitakan apa saja dengan bebas, tanpa ada kontrol dari pemerintah.
Sebagai aktivis dan pejuang demokrasi, sejak awal memerintah, Gus Dur menunjukkan komitmennya untuk membuka selebar-selebarnya kran demokrasi. Salah satu hal penting dalam menegakkan demokrasi adalah kebebasan pers. Karena itu, berbagai regulasi yang dianggap bisa menghambat kebebasan pers dihilangkan.
Membubarkan Departemen Penerangan adalah langkah awal Gus Dur untuk mewujudkan prinsipnya itu. Kemudian, Gus Dur membuka akses seluas-seluasnya kepada awal media untuk mendapatkan informasi. Termasuk informasi dari istana. Karena itu, seperti saya paparkan di tulisan sebelumnya, aturan sekrining untuk wartawan yang akan meliput kegiatan presiden di istana juga dihilangkan. Semua jurnalis yang memiliki surat tugas resmi dari kantornya, bisa meliput kegiatan presiden di istana.
Di era Gus Dur, jurnalis di istana mendapat kebebasan yang luar biasa. Bahkan, menurut saya terlalu bebas. Jurnalis kapan pun bisa minta keterangan dari Gus Dur. Istilahnya doorstop. Wartawan tidak dilarang mencegat dan mengerubuti Gus Dur, lalu menyampaikan beberapa pertanyaan. Gus Dur dengan spontan memberikan jawaban.
Jawaban Gus Dur yang spontan, sering kali menimbulkan masalah besar. Sebab, tidak jarang pertanyaan itu sengaja diajukan untuk memancing masalah. Gus Dur pun kadang memberikan jawaban sekenanya. Tidak disertai data kuat. Juga belum dianalisa dampak negatifnya. Akibatnya sering menjadi bumerang yang merugikan Gus Dur sendiri.
Sebagai wartawan yang berlatar belakang NU dan sejak mahasiswa mengidolakan Gus Dur, tentu hal itu menjadi keprihatinan tersendiri bagi saya. Ketika teman-teman jurnalis berlari mengejar Gus Dur, rasa was-was selalu muncul. Saya khawatir muncul isu baru yang akan memanaskan suhu politik di Indonesia. Masalah ini, sering juga saya diskusikan dengan Mas Yahya Staquf, Mas Adhi Masardi dan juga Mbak Yenny. Tapi tetap saja tidak mudah memecahkannya.
Gus Dur sangat menghargai kebebasan pers. Namun fakta di lapangan, kebebasan itu tidak selalu berdampak kebaikan. Kebebasan akan bisa menghasilkan kebaikan ketika dijalankan oleh orang yang sudah dewasa dan matang kepribadiannya. Orang yang sudah bisa memahami dengan betul hak dan kewajibanya. Orang yang sudah memiliki kearifan, untuk menomorsatukan kepentingan bersama dan menekan ego pribadinya.
Menurut pengamatan saya, di era Gus Dur banyak sekali awak media atau jurnalis yang belum matang. Selain masih minim jam terbangnya, di antara mereka juga banyak yang tidak berlatar belakang jurnalistik. Mereka menjadi wartawan sekedar mendapatkan pekerjaan saja. Tidak memiliki idealisme jurnalistik sama sekali.
Mengapa fenomena itu terjadi? Seiring dengan banyaknya media baru yang muncul karena begitu mudahnya mendirikan perusahaan media, akhirnya kebutuhan akan awak media, khuususnya wartawan sangat besar. Lowongan kerja menjadi awak media pun terbuka sangat luas.
Ketersediaan dan kebutuhan tidak imbang. Akibatnya, orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan jurnalistik atau mantan aktivis pers kampus pun dengan mudah menjadi wartawan. Kondisi ini, menurut saya, sedikit banyak berpengaruh terhadap munculnya kehebohan-kehebohan politik di era itu.
Memang, itu bukan faktor satu-satunya. Faktor lainnya adalah, kekurangharmonisan Gus Dur dengan sejumlah awal media. Penyebabnya, seperti saya singgung dalam tulisan-tulisan sebelumnya, tim Gus Dur kurang pandai meramut “hubungan baik” dengan awak media yang ada di sekitarnya. Sementara di pihak lain, para politisi yang tidak suka dengan dirinya, dengan luar biasa bisa menjaga “hubungan baik” itu.
Hubungan kurang baik antara Gus Dur dengan awal media di satu sisi dan hubungan baik politisi anti Gus Dur dan awak media di sisi lain, menurut saya berdampak cukup serius terhadap kestabilan pemerintahan Gus Dur. Karena dari sekian kasus yang muncul dan berakibat pada menurunnya legitimasi politik Gus Dur, banyak yang diakibatkan oleh berita plintiran. Berita itu sengaja diplintir, dibelokkan dari yang sesungguhnya, kemudian digoreng untuk memanaskan suhu politik. Salah satu contohnya adalah munculnya kasus Brunegate.
Saya ingat betul, hari itu Gus Dur memberikan sambutan di sebuah acara di istana. Saya datang meliput. Hanya, saya lupa apa acaranya. Tapi saya ingat betul, dalam sambutan itu Gus Dur menceritakan kalau Sultan Brunei Darusaalam Hassanal Bolkiah telah berkomunikasi ke dirinya. Sultan titip uang zakat sebanyak USD 2 juta agar disalurkan ke rakyat Indonesia.
Gus Dur menyampaikan itu dengan santai. Tidak ada sesuatu yang berusaha disembunyikan. Beliau menuturkan bahwa dirinya dan Bolkiah punya hubungan baik. Bolkiah memandang dirinya sebagai salah satu ulama di Indonesia. Karena itu, Bolkiah percaya menitipkan uang zakat itu. “Nanti segera kita siapkan sistem penyalurannya,” tandas Gus Dur.
Mendengar infomasi itu, saya menanggapinya dengan datar. Tidak menganggap sebagai berita besar. Karena itu, saya tidak menjadikannya sebagai anggel berita. Memang saya tulis. Tapi hanya sekilas, saya singgung di dalam.
Sungguh di luar dugaan, ternyata dalam perkembangannya masalah itu menjadi persoalan politik besar. Para politisi menggorengnya menjadi kasus Bruneigate. Sejumlah jurnalis yang kebetulan kurang suka dengan Gus Dur dengan semangat 45 membloupnya (memberitakan dengan porsi besar). Beberapa wartawan yang lugu, ikut arus itu. Begitu arus itu sudah mengalir dengan besar, maka semua jurnalis mengikutinya. Tidak ada yang bisa mengelak. Akhirnya, semua ikut membloup masalah itu.
Jika sudah demikian, maka kesalahan pun bisa menjadi kebenaran! Terbangun persepsi kuat di masyarakat bahwa kasus Bruneigate memang ada. Itu kesalahan besar. Dan, Gus Dur-lan orang yang melakukan kesalahan itu. Isu itu terus dikembangkan. Terus digoreng dan pada akhirnya mengantarkan pemakzulan atas diri Gus Dur.
Ketika kasus ini awal-awal dilempar ke publik, Gus Dur mestinya sudah menyampaikan kalau dana itu sifatnya zakat pribadi Sultan Bolkiah. Oleh Sultan, dititipkan dirinya yang kebetulan punya hubungan pribadi. Jadi, hubungannya bukan antarnegara (G to G). Melainkan person to person. Karena itulah, Gus Dur merasa tidak melakukan kesalahan apa-apa. Apalagi, Sultan juga sudah berpesan agar pemberian zakat itu memang tidak untuk dipublikasikan.
Bagai berteriak di tengah padang pasir, teriakan itu tidak ada yang mendengarkan. Isu Bruneigate terus digoreng dan dikipasi. Kasus Buloggate yang sudah dimunculkan sebelumnya, menjadi mendapatkan teman. Kasus Buloggate dan Bruneigate, pada waktu itu benar-benar menjadi kasus yang menjatuhkan martabat Gus Dur.
Secara hukum, dua kasus itu akhirnya selesai dengan keputusan bahwa Gus Dur tidak bersalah. Namun, secara politik dua kasus itu telah berubah menjadi bola liar yang dijadikan alasan penguat untuk menjatuhkan Gus Dur dari kursi kepresidenan.
Itulah gambaran betapa berita plitiran telah mampu menghebohkan perpolitikan Indonesia pada waktu itu. Dan jika ditanya, siapa aktor yang ada di belakangnya? Maka jawabannya adalah kolaborasi antara sebagian kecil oknum jurnalis dan politisi. Saya dan beberapa teman yang berlatar belakang nahdliyin, mestinya berusaha menahan agar berita plintiran seperti itu tidak menjadi bola liar. Namun, arus di luar lebih dahsyat. Dan akhirnya, jebol! (habis)
Akhmad Zaini
Mantan jurnalis, kini aktif di IAINU Tuban.
Advertisement