Prancis Bertanggungjawab Genosida Rwanda, Kata Macron
Prancis mengakui bertanggungjawab dan meminta maaf atas genosida Rwanda yang menyebabkan 250 ribu orang meninggal dunia pada 1994.
“Dengan berdiri di samping Anda di sini hari ini, dengan kerendahan hati dan rasa hormat, saya telah menyadari tanggung jawab kami. Tetapi Prancis memiliki peran, sejarah, dan tanggung jawab politik di Rwanda. Dan itu memiliki tugas: untuk melihat sejarah secara langsung dan untuk mengetahui penderitaan, yang telah ditimpakan pada rakyat Rwanda dengan membiarkan keheningan menguasai pemeriksaan kebenaran terlalu lama".
Demikian diungkapkan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, ketika menghadiri peringatan tragedi genosida di Ibu Kota Kigali, Rwanda, Kamis 27 Mei 2021.
Pada peringatan yang dihadiri pula oleh Presiden Rwanda, Paul Kagame itu, Macron mengatakan, ketika terlibat dalam kekejaman 1994 silam tersebut, Prancis tidak memahami bahwa memblokir konflik regional atau perang saudara, secara de facto mendukung rezim genosida.
Memblokir Konflik Regional
“Prancis tidak memahami bahwa dengan ingin memblokir konflik regional atau perang saudara, secara de facto berdiri oleh rezim genosida,” tambahnya.
Kehadiran Macron turut ditanggapi oleh Pemimpin Partai Oposisi Rwanda, Victoire Ingabire, yang sebelumnya pernah dipenjara selama delapan tahun oleh pemerintah setempat karena memprotes terkait genosida Rwanda.
Ingabire menyebut, Prancis perlu melibatkan demokrasi dalam penegakan HAM di sana.
“Saya terkejut mendengar bahwa Macron hari ini berbicara tentang masa lalu dan masa depan. Tetapi jika Anda ingin berbicara tentang masa depan yang lebih baik untuk Rwanda, Anda harus melibatkan demokrasi. Tanpa menghormati hak asasi manusia, kami tidak dapat mencapai perdamaian dan stabilitas,” ucap Ingabire dalam sebuah wawancara di Aljazeera.
Fakta Keterlibatan Prancis
Bagi Presiden Rwanda, Paul Kagame, pengakuan Macron terhadap tanggungjawab atas genosida Rwanda adalah sesuatu yang lebih dari sebuah permintaan maaf.
“Ucapan-ucapannya adalah sesuatu yang lebih berharga dari sebuah permintaah maaf dan ucapan-ucapan itu adalah suatu kebenaran,” ujar Kagame.
Lawatan Macron ke Rwanda merupakan yang pertama sejak satu dekade lalu.
Kunjungan itu menyusul rilis laporan panel penyelidikan Prancis pada Maret, yang mengatakan sikap kolonial telah membutakan para pejabat Prancis dan pemerintah memikul tanggung jawab "serius dan luar biasa" karena tidak meramalkan pembantaian itu.
Tapi, laporan itu membebaskan Prancis dari keterlibatan langsung dalam pembunuhan lebih dari 800 ribu Tutsi dan Hutu moderat. Hal yang sama disampaikan Macron dalam pernyataanya di Kigali.