Prabowo Presiden, Kembalinya Politisi Darah Biru
Pelantikan Presiden RI ke-8 Prabowo Subianto seakan menandai pergeseran wajah politik baru di Indonesia. Setelah dua periode kepemimpinan Indonesia dalam kendali presiden yang berasal dari orang biasa, kini kembali ke pemimpin darah biru. Pemimpin yang berasal dari keturunan para pemimpin di masa lalu.
Akankah wajah baru kepemimpinan nasional itu akan mengubah dinamika politik Indonesia mendatang? Masihkah mungkin muncul generasi baru dari ‘’orang biasa’’ yang tampil dalam kepemimpinan nasional? Kalau bisa mereka akan muncul dari jalur kaderisasi politik seperti apa? Ataukah ke depan kepemimpinan nasional hanya menjadi ajang perebutan darah biru politik?
Yang pasti, paska reformasi politik di Indonesia akhir 1990-am, dinamika politik di negeri amat menarik. Transisi politik bisa berjalan dengan selalu damai. Meski diwarnai kontestasi yang sangat kuat. Reformasi politik membuka ruang makin lebar munculnya bakat-bakat pemimpin baru. Bahkan, dari kalangan yang tak terduga sebelumnya.
Hadirnya Joko Widodo dalam kepemimpinan nasional sejak 2014 adalah contoh nyata. Ia hadir hadir dari kelas sosial biasa, bukan darah biru politik, dengan jalur karir kepemimpinan politik yang baru pula. Berangkat dari seorang walikota, gubernur, dan presiden RI. Dari asal muasal dan jalur tak biasa ini, ia berhasil menjadi orang pertama di RI sampai dua periode.
Karena itu, di awal pemerintahannya, secara simbolik ia dimasukkan sebagai contoh nyata dalam cerita pewayangan: Petruk Dadi Ratu. Kisah seorang rakyat biasa, punokawan alias pelayan raja, yang kemudian menjadi seorang ratu atau raja. Jokowi –demikian Presiden ke-7 RI itu biasa dipanggil– dulu digambarkannya seperti demikian.
Berbeda dengan Jokowi, Prabowo memang memiliki ‘’darah biru’’ politik. Ia lahir dari seorang bagawan ekonomi yang sudah sangat terkenal sejak Kemerdekaan RI: Soemitro Djojohadikoesoema. Elit politik sejak Indonesia lahir dan berasal dari kelas sosial bangsawan. Prabowo lahir dari keluarga elit seperti Megawati Sukarnoputri maupun Gus Dur alias Abdurraahman Wahid sekalipun.
Hanya karena ekosistem politik baru paska reformasi politik, para elit baru politik bermunculan. Mereka yang menduduki kepemimpinan politik, tapi berasal dari kelas sosial biasa saja. Aktifisme dan terpaan pendidikan yang bisa membawa mereka naik kelas, dari bawah ke atas. Dari orang biasa ke elit.
Akankah Prabowo yang berasal dari keluarga elit ini cenderung melahirkan kebijakan yang elitis? Tentu kita belum bisa melihatnya sekarang. Kecuali hanya dari pidato politik pertamanya yang disampaikan usai ia disumpah menjadi Presiden RI ke-8. Pidato yang bernuansa lain dibanding presiden sebelumnya.
Prabowo yang besar di militer, tampil dengan membawa wajah ketegasan. Pidatonya mengandung pesan-pesan yang jelas. Setidaknya ada tiga hal penting yang ia tekankan: Ketahanan pangan, pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, pengentasan kemiskinan dan pemerataan.
Tentu semua itu adalah pesan yang telah menjadi janji politik Presiden Prabowo. Jika kelak ia bisa mewujudkan hal tersebut, pasti ia akan dikenang sebagai presiden RI yang mampu membawa negeri ini digdaya. Tidak saja telah membawa bangsa Indonesia ke dalam lompatan-lompatan kemajuan, tapi juga kebanggaan baru sebagai negara bangsa.
Latar belakang sosial dan sumber kepemimpinannya menjadi tak akan penting jika semua itu bisa terwujudkan. Jika menhimak pidato politiknya, citra masa lalunya tak lagi akan diingat orang. Bahkan, ia bisa menjadi hero baru di tengah ketidakpastian masa depan dunia dan geopolitik yang melingkupinya.
Jika kepresidenan kembali dipegang dari kalangan ‘’darah biru’’ politik, di partai masih memberikan harapan para pejuang dari kalangan orang biasa. Di Partai Golkar sekarang, misalnya. Pimpinan tertingginya tak lagi diduduki para ‘’darah biru’’ politik, tetapi diisi orang-orang biasa yang berjuang dari bawah.
Tampilnya Ketua Umum DPP Partai Golkar Bahlil Lahadalia, Sekjen Sarmuji, dan Wakil Ketua Umum Wihaji bisa menjadi fakta baru lahirnya elit politik ‘’non darah biru’’. Padahal, partai ini dulu didirikan oleh para elit dan menjadi alat para elit itu mempertahankan dan mengelola kekuasannya.
Ini artinya apa? Dinamika politik kita seringkali tak bisa dirumuskan secara matematis. Tidak linier. Penuh kejutan dan kelokan. Yang terus memberi ruang bagi orang-orang baru yang petarung untuk ambil bagian dalam membuat kebijakan-kebijakan publik. Orang biasa yang kelak menjadi sumber ‘’darah biru’’ baru bagi keturunannya.
Jadi, tidak perlu risau jika menjadi bagian dari ‘’non darah biru’’ politik di Indonesia. Ruang selalu terbuka untuk berkiprah di negeri ini. Hanya satu yang perlu dijaga bersama: demokrasi. Demoratisasilah yang akan melahirkan lapis-lapis baru kepemimpinan kita. Tentu demokrasi yang sejati, bukan demokrasi yang formalistis.
Selamat bekerja Presiden Prabowo!