Prabowo, Gerindra, dan Bung Karno
Seyogyanya dan bahkan seharusnya, Bung Karno adalah milik seluruh warga bangsa Indonesia. Akan malah mengecilkan kedudukannya sebagai bapak bangsa dan sang proklamator, ketika Bung Karno hanya dimiliki dan diklaim milik hanya sekelompok orang, salah satu institusi, salah satu partai dan bahkan hanya milik keluarga.
Bahwasanya secara biologis Bung Karno memiliki garis keturunan yang dalam dunia politik di kenal sebagai ‘trah Bung Karno’, tidak berarti Bung Karno hanya menjadi miliknya keluarga dalam lingkaran garis genetika BK semata. Apalagi dikembangkan selanjutnya menjadi hanya boleh diidolakan, diteladani, dipuja dan diikuti ajarannya oleh mereka yang menyatakan diri sebagai warga komunitas kaum Banteng. Sehingga Bung Karno dan ajarannya, Marhaenisme, hanya diperuntukkan dan hanya sah bila dianut oleh mereka yang tergabung dalam komunitas Banteng semata.
Pandangan inilah yang kemudian terus berkembang hingga membentuk lingkaran komunitas politik dengan label komunitas kaum banteng. Dari kesejarahannya komunitas ini dalam garis politik berawal dari sumber yang bermuara pada Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Bung Karno pada tahun 1927. PNI sebagai partai merupakan kendaraan politik perjuangan seorang pemuda Soekarno yang menawarkan gagasan Nasionalisme Indonesia dalam kerangka perjuangan memerdekakan Indonesia dari cengkraman kolonialis Belanda.
Jadi, pada dasarnya seluruh ajaran yang diturunkan Bung Karno sepenuhnya berawal dan bersumber pada tekad memerdekakan rakyat dan bangsa Indonesia dari segala bentuk penjajahan dan penindasan. Sehingga pada hakekatnya Marhaenismen adalah sebuah struggle theory, teori perjuangan rakyat bangsa Indonesia dalam memerdekakan dirinya dari segala bentuk penjajahan, penindasan dan pembodohan. Selanjutnya mengisi kemerdekaan dengan berbagai kerja membangun bangsa yang sepenuhnya berdaulat dalam politik; berdikari dalam ekonomi; dan berkepribadian dalam kebudayaan (Trisakti). Sehingga pada gilirannya terbentuklah bangsa-kaum Marhaenis, sebuah komunitas-bangsa yang berkemampuan memerdekakan kaum dan bangsa yang masih terjajah.
Semangat Konferensi Asia-Afrika merupakan perwujudan dari tekad dan semangat Marhaenisme ajaran bung Karno. Perjuangan kesetaraan antara Negara-negara Utara-Selatan. Dilahirkannya gagasan the New Emerging Forces, Conefo, Ganefo, semua dalam kerangka menempatkan Indonesia sebagai sebuah komunitas bangsa yang secara konsekuen menjalankan Trisakti! Sehingga bangsa lain pun dipersilahkan untuk menerapkan ajaran Bung Karno dalam perjuangan bangsanya mencapai kemerdakaan sejati.
Dalam kaitan ini, sekadar contoh bagaimana Bung Karno merupakan figur yang mempengaruhi langkah perjuangan pemimpin bangsa lain, bisa kita ajukan dua nama yang popular dikalangan rakyat kita. Pertama, Mahatir yang dijuluki sebagai Sukarno dari semenanjung Malaya dan Ahmadinejat seorang pejuang dan pemimpin rakyat Iran yang tangguh melawan Imperialisme Amerika. Dengan demikian, melakukan klaim bahwa ajaran Bung Karno baru sah dan hanya pas bagi mereka yang tergabung dalam komunitas kaum Banteng, justru merupakan pemikiran yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan Marhaenisme sebagai struggle theory-nya rakyat Indonesia.
Sehingga dengan demikian, agak menyedihkan bila seorang Prabowo yang jatuh cinta pada ajaran Bung Karno ditanggapi secara penuh sinikal yang berlebihan. Apalagi dihubungkan dengan latar belakang dan masa lalu keluarganya. Apa salahnya bila Gerindra kemudian bertekad menjadikan Marhaenisme sebagai ideologi partainya. Toh tak satu pun partai di Indonesia yang sekarang memiliki wakil di parlemen menempatkan Marhaenisme sebagai ideologi partai mereka. Sehingga bila kelak Prabowo yang justru berkeinginan menempatkan Marhaenisme sebagai platform perjuangan dan bahkan ideologi partainya, seharusnya seluruh warga bangsa yang merasa menjadi muridnya Bung Karno harus bersyukur dan membantu terwujudnya keinginan tersebut.
Permasalahannya, apakah kekaguman dan kejatuhcintaan Prabowo pada Bung Karno terjadi jelang Pemilu 2019 semata, inilah yang menjadi persoalan dan ruang cemooh yang terbuka lebar. Apa lagi bila hanya ingin berpenampilan dan bergaya bak seorang Bung Karno yang orator dan tahu bagaimana cara berdandan! Akan hal ini, hanya Prabowo sendiri, seorang elite Indonesia yang sudah bertobat, yang bisa menjawab.
Satu hal yang saya yakini, bila saja Prabowo berani menempatkan Marhaenisme sebagai pijakan dan garis perjuangan-ideologi partai Gerindra, bukan tidak mungkin tahun 2019, Indonesia memiliki presiden baru!
*) Erros Djarot adalah budayawan, seniman, politisi dan jurnalis senior - Tulisan ini dikutip sepenuhnya dari laman Watyutink.com