PPKM Darurat, Hotel dan Resto di Bromo Kembang Kempis
Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat hingga 25 Juli 2021 membuat pengusaha hotel dan restoran di kawasan Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo semakin kembang kempis. Sebab selama PPKM Darurat tingkat hunian hotel di kawasan Gunung Bromo hanya berkisar 1-5 persen.
Hal itu diungkapkan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Probolinggo, Digdoyo P. Djamaluddin kepada wartawan, Rabu sore, 21 Juli 2021.
Yoyok, panggilan akrab Dogdoyo P. Djamaluddn mengatakan, tingkat hunian hotel itu sebagian besar bukan untuk tujuan wisata. Sebab semua objek wisata di Kabupaten Probolinggo termasuk Gunung Bromo ditutup selama PPKM Darurat.
“Kalau kunjungan wisatawan, baik lokal maupun mancanegara bisa dikatakan 0 persen alias kosong melompong,” katanya.
Selama PPKM Darurat, kata Yoyok, pengusaha hotel dan restoran di Gunung Bromo nyaris tidak beroperasi. "Banyak karyawan hotel libur karena tidak ada tamu. Mereka yang masuk sebagian, itu pun untuk bersih-bersih hotel,” katanya.
Pemilik Hotel Yoschi’s di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo itu menambahkan, nasib pengusaha restoran dan kafe di kawasan Bromo juga “tiarap” selama PPKM Darurat. Bahkan, di luar keanggotaan PHRI seperti, warung nasi, warung kopi milik warga Tengger juga terimbas PPKM Darurat.
“Kebijakan baru yang hanya membolehkan pengunjung restoran dan kafe maksimal hanya bisa nongkrong 30 menit, juga berpengaruh,” kata Yoyok. Warga jadi enggan ke restoran atau kafe, apalagi untuk berlama-lama nongkrong karena memang ada pembatasan aktivitas.
Mewakili PHRI, Yoyok berharap pemerintah memiliki kebijakan yang bisa membantu pengusaha hotel dan restoran bisa kembali bangkit. Sebab sejak awal PPKM Darurat, 3 Juli 2021 silam hingga kini praktis mereka tidak mendapatkan pemasukan.
Memang sejumlah pemilik homestay yang notabene warga asli Tengger masih bisa bekerja di sektor lain. Selama homestay sepi dari wisatawan, mereka “kembali ke alam” dengan menjadi petani sayur-mayur.
“Kalau petani sayur-mayur tidak terpengaruh kunjungan wisatawan. Selama orang butuh makan, ya sayur masih dicari orang,” kata Bashor, petani sayur di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura.
Advertisement