Prabowo vs Anies Soal Tanah
Oleh: Djono W. Oesman
Satu kelemahan Capres Prabowo Subianto: Emosional. Prabowo pun tahu itu. Ia ungkap sendiri di kampanye di Bengkulu, Kamis, 11 Januari 2023. Dan, ia katakan, tidak akan mengubah sikap. “Saya dari dulu memang bicara apa adanya,” ujarnya.
—-----------
Itu terkait pernyataan Prabowo dua hari sebelumnya, saat sambutan di acara konsolidasi relawan se-Provinsi Riau di Gelanggang Olahraga Remaja, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024. Ia katakan begini:
“Saudara-saudara, ada pula yang menyinggung-nyinggung, saya punya tanah berapa. Dia pintar atau goblok, sih?”
Meski Prabowo tidak sebut nama, tapi orang yang menyinggung itu adalah Capres Anies Baswedan saat Debat Capres, Minggu, 7 Januari 2023. Ketika itu Anies bertanya tapi dengan tujuan mengungkap, tanah milik Prabowo 340.000 hektar.
Nah, kata Prabowo “Pintar atau goblok” inilah disoal publik. Ramai di medsos. Kubu pendukung Anies menganggap itu sebagai penghinaan (terhadap Anies). Sebaliknya, Kubu Prabowo menyatakan, bukan penghinaan. “Itu mah, biasa,” ujar mereka.
Terpenting, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, saat ditanya wartawan di kantor Mahkamah Konstitusi, Rabu, 10 Januari 2024, mengatakan soal itu, begini:
"Tentang menghina ya? Bisa dijerat Pasal 280 UU Pemilu."
Berdasar Pasal 280, Ayat 1 huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), penghinaan terhadap kandidat, pelaku akan dihukum penjara paling lama dua tahun. Ditambah denda maksimum Rp 24 juta.
Rahmat: “Tapi itu kalau ada laporan dari Panwas Lapangan. Tapi sampai sekarang belum ada laporan, tuh.”
Ditanya wartawan, bahwa pernyataan Prabowo, kan tidak menyebut identitas orang yang dimaksud? Juga dalam kalimat tanya: “Pintar atau bodoh, sih?” Maksudnya, bukan goblok murni.
Rahmat: "Nanti kita lihat dulu, konteksnya apa, dan menyasar siapa. Kalau sanksi itu, harus tegas menyasar siapa? Pemeriksaan itu harus tegas menyasar siapa dan itu bagian yang tidak bisa lepas. Kita akan lihat prosesnya.”
Lantas muncul pertanyaan publik, mengapa Panwas Lapangan tidak melapor ke Bawaslu? Apakah mereka menganggap itu bukan penghinaan, atau bagaimana? Jika diterus-teruskan persoalan ini bakal berputar-putar seperti lingkaran kerupuk ukel, melingkar meliuk-liuk tanpa ujung.
Kampanye di Pilpres kali ini ruwet seperti lingkar-melingkar kerupuk ukel itu. Kelihatan rumit tapi tanpa gizi. Di panggung yang serius (Debat Capres) tapi isinya remeh-temeh.
Bukan berarti tokoh-tokoh yang berdebat itu bebal. Tidak. Mereka tidak bebal. Mereka justru cerdas. Berpedoman pada statistik. Bahwa rata-rata lama sekolah populasi Indonesia, berdasar hasil sensus penduduk oleh Badan Pusat Statistik (BPS), 2020, tercatat 8,7 tahun laki-laki, 8,5 tahun perempuan. Artinya, rata-rata lama sekolah masyarakat kita putus sekolah di kelas sembilan. Atau tidak lulus SMP. Lebih jelas lagi, mayoritas rakyat kita berijazah SD (data BPS).
Nah… Pilpres kan soal jumlah coblosan. Kalau jumlah coblosan banyak, kandidatnya menang. Jadi, para kandidat yang cerdas, bakal menyasar publik yang mayoritas (tamatan SD). Ngapain, menyasar yang minoritas, misal, mereka yang bergelar doktor. Bakal sia-sia. Sehingga, perlu atraksi seolah-olah rumit. Serumit kerupuk ukel.
Akar masalah ini sederhana. Di Debat Capres, Anies menyerang Prabowo: Bahwa Prabowo selaku Menteri Pertahanan punya tanah 340.000 hektar. Dikomparasi Anies: Bahwa setengah dari total jumlah prajurit TNI di Indonesia justru tidak punya rumah.
Suatu komparasi yang sangat cerdas. Mengorek rasa iri hati prajurit TNI yang tidak punya rumah. Prajurit akan membandingkan kondisi mereka dengan atasan mereka (Menhan Prabowo). Bakal iri. Supaya prajurit yang tidak punya rumah, tidak mencoblos Prabowo di Pilpres. Cerdas.
Sejenis komparasi: Mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mampu makan nasi sepuluh kali per hari (jika mau). Dibanding, banyak rakyat Jakarta yang terpaksa makan nasi sekali per hari, karena terlalu miskin. Bakal memicu iri hati rakyat yang terpaksa makan sekali atau dua kali per hari.
Lebih melenceng lagi, contoh komparasi begini: “Untung, sekarang Anda masih hidup. Banyak teman-teman Anda sudah pada mati, lho…”
Maaf, komparasi yang terakhir ini tidak relevan terkait konteks masalah. Saya ralat. Saya tarik kembali. Sebab, orang-orang mati tidak bisa iri, lagi. Juga tidak mungkin mencoblos di Pilpres. Tidak relevan.
Ironinya, ternyata bukan terletak di komparasi luas tanah milik Menhan Prabowo dibanding prajurit TNI itu. Bukan. Melainkan, pernyataan Anies itu ditimpali mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, yang merupakan guru Anies Baswedan. Dengan kalimat begini:
“Tanah yang dikuasai Prabowo itu merupakan hasil pembelian dari pabrik kertas PT Kiani Lestari milik Bob Hasan. Dibeli Prabowo pada 2004. Cash. Saya saksinya. Bukan pemberian negara.”
Kalla kepada pers, Rabu (10/1) melanjutkan: "Prabowo datang ke kantor saya. Ia ingin membeli pabrik kertas PT Kiani Lestari yang macet di Bank Mandiri. Lalu saya telepon Dirut Bank Mandiri (waktu itu) Agus Martowardojo. Dikatakan Agus, boleh dibeli asal cash USD 150 juta. Akhirnya dibeli kontan oleh Prabowo.”
Soal tanah Prabowo, juga sudah dijelaskan Prabowo kepada wartawan, Selasa (9/1) begini:
“Yang benar, tanah saya 500.000 hektar. Bukan 340.000 hektar seperti dikatakan Pak Anies. Tanah itu saya beli cash. Lalu pada dua setengah tahun lalu, saya serahkan tanah itu semuanya kepada Bapak Presiden Jokowi, untuk digunakan negara.”
Prabowo cerita, bermula sekitar tiga tahun lalu. Ia ditugaskan Presiden Jokowi menggarap proyek food estate untuk mengantisipasi krisis pangan. Lalu Prabowo mengatakan ke Presiden Jokowi, begini:
"Saya sampaikan ke bapak presiden: Bapak presiden, kalau lahan ini dibutuhkan untuk lumbung pangan bangsa Indonesia, pakai saja lahan HGU milik saya ini. Gunakan. Saya siap. Ikhlas. Lantas, kita menggarap itu."
Dari kronologi di atas, kelihatan jelas. Debat Capres compang-camping. Di forum serius itu, kandidat bicara tanpa dilengkapi data. Tanpa data, dan keliru pula.
Keliru bukan cuma pada luasan tanah (dari pernyataan 340.000 hektar, yang sesungguhnya 500.000 hektar). Lebih gila lagi, tanah seluas itu sudah disumbangkan Prabowo ke negara Indonesia pada dua setengah tahun silam. Padahal tanah itu pada 2004 dibeli Prabowo, cash. USD 15 juta (dengan nilai kurs sekarang Rp 2,33 triliun).
Belum ada orang Indonesia yang ikhlas menyumbang ke negara sebesar itu. Prabowo di pernyataannya malah tidak menyebut harga tanah tersebut. Seolah angka USD 150 juta tidak penting. Penyebut angka itu malah Jusuf Kalla, yang gurunya Anies. Ironi kontra ironi.
Tapi, begitulah para kandidat presiden kita sekarang ini. Mereka orang-orang cerdas yang bermain akrobat kata-kata. Lalu kata-kata mereka bagai menyihir rakyat Indonesia. Yang berdasar data BPS, mayoritas berijazah SD. Demi perbanyak jumlah coblosan (vote).
Di mata mayoritas rakyat, akrobat itu kelihatan sangat rumit, meliuk-liuk. Seperti lingkar-melingkar kerupuk ukel. Disambut rakyat dengan tempik-sorak. Meskipun tanpa gizi.
Tapi, kandidat memang harus begitu, kalau mau menang Pilpres. Tidak mungkin mereka kampanye dengan materi kebalikannya. Sebab, tak ada kandidat bertujuan kalah.