Preambule UUD 45 dalam Perspektif HI
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD
Dosen hubungan internasional – Universitas Jember
Kala mengikuti upacara hari lahir Pancasila di Universitas pada 1 Juni 2023 lalu, dialog kecil terjadi. Selepas pembacaan Preambule UUD 1945, sohib yang berdiri di sebelah saya berkomentar: “Isi pembukaan UUD 45 bagus, ya?! Saya spontan menyahut: “Bukan hanya bagus, tapi juga sarat makna, bahkan antisipatif!”. Dengan frase sarat makna mungkin kita sudah mafhum, karena sifatnya yang filosofis. Laiknya sebuah filosofi, tolok ukurnya bisa dilihat pada luasnya cakupan substansi, kokohnya landasan keyakinan, dan keagungan nilai yang diembannya.
Falsafah juga menyiratkan tujuan. Selain memahami alam semesta, ia juga merenungkan esensi dan eksistensi setiap bagiannya. Mukaddimah UUD 45 mengandung dua dimensi ini. Selain memuat tujuan negara, di dalamnya juga menegaskan landasan filosofisnya, yaitu Pancasila.
Yang menarik, penjelasan Pancasila sebagai falsafah dasar negara (philosofische grondslag atau Weltanschauung) didapatkan dari proses sebelum penetapan UUD 1945. Persisnya, pidato pada sidang Badan Pekerja Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) selama tiga hari, yaitu antara 29 Mei sampai dengan I Juni 1945, yang justru menyediakan penegasan.
Bermula dari pertanyaan Ketua BPUPKI, Dr. KRT Radjiman Wedyoningrat: “Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti, dasarnya apa?”. Bung Karno menjawab: “Saya mengerti apakah yang paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta dasar, minta ‘philosophische grondslag’, atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu “Weltanschauung“, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu. .... Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi ... saya namakan ini Panitia Sila!”.
Dengan demikian, Pancasila bukanlah sekedar pemikiran filosofis, tetapi juga eksistensi diri, sekaligus keinginan yang serius.
Keanggunan tidak berhenti pada isi setiap sila, tapi juga pada susunannya. Professor Notonagoro dari UGM menafsirkannya secara filosofis. Menurutnya, secara substantif Pancasila mengandung nilai-nilai kerohanian, material, dan vital, sedangkan strukturnya bersifat organis, hirarkis dan sistematis. Intinya, antar sila berkaitan dan merupakan kesatuan, serta sila di atas mendarasi sila di bawahnya. Penafsiran filosofis ini merupakan reaksi terhadap upaya mempertanyakan dan mengganti Pancasila.
Sebenarnya, tafsiran filosofis senada sudah bergaung sejak awal 1950-an. Pada peringatan Isra’ Mi’raj 8 Mei 1951 di Istana Negara, Bung Karno menyindir dengan mengatakan bahwa “banyak golongan berdjuang hanja memakai satu (sila) sadja dari dasar itu ... (dan) mengabaikan djuga (sila) jang lain”.
Pada 20 Mei 1951, Buya HAMKA, menanggapinya. Melalui risalahnya, bertajuk “Urat Tunggang Pantjasila”, beliau menegaskan bahwa “Ketuhanan Jang Maha Esa! [merupakan] Sumber hakiki dari segala Sila dan Kesusilaan”. Tafsiran ini melihat bahwa sejak awal bahwa Pancasila merupakan kesatuan organis, bersifat hirarkis, dan sistematis.
Merujuk dialog di antara the founding fathers di atas, sontak muncul 2 hal dalam benak. Yang pertama adalah kegelisahan akan ketimpangan filosofis-praktis.
Jika memang Pancasila adalah kesatuan organis, hirarkis, dan sistematis; sejauh manakah manifestasinya? Misalnya, keadilan sosial pada sila ke lima secara normatif seharusnya berbeda dengan konsep negara lain, karena harus mencerminkan spirit sila-sila di atasnya. Lalu, bagaimana evaluasinya?
Yang kedua, keriangan akademis. Pasalnya, Preambule UUD 45 sekali lagi bisa didekati secara teoritis. Secara historis, sempat muncul keraguan terhadap Pancasila, karena dipandang utopis. Mr. St. Takdir Alisjahbana, misalnya, pernah berkata: “Pantjasila itu berlawan-lawan. (Karena) kemanusiaan tidak sesuai dengan kebangsaan”’.
Ungkapan Ini mencerminkan penilaian pesimistis, karena pendekatan statist akan selalu kontradiktif dengan globalist. Dalam tataran teoritis, pendekatan statist tercermin dalam paradigma Realis yang egoistis, sedangkan globalist terrefleksi pada paradigma Kritis/Normatif yang cenderung kosmopolit.
Sejak tahun 1980-an, pertentangan sudut pandang di atas mulai masuk dalam khazanah teorisasi hubungan internasional. Andrew Linklater, sosok penghubung teori Kritis dan teori Normatif, mulai mengkaji dilema loyalitas imperatif manusia. Isu utamanya, sebagai warga negara, manusia senantiasa dihadapkan pada pilihan loyalitas: Apakah loyal kepada negara (man qua citizen) atau kepada moralitas kemanusian (man qua man).
Melalui teori transformatifnya, Linklater berpendapat bahwa kedua bentuk loyalitas tersebut tidak harus selalu dipertentangkan. Caranya, perlu upaya transformatif untuk melembagakan nilai-nilai global, khususnya dengan universalisasi etik dan moralitas. Argumennya, meskipun lambat tapi pasti, proses ‘keberadaban’ (civilizing process) tengah berlangsung dalam komunitas internasional.
Terdapat perbandingan menarik dalam upaya mendamaikan ketegangan antara ‘kebangsaan’ dan ‘kemanusiaan’ ini. Andrew Linklater melalui bukunya, The Transformation of Political Community: Ethical Foundations of the Post-Westphalian Era (2013), memerlukan 273 halaman untuk membangun argumentasinya; sedangkan Buya HAMKA, melalui risalahnya, Urat Tunggang Pantjasila (1951), hanya memerlukan 38 halaman untuk meyakinkan kita semua. Perbandingan pethek bodhon (kasar) ini, setidaknya menyiratkan bagaimana dalam dan luasnya cakupan substansi filosofis dari Pancasila.
Selain itu, terdapat isu lain yang menarik berkaitan dengan isi pembukaan UUD 45. Tujuan negara yang termaktub di dalamnya berbunyi “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Tujuan ini mungkin dinilai utopis, setidaknya jika dilihat dari perspektif Realis; mengingat kondisi politik dunia yang anarkis. Isu ini mengingatkan saya pada perdebatan antara Randall Schweller dengan Andrew Linklater. Schweller, sebagai sosok Realis, memandang bahwa pelembagaan etik dan moralitas universal tak lebih dari “memimpikan mimpi yang mustahil” (dreaming of impossible dream).
Namun, Linklater menanggapinya dengan elegan. Ia mengatakan bahwa pelembagaan tersebut merupakan “cita-cita untuk diperjuangkan secara politik”. Dalam konteks Pancasila, argumen Linklater ini senada dengan penegasan Bung Karno 54 tahun sebelumnya. Persisnya, dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, beliau mengatakan: “Tidak ada satu Weltanschauung [seperti Pancasila yang] dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perdjoeangan!”.
Elaborasi di atas ini setidaknya menghantarkan pada dua pemahaman. Pertama, Pancasila secara substantif-filosofis lahir mendahului jaman. Argumennya, sejak kelahirannya falsafah dasar negara ini telah mampu menyelaraskan prinsip nasionalisme dan internasionalisme, yang semula dianggap bertentangan. Kedua, bersifat agak hipotetis, prinsip politik luar negeri Indonesia yang ‘bebas-aktif’, dan bukan ‘bebas-pasif’, bisa jadi ditetapkan tidak dalam ruang kosong; mengingat terdapat tujuan negara yang harus diperjuangkan.
Jika renungan dan tafsiran ini logis dan benar, maka, sekali lagi, menunjukkan bahwa kandungan Preambule UUD 45 tak lekang oleh jaman. Selain mengandung nilai filosofis yang dalam, dokumen anggun ini secara teoritis juga mempunyai spirit progressif; selaras dengan spirit transformatif tema hari lahir Pancasila 2023: “Gotong Royong Membangun Peradaban dan Pertumbuhan Global”. Wallahu’alam ...