Posisi Miring, Anekdot Zaman Perang Kiai Jusuf Hasjim
KH Jusuf Hasjim, putra Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy'ari, Tebuireng Jombang. Dialah yang membawa kemajuan pesat Pesantren Tebuireng, yang kemudian kepemimpinannya digantikan KH Salahuddin Wahid (almaghfurlahum).
KH Jusuf Hasjim dikenal sebagai politikus gaek dari pesantren. Namun, dia pun banyak bergaul dengan pelbagai kalangan, termasuk di kalangan aktivis sosial.
Fachry Ali, peneliti sosial politik, mempunyai sepenggal kesan khusus dari Kiai Jusuf Hasjim. Berikut anekdot khasnya tentang Lelucon Pak Ud Alias Kiai Jusuf Hasjim.
Entah mengapa, saat Maghrib (14 April 2021) ini saya teringat Paman Kiai Abdurrahman Wahid (1940-2009): KH Jusuf Hasjim —sering dipanggil Pak Ud (1929-2007).
Beberapa tahun sebelum pengasuh Pesantren Tebuireng ini wafat, Pak Ud sering datang ke rumah saya. Dan biasanya, pada malam hari. Pukul 23.00, misalnya, Pak Ud tiba-tiba sudah di pintu. "Ada nasi Ry?!" tanya beliau sambil bergerak ke ruang makan saya. Lalu, kami makan dengan apa yang tersisa sorenya.
Suatu kunjungan, Pak Ud membawa beberapa kliping tulisan di koran Kompas. Salah satunya tulisan Ulil Abshar Abdalla. ‘Nih,’ kata beliau, ‘baca. Kalau belum sempat baca.’
Akhir 1980-an, saya sering berkunjung ke Pesantren Tebuireng. Salah satunya dengan wartawan Kompas, Budiarto Danudjaja dan Abdul Hamid. Yang terakhir ini adalah putra Kiai Fatah dari Siman, Lamongan. Saya ingat, Pak Ud menyediakan sop kambing Lamongan — untuk ‘dinner’ (gaya ya istilahnya?!) kami.
Nah, dalam kesempatan ngobrol-ngobrol itulah Pak Ud bercerita.
‘Dulu,’ kata Pak Ud, ‘saya aktif dalam Pasukan Hizbullah.’ Pak Ud memang Veteran Perang Kemerdekaan. ‘Dan dalam berperang,’ lanjut Pak Ud, ‘kami didoktrin para ulama: maju wajib, mundur haram,’ katanya.
‘Suatu hari,’ lanjut Pak Ud, ‘kami berhadapan dengan tank Belanda. Di sini kami berhadapan dengan dilema. Jika maju terus (yang hukumnya wajib), kami mati. Tapi, kami juga tidak bisa mundur. Karena hukumnya haram.’
Saya, Budiarto Danudjaja dan Abdul Hamid menjadi tegang mendengar cerita yang begitu dilematis itu.
‘Lalu,’ tanya saya, ‘apa yang Pak Ud dan kawan2 lakukan?’
Dengan senyum khasnya, Pak Ud menjawab: ‘Kami mengambil posisi miring.’
Dengan memiringkan badan, memang tidak ada dalam kategori wajib dan haram. *
Advertisement