Potret Kecil Wajah Gen-Z dari Kelas “Studi Kepemudaan” di UGM
Oleh: Muhammad Najib Azca
Rabu Wage, 25 Oktober 2023, mulai pukul 10 WIB, eksperimen kecil itu dimulai. Eksperimen kecil dalam bentuk mini-riset itu kulakukan di ruangan BA-109 di kampus Fisipol UGM di kelas mata kuliah “Studi Kepemudaan”. Mini-riset itu bertopik “Pemilu dan Pilpres 2024 di mata Gen-Z”.
Studi Kepemudaan atau Youth Studies merupakan mata kuliah khas di Departemen Sosiologi UGM yang mulai diajarkan sejak sekitar 10 tahun lalu. Mata kuliah itu diinisiasi oleh Youth Studies Centre (YouSure), sebuah pusat kajian isu-isu kepemudaan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, yang berdiri pada 2011. Kebetulan aku menjadi pendiri dan sirektur pertama YouSure UGM. Semester ini saya mengajar mata kuliah Studi Kepemudaan bersama dua dosen muda yang keren: Dr. Oki Rahadianto dan Elok Jesica Santi, MA. Nah, kebetulan hari itu giliranku mengisi kuliah.
Mengapa survey kecil tentang pemilu dan pilpres 2024 di mata Gen-Z?
Pertama, suhu politik sudah mulai naik karena tahapan pencalonan pemilu dan pilpres sudah dimulai. Bahkan, persis pada Rabu hari itu ada pendaftaran calon capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menggenapi pasangan sebelumnya Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Kedua, proporsi pemilih muda tergolong besar dalam pilpres 2024. Menurut KPU, pemilih Pemilu 2024 didominasi oleh kelompok gen Z dan milenial (katadata, 5/7/2023). Dari daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 pemilih, sebanyak 66.822.389 atau 33,60% pemilih dari generasi milenial dan sebanyak 46.800.161 pemilih atau sebanyak 22,85% dari gen Z. Jika diakumulasikan, total pemilih dari kelompok generasi milenial dan generasi Z berjumlah lebih dari 113 juta pemilih atau setara 56,45% dari total keseluruhan pemilih. Sebagai keterangan, milenial adalah sebutan untuk orang yang lahir pada 1980 hingga 1994 sedang generasi Z merujuk pada mereka yang lahir mulai 1995 hingga 2000-an.
Dengan begitu, memahami kecenderungan preferensi dan perilaku generasi Z menjadi urgensi untuk bisa membaca kemungkinan hasil pemilu dan pilpres 2024. Tentu, dengan kesadaran penuh bahwa survey kecil di sebuah kelas itu tidak niscaya mencerminkan wajah generasi Z secara keseluruhan. Namun demikian, potret kecil yang diambil di sebuah ruang kelas itu barangkali berguna untuk membaca kepingan-kepingan kecil yang menjadi bagian dari gambar besar politik Indonesia, terutama jika ditilik dari perspektif generasi.
***
Demikianlah. Ide untuk melakukan mini-riset itu baru muncul pagi itu. Memang topik yang rencana kubincangkan di kelas selama dua sesi itu adalah ‘kewargaan pemuda’ (youth citizenship) dan ‘gerakan sosial pemuda’ (youth social movement). Kufikir menarik untuk membawa dua topik tersebut ke dalam isu yang sedang hangat di tanah air: persiapan menuju kontestasi pemilu dan pilpres 2024. Maka ketika sedang berkendara menuju kampus aku menelpon asisten pembelajaran di departemen Sosiologi untuk menyiapkan kertas untuk melakukan survey kecil di kelas.
Pagi itu, hanya 33 mahasiswa dan mahasiswi yang hadir di kelas dari 59 peserta kuliah. Tampaknya, sebagian mahasiswa menyangka kuliah pagi itu akan dilakukan secara daring—seperti yang semua kurencanakan dan sempat kusampaikan di kelas pekan sebelumnya karena ada kemungkinan aku harus melakukan perjalanan ke luar negeri. Dari 33 generasi Z yang hadir di ruangan itu ternyata ada 2 orang yang pernah memilih dalam pemilu sebelumnya. Selebihnya, 31 orang merupakan pemilih pertama dalam pemilu 2024 mendatang.
Kepada 33 Gen-Z yang hadir itu kuberikan 4 pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah akan berpartisipasi dalam pemilu/pilpres 2024?
2. Apakah akan terlibat berkampanye dalam pemilu/pilpres 2024?
3. Siapa capres-cawapres pilihanmu dalam pilpres 2024?
Diberi 3 pilihan (sesuai abjad):
A. Anies Baswedan-Muhamin (Amin);
B. Ganjar-Mahfud MD (Gama);
C. Prabowo-Gibran (Pragi)
4. Apa partai pilihanmu dalam pemilu 2024?
Mbak Nila, asisten pembelajaran Departemen Sosiologi, membantu membagikan kertas HVS kosong kepada semua mahasiswa/i yang hadir dan kemudian membantu saya dalam membuat catatan penghitungan di papan white-board dengan dua mahasiswa bertindak sebagai saksi dalam penghitungan (lihat foto). Pengumpulan pendapat ini bersifat anonym; mahasiswa/i tidak perlu menuliskan namanya di kertas yang dikumpulkan.
Nah, hasilnya ternyata cukup menarik (bisa dilihat di foto).
Jawaban terhadap pertanyaan pertama, 30 orang menjawab akan berpartisipasi alias mencoblos dalam pemilu/pilpres; hanya 3 orang yang menyatakan tidak akan berpartisipasi. Artinya: 90 persen mahasiswa akan mencoblos; 10 persen menyatakan tidak akan mencoblos.
Untuk pertanyaan kedua, hanya dua orang yang menyatakan akan berkampanye dalam pemilu/pilpres 2024; 31 orang menyatakan tidak akan terlibat dalam kampanye. Ini menarik. Artinya: hanya 6,6 persen mahasiswa yang menyatakan akan terlibat secara aktif dalam kampanye dalam pemilu/pilpres 2024, sementara mayoritas mahasiswa/i sebanyak 93,3 persen menyatakan tidak.
Jawaban terhadap pertanyaan ketiga tentang capres-cawapres sangat menarik. Ternyata, pasangan Prabowo-Gibran (C) mendapatkan dukungan terbesar yaitu 14 suara. Suara terbanyak kedua diperoleh pasangan Anies-Muhaimin (A) yaitu 11 suara dan suara terkecil diperoleh pasangan Ganjar-Mahfud (B) yaitu 5 suara. Ada 3 suara tidak memilih salah satu pasangan.
Terhadap pertanyaan keempat, mengenai partai politik yang akan dipilih dalam pemilu 2024 diperoleh data menarik sebagai berikut. Pertama, tingginya responden yang tidak menyebutkan partai politik yang akan dipilihnya yaitu 20 orang; sekitar 60 persen dari total responden. Berikutnya, pilihan terbanyak ternyata diperoleh oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mendapatkan suara sama: 4. Di bawahnya, partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mendapat 2 suara; lalu Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendapat masing-masing 1 suara. Yang menarik, ada dua responden yang membuat pilihan unik yaitu: seorang menyatakan akan memilih “selain PDIP” dan seorang lainnya menyatakan akan memilih “selain PDIP dan PSI”.
***
Lalu apa makna dari temuan survey kecil ini?
Pertama, ihwal partisipasi generasi Z dalam pemilu dan pilpres 2024. Temuan survey ini menunjukkan bahwa minat untuk berpartisipasi dalam pemilu tergolong tinggi, yaitu 30 orang atau 90 persen hendak berpartisipasi dalam pemilu dan pilpres 2024.
Saya sempat mencoba menggali data dengan mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa yang menyatakan akan memilih: apa alasan untuk memilih? Muncul sejumlah pandangan, antara lain, karena melihat bahwa hal ini merupakan hak politik yang perlu digunakan. Ada juga yang menyatakan bahwa ini merupakan pengalaman pertama yang menarik.
Sayangnya, mereka yang menyatakan tidak akan memilih tidak bersedia menyampaikan alasannya di depan kelas.
Data menarik kedua adalah rendahnya minat mahasiswa untuk terlibat secara aktif dalam kontestasi pemilu dan pilpres 2024. Hanya dua orang, atau 6,6 persen, yang menyatakan akan terlibat dalam kampanye pemilu/pilpres 2024. Dengan kata lain, minat untuk berpartisipasi memilih tinggi tapi minat untuk berpartisipasi dalam kontestasi pemilu/pilpres 2024 rendah.
Ketika saya coba meminta penjelasan mahasiswa: mengapa rendah minat untuk terlibat berkampanye dalam pemilu/pilpres? Muncul sejumlah alasan, salah satunya, karena berkampanye mendukung calon tertentu berpotensi untuk menyinggung pendukung calon lainnya. Ada juga kekhawatiran untuk dibully, baik di medsos maupun di dunia nyata. Akhirnya, mayoritas responden akan menggunakan hak pilih tapi tidak mau terlibat dalam kampanye.
Temuan berikutnya, mengenai siapa kandidat presiden dan wakil presiden yang akan dipilih responden, diperoleh data menarik yaitu rendahnya dukungan untuk pasangan Ganjar-Mahfud (Gama) yaitu hanya 5 suara. Terus terang ini cukup mengejutkan, karena keduanya alumni UGM. Bahkan Ganjar Pranowo merupakan Ketua Keluarga Alumni Gadjah Mada alias Kagama. Mahfud juga alumni UGM untuk tiga strata Pendidikan: S1 di Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya), S2 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) dan S3 di Fakultas Hukum (FH). Penggunaan nama ‘Gama’ sempat saya duga berpotensi untuk menaikkan dukungan kepadanya, tapi ternyata tidak. Dengan kata afinitas dan afiliasi terhadap UGM tidak serta merta menjadi pemantik dukungan electoral.
Jika ditarik hubungan dengan preferensi terhadap partai politik dalam pemilu 2024, bisa jadi dukungan terhadap Gama muncul dari pendukung PDIP yang berjumlah 4 orang. Hanya butuh 1 suara tambahan untuk mendapatkan 5 suara. Dalam diskusi sempat muncul pandangan yang bersimpati dan mengagumi integritas Mahfud MD, guru besar ilmu hukum yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Polhukam). Namun, sang mahasiswa menyayangkan posisi Mahfud MD yang hanya menjadi wakil dari calon presiden Ganjar Pranowo.
Temuan menarik kedua adalah dukungan yang cukup besar untuk pasangan Anies-Muhaimin (Amin), cukup jauh meninggalkan pasangan Ganjar-Mahmud (Gama), yaitu 11 dibanding 5 suara. Keduanya juga alumni UGM; Anies Baswedan alumni Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB), sedang Muhaimin Iskandar alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) dari jurusan Sosiatri (kini berganti nama menjadi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan). Entah, apakah hubungan almamater berpengaruh dalam pilihan terhadap pasangan Amin.
Yang menarik, dukungan tersebut tampaknya tidak terkait dengan dukungan terhadap partai politik. Seperti terlihat dalam data jawaban terhadap pertanyaan terakhir, tidak ada responden yang menyatakan akan memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atau Nasional Demokrasi (Nasdem) dan hanya ada 1 responden yang menyatakan akan memilih Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jadi, dukungan yang cukup besar terhadap pasangan Amin tampaknya tidak terkait dengan dukungan terhadap partai politik pengusungnya, yaitu Nasdem, PKB dan PKS. Bahkan, ada responden yang menyatakan akan memilih PSI tapi juga mendukung Amin. Namun mini-riset ini tidak sempat menggali lebih dalam alasan pendukung pasangan Amin.
Temuan menarik ketiga adalah tingginya dukungan untuk pasangan Prabowo-Gibran (Pragi) yaitu 14 suara. Padahal pasangan ini diumumkan paling akhir dan baru secara resmi didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) persis pada hari itu. Tentu muncul pertanyaan: mengapa dukungan dari gen-z paling besar kepada pasangan ini?
Pertama, tampaknya jejak negative calon presiden Prabowo Subianto tidak berpengaruh terhadap pilihan politik Gen-Z. Seperti diketahui, mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus) Angkatan Darat (AD) itu diberhentikan dari dinas di Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 1998 karena dianggap terlibat dalam penculikan sejumlah aktivis kritis pada masa orde baru. Pada saat reformasi itu, sebagian besar gen-z belum lahir atau baru berusia belia di bawah lima tahun.
Selain hal itu, tampilnya seorang milenial dalam kontestasi capres-cawapres ini tampaknya menarik perhatian para Gen-Z. Gibran Rakabuming Raka, putera Presiden Jokowi itu kelahiran Solo 1 Oktober 1987, kini berusia 36 tahun, dan tergolong dalam kelompok milenial yaitu mereka yang lahir antara 1981 hingga 1995.
Ketika saya berikan pertanyaan: kenapa memilih Gibran? Muncul sejumlah alasan. Seorang mahasiswa perempuan menyampaikan bahwa cara Gibran memimpin Solo cukup bagus. Dia pernah datang langsung melihat kondisi di Solo selain mengikuti akun twiter Gibran. Menurutnya, melihat Gibran secara aktif dan kreatif menggunakan media sosial untuk meningkatkan pelayanan pemerintahan di Solo. Misalnya, ketika ada keluhan netizen di twiter, cepat direspon.
Jadi, tampaknya ada semacam kedekatan generasional di antara mereka. Acap disebut dalam Studi Kepemudaan sebagai ‘generationalism’, adanya sejenis kepercayaan bahwa mereka yang dilahirkan pada periode yang sama (generasi) memiliki karakteristik tertentu yang membedakan dari generasi yang lain (www.dictionary.cambridge.org). Dengan kata lain, ada semacam afinitas generasi dari gen-z terhadap Gibran sebagai sosok representasi generasi milenial.
Jika dicermati lebih jauh, penggunaan media sosial untuk meningkatkan pelayanan pemerintahan sebenarnya juga dilakukan oleh Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan saat menjabat sebagai gubernur. Tapi entah, tampaknya itu luput dari perhatian Gen-Z.
Apakah isu ‘politik dinasti’ tidak dianggap sebagai negative di mata para Gen-Z? Isu tersebut tidak muncul dalam diskusi di kelas. Bisa jadi sebagian mahasiswa peserta di kelas juga tidak mengikuti hiruk-pikuk yang mengiringi keputusan yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi isu panas di kalangan aktivis.
Demikianlah potret kecil Gen-Z yang dijepret di kelas Studi Kepemudaan.
Tentu, itu tidak dimaksudkan sebagai cermin dari potret besar wajah politik Gen-Z dan milenial di Indonesia. Bahkan sekadar mewakili mahasiswa UGM atau mahasiswa Sosiologi UGM pun tidak.
Tapi sejumlah hasil riset tampaknya cukup mendekati gambar tersebut, misalnya riset yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada bulan Juni 2023. Seperti ditulis oleh antaranews.com, Prabowo mendapatkan suara sebesar 40,5 persen dari gen-Z dan 37,1 persen dari generasi milenial. Selanjutnya Ganjar memperoleh 35,5 persen dari gen-Z dan 34,8 persen dari milenial. Paling buncit, Anies mendapatkan 22 persen dari gen-Z dan 21,9 persen dari milenial.
Tapi politik itu dinamis. Masih ada cukup banyak waktu dan kemungkinan perubahan drastic sebelum dilakukan pemungutan suara pada 14 Februari 2024. Selamat merancang strategi kampanye yang sehat berdasarkan karakter sosiologis pemilih, termasuk berdasarkan generasi. Tabik!
Sleman, 29 Oktober 2024
* Muhammad Najib Azca, Dosen Sosiologi UGM