Prabowo-AHY : Pasangan Capres-Cawapres Rasa “LGBT”
Seorang aktivis #2019GantiPresiden punya penilaian menarik soal kemungkinan Prabowo-Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) berpasangan sebagai capres-cawapres. Dia menyebut keduanya adalah pasangan “LGBT.” “Pasangan sejenis.”
Prabowo dan AHY merupakan representasi pasangan nasionalis dengan nasionalis. Gerindra basisnya partai nasionalis. Benar bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini Gerindra lebih dekat dengan keumatan, namun jati dirinya adalah partai nasionalis. Demikian pula halnya AHY. Demokrat bagaimanapun adalah partai nasionalis, walau ada embel-embel relijius.
Prabowo-AHY adalah representasi pasangan Jawa dengan Jawa. Prabowo sebenarnya berdarah campuran. Ayah Jawa, dan ibunya dari Kawanua, atau Manado. Namun citra maupun namanya lebih kuat sebagai orang Jawa. Jadi dia tetap dianggap representasi Jawa.
Prabowo dan AHY sama-sama mempunyai latar belakang militer. Prabowo karir militernya harus terhenti hanya sampai bintang tiga. Purnawirawan Letjen TNI. Sedangkan AHY harus pensiun lebih awal dengan pangkat Mayor Infanteri karena pensiun dini untuk mengikuti Pilkada DKI 2017.
Baik Prabowo maupun AHY sama-sama tidak memiliki pengalaman birokrasi. Prabowo sepanjang karirnya dihabiskan di lingkungan militer, demikian pula halnya AHY. Keduanya belum pernah mencicipi pengalaman bekerja di lingkungan birokrasi pemerintahan.
Prabowo dan AHY sama-sama pernah mengalami pahitnya kalah dalam berkontestasi. Prabowo kalah dua kali dalam Pilpres 2009 dan 2014, AHY kalah dalam Pilkada DKI 2017.
Satu kesamaan lain, keduanya punya trah darah biru. Prabowo adalah putra Soemitro Djojohadikusumo, begawan ekonomi yang sangat dihormati. Jangan lupa Prabowo pernah menjadi menantu Presiden Soeharto. AHY putra dari SBY seorang perwira tinggi militer yang pernah dua kali menjadi presiden. Sementara dari jalur ibu, dia merupakan cucu dari seorang jenderal baret merah yang legendaris (Alm) Letjen TNI Sarwo Edhie Wibowo.
Kalau melihat garis keturunannya dalam tradisi orang Jawa, keduanya memenuhi syarat sebagai “pasangan” karena bibit. Bebet, dan bobotnya, seimbang. Sekufu, bila menggunakan bahasa agama.
Di Indonesia ada semacam keyakinan untuk memenangkan pilpres soal representasi ini sangat penting. Formula nasionalis-relijius, Jawa non Jawa, militer non militer dianggap merupakan rumus baku yang harus dipenuhi. Dalam tiga kali pilpres, formula tersebut benar-benar diterapkan dan terbukti manjur. Hanya sekali terjadi penyimpangan, yakni pada Pilpres 2009.
Pada Pemilu 2004 yang merupakan pilpres pertama Indonesia dalam era demokrasi, pasangan SBY-Jusuf Kalla menang melawan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Pasangan SBY-JK memenuhi semua unsur representasi. Jawa non Jawa. Militer non militer, dan nasional-relijius. Lawannya Mega-Hasyim merupakan pasangan Jawa-Sumatra dengan Jawa. Nasionalis-relijius. Namun keduanya adalah figur sipil.
Pada Pilpres 2009 rumus baku itu tak semuanya berlaku. SBY yang berpasangan dengan Budiono mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo, dan JK-Wiranto. SBY-Budiono merupakan pasangan sesama Jawa, bahkan sama-sama berasal dari Jawa Timur (Pacitan-Blitar). Keduanya juga merupakan representasi nasionalis. Sementara lawannya Megawati-Prabowo adalah kominasi Jawa/Sumatera-Jawa/Kawanua, sipil-militer, dan sesama nasionalis. JK-Wiranto merupakan pasangan paling ideal dari sisi representasi. Non Jawa-Jawa, sipil-militer, dan nasionalis-relijius.
SBY berani menabrak pakem baku itu karena sebagai incumbent elektabilitasnya sangat tinggi. Di atas 60%. Dipasangkan dengan siapa saja, bahkan ibarat kata dipasangkan dengan sandal jepit, SBY pasti menang.
Pada Pilpres 2014 Jokowi yang berpasangan dengan JK mengalahkan Prabowo-Hatta. Kedua kandidat memenuhi syarat dari sisi representasi. Jokowi-JK memenuhi unsur Jawa-non Jawa, dan nasionalis-relijius. Sementara Prabowo-Hatta memenuhi unsur Jawa-non Jawa, militer-sipil, dan nasionalis relijius.
Siapa yang akan dipilih Jokowi sangat menentukan
Apakah unsur representasi akan kembali menentukan pada Pilpres 2019? Banyak yang meyakini pada pilpres kali ini unsur representasi terutama nasionalis-relijius akan sangat menentukan. Sebagai ekses dari pertarungan Pilkada DKI 2017 saat ini terbentuk polarisasi yang tajam antara kubu nasionalis versus keumatan.
Kelompok oposisi dalam hal ini Gerindra, PAN, dan PKS sebenarnya diharapkan dapat membentuk koalisi keumatan. Syaratnya tentu saja harus mengusung figur yang merupakan representasi dari umat. Masuknya Demokrat ke dalam koalisi ini mengubah peta permainan. AHY masuk sebagai kandidat cawapres terkuat. Posisi PAN dan terutama PKS menjadi terancam.
Bila benar pasangan Prabowo-AHY yang akan diusung, maka Jokowi akan bisa lebih leluasa menentukan cawapresnya. Bila ingin memperkuat unsur keumatan Jokowi bisa memilih beberapa figur, mulai dari Ma’ruf Amin, Mahfud MD, Muhaimin, Romahurmuzy, bahkan Din Syamsuddin. Kombinasi sipil-militer, Jokowi bisa memilih Wiranto, Moeldoko, bahkan Gatot Nurmantyo. Kombinasi dengan profesional atau kalangan dunia usaha, pilihannya bisa Sri Mulyani, atau Chaerul Tanjung.
Bagaimana mengatasi manuver Jokowi? Bila Prabowo-AHY ingin memperkuat citra keumatan, mereka bisa memilih ketua tim suksesnya dari kalangan keumatan. Figurnya bisa dari PAN, PKS, atau kelompok 212. Untuk menampilkan citra bahwa mereka juga didukung para profesional, bisa menggandeng sejumlah profesional, atau lebih awal mengumumkan kabinet bayangan yang akan diisi oleh gabungan politisi dan profesional yang punya reputasi tinggi.
Sementara bila PAN, dan PKS melihat peluang pasangan Prabowo-AHY cukup berat untuk menang, karena bukan representasi keumatan, langkah terbaik membentuk poros tersendiri. Syaratnya mereka harus bisa menggaet satu parpol lagi sebagai partner koalisi. Pilihannya bisa Golkar yang tengah terancam posisinya karena manuver JK mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, atau PKB. Sangat mungkin bila poros baru menawarkan posisi cawapres kepada Muhaimin Iskandar, maka dia akan tergoda. Poros ini bisa mengusung kandidat sendiri yang memenuhi semua unsur representasi, terutama unsur keumatan.
Melihat gonjang-ganjing di kalangan oposisi, dan juga belum adanya kepastian siapa yang akan menjadi cawapres pendamping Jokowi, maka peluang terbentuknya poros ketiga masih terbuka.
Nama-nama seperi Anies Baswedan, Ahmad Heryawan, Anis Matta, Fahri Hamzah, Gatot Nurmantyo, Muhaimin Iskandar dan Zulkifli Hasan pasti menarik jika dipasang-pasangkan dan diusung oleh koalisi keumatan.
Hanya dengan begitu Gerakan #2109GantiPresiden menjadi berbeda dengan Susu Kental Manis yang tidak ada susunya.
Bagi rakyat, semakin banyak pasangan capres-cawapres, akan semakin baik. end
*) Ditulis oleh Hersubeno Arief, wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik - Tulisan ini dikutip sepenuhnya dari lama hersubenoareif.com atas ijin penulisnya.