Praktik Kearifan Lokal: Selandia Baru dan Indonesia
Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern mengumumkan akan mundur dari dari jabatannya sebagai Perdana menteri yang didudukinya sejak 2017. PM perempuan termuda (40 tahun) dari Partai Buruh tersebut secara resmi akan mundur pada akhir Februari 2022. Selanjutnya calon penggantinya akan dipilih dari Ketua Partai Buruh yang baru pada awal Februari. Dan setelah itu akan bersaing dengan Ketua Partai Nasional untuk memperebutkan posisi PM.
Yang menarik dari pengunduran diri Jacinda adalah alasan bahwa jabatan PM adalah jabatan istimewa yang membawa tanggung jawab. Tanggung jawab untuk "tahu kapan menjadi orang tepat untuk memimpin dan juga kapan berhenti tidak memimpin lagi”. Karena saya tidak faham maksudnya, saya tanyakan kepada teman saya orang Selandia Baru Mr GL, seorang geolog yang saya kenal ketika terjadi semburan lumpur (gas panas) di - Lapindo Brantas”.
Wujud Kearifan Lokal
Ia mengatakan bahwa pernyataan itu merupakan wujud dari kearifan lokal bangsa Selandia Baru yang multikultural. UUD Selandia Baru, sesuai dengan perjanjian Waitangi pada 1946; menjunjung tinggi nilai multikulturalisme dan mengakui suku Maori sebagai suku asli berikut budayanya. Pernyataan tersebut adalah nilai utama atau bagian kepribadian suku Maori yang diadopsi oleh bangsa Selandia Baru, baik orang Maori, pendatang Eropa dan pendatang dari Asia dan Pasifik.
Mari kita renungkan bersama bahwa Indonesia terbentuk pada proklamasi dan berdasarkan Pancasila yang disepakati secara bulat (musyawarah/mufakat dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945). Para pendiri bangsa sepakat bahwa “Panca Sila adalah Dasar Negara“, sekaligus visi, filsafat, staats fundamental norma dan ideologi bangsa. Dengan kata lain Pancasila adalah intisari kearifan lokal bangsa kita.
Bandingkan dengan bangsa Indonesia, yang lebih dari sekali pemimpin tertinggi bangsa abai terhadap kearifan lokal. Sila ke-4: Kerakyatan yang dipimpin hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kerakyatan bermakna, kepala negara bukanlah raja, tetapi warga negara yang hanya dipilih dalam jangka waktu tertentu sesuai UUD.
Namun dalam kenyataannya, Presiden Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup dan Presiden Soeharto menjabat hampir 30 tahun. Keduanya lengser secara tidak wajar, pada hal keduanya mengukir success story dan dikenang sebagai pemimpin yang tampil pada situasi nasional dan dunia dalam suasana perang dingin yang lebih sulit dibanding saat ini.
Mari kita perhatikan secara seksama beberapa “kata kunci“ dalam sila keempat Pancasila. Ada beberapa kata khas yang mencerminkan kearifan para pendiri bangsa atau suatu visi yang berbeda dengan bangsa lain. Kata “kerakyatan” dipilih dan bukan kata “demokrasi”. Bukankah demokrasi seperti dalam pengertian Barat adalah voting disertai spirit “the winner take all”.
Menurut para pendiri bangsa, demokrasi Indonesia adalah musyawarah/mufakat. Dan hal itu akan tercapai jika kita memahami dan meresapi makna kata “hikmah" dan “bijaksana“. Kedua kata itu bisa dicapai, kalau kita mampu memelihara keseimbangan rohani dengan akal sehat, “sifat keakuan” dengan “kekitaan” dan mengedepankan hasrat kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi-golongan/partai.
Mungkin kita patut merenungkan apa yang dikemukakan PM Selandia Baru, Jacinda Arden, suatu pernyataan bijaksana yang didasarkan pada kearifan bangsanya. Beliau dianggap oleh dunia sebagai PM perempuan termuda yang paling sukses dan menjabat sejak umur 33 tahun dan berhenti pada usia 40 tahun. Meskipun negara kecil, tetapi berani menolak kapal perang bertenaga nuklir Amerika Serikat - Australia melewati perairan laut negaranya.
Mari kita tunjukkan bahwa bangsa Indonesia memang bangsa besar dan bukan bangsa kerdil yang bernyali kecil. Vivere Veri Coloso atau berani nyrempet- nyrempet bahaya kata Bung Karno.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Politik, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Penulis buku "Perjalanan Intelijen Santri" (2021).
Advertisement