Prasasti Kemanusiaan di Gua Tham Luang
Seluruh 13 remaja yang terjebak dua pekan di gua Tham Luang itu akhirnya selamat. Di balik operasi penyelamatan yang mendebarkan itu muncul rangkaian kisah yang menggetarkan hati, sekaligus bagai prasasti kemanusiaan yang menjulang.
Begitu banyak orang yang terlibat dengan cara masing-masing demi menyelamatkan jiwa anak-anak yang terjebak di labirin rumit gua sedalam enam kilometer itu.
Seorang ibu pekerja kebersihan rela merawat toilet bagi tim penyelamat dan wartawan di posko penyelamatan, yang dibangun dua kilometer dari lokasi goa.
"Saya akan tetap di sini sampai anak-anak itu selamat," katanya.
Seorang ibu lain, petani, kontan menjadi relawan, dan ketika kemudian air sedotan dari goa yang banjir itu ditumpahkan ke sawahnya dan merusaknya, ia bilang: "Tidak apa-apa (sawah saya rusak). Yang penting anak-anak itu selamat."
Seorang polisi mondar-mandir dengan sepeda motornya dari kota ke area gua, mengantarkan siapa saja yang merasa berkepentingan terhadap nasib anak-anak itu.
Saman Gunan, seorang pensiunan AL ikut masuk tim, menyelam dengan stok oksigen seperlunya sambil membawa tabung2 oksigen untuk anak-anak itu (karena mereka, yang bahkan tak bisa berenang, nanti harus dituntun untuk menyelam). Mantan prajurit berusia 38 itu kehabisan oksigen.
Isterinya meraung sedih. Tapi ia berkata: "Saya akan mengenang kebaikan suami saya ini selama-lamanya." Ayah sang prajurit terpukul berat kehilangan anak kesayangannya. Tapi, "Saya bangga anak saya rela berkorban untuk anak-anak itu."
CEO SpaceX Elon Musk datang ke posko membawa prototipe kapal selam mini yang diberinya nama sesuai nama klub bola anak2 itu: Wild Boar. Kapal selam rancangannya, kata Musk, memang didesain untuk anak-anak dan mereka tidak harus ikut menyelam saat diselamatkan.
Kapal selam Musk tak sempat digunakan. Tapi ia meninggalkan karyanya di dekat goa Tham Luang, untuk berjaga-jaga -- sekaligus sebagai penghormatan dan kenang-kenangan tentang peristiwa dramatis itu.
Seorang remaja Inggris keturunan Thai datang ke Tham Luang untuk menjadi penerjemah bagi jurnalis asing dan semua yang peduli. "Saya ingin anak-anak itu selamat," katanya. Dia gembira bisa ikut menyumbangkan kemampuannya untuk proyek kemanusiaan itu.
Para penyelam profesional Inggris, Denmark, Australia, Swedia dan lain-lain berdatangan. Mereka sehari-hari berprofesi sebagai dokter, konsultan IT, pengusaha. Seorang pencari walet yang mengenal labirin Tham Luang ikut bergabung dalam tim.
Tiada seorang pun di antara mereka yang mengenal anak-anak Wild Boar, yang rata2 berusia 11-16 , dan sang pelatih eks biksu yang berumur 25.
Kita bisa bayangkan betapa mendalam kesan tentang simpati yang meluap-luap itu pada diri anak-anak Wild Boar dan orangtua mereka.
Seiring pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi, meningkat pula rasa kesatuan kemanusiaan.
Mereka tak harus membalas budi kepada orang-orang yang menolong mereka secara langsung, karena budi semacam itu tak mungkin dibalas.
Cukuplah mereka membalasnya dengan cara menolong orang-orang lain yang membutuhkan. Dengan alasan sama seperti orang-orang itu dalam menolong mereka: semata-mata karena mereka manusia.
Bandara HLP, 11 Juli 2018
Advertisement