Olahan Rengkik dan Jendil Khas Brantas di Jombang Kian Mahal
Populasi ikan endemik sungai Brantas dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Akibatnya, warung makan yang menyajikan menu olahan ikan ini, semakin mengalami kesulitan memperoleh bahan bakunya.
Seperti yang dialami Suciwati, 60, warga Desa Gumulan, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang. Ikan jenis rengkik dan jendil, saat ini semakin sulit didapat. Hanya ikan jenis wader, gabus, kutuk, dan udang yang sering diperoleh. “Selama ini, ikan saya dapat dari pemancing sungai Brantas. Mereka yang cari, dijual ke saya. Tapi untuk jendil dan rengkik semakin sulit,” katanya kepada Ngopibareng.id, Minggu 4 April 2021.
Dari belasan pencari ikan, Suciwati menyebut tak jarang hanya satu orang yang bisa mendapatkan ikan jendil dan rengkik. “Supaya dapat, harus pakai perahu. Itu juga harus pakai jaring. Kalau hanya mancing di pinggir sungai, sulit dapatnya,” tambahnya.
Dibanding empat tahun lalu, dua jenis ikan ini menurut Suciwati masih mudah didapat meski hanya dengan memancing. “Sambal jendil dan botokan rengkik yang paling banyak dicari. Karena ikan ini memang asli dari Brantas,” lanjutnya.
Berbeda dengan wader, gabus, dan udang, dua jenis ikan itu juga tidak dijual bebas di pasar. “Karena semakin langka, harganya mahal. Pembeli juga harus pesan dulu, tapi pesanan juga baru bisa dilayani kalau ikannya ada. Jadi tidak setiap hari ada menu jendil dan rengkik,” imbuh Suciwati.
Saat ini, satu porsi sambal jendil dibandrol dengan harga Rp45 ribu. Lengkap dengan nasi, lalapan, dan minuman. Porsi ini bisa dinikmati dua sampai tiga orang. Sedangkan olahan ikan rengkik berbentuk botokan, harga saat ini sudah mencapai Rp 10 ribu per bungkus. “Dulu harga sambal lalapan masih 25-35 ribuan. Sekarang semakin mahal, botokan juga ikut mahal,” tambah Suciwati.
Desa Gumulan memang menjadi salah satu wilayah yang dilintasi sungai Brantas. Warung milik Suciwati pun lokasinya persis di pinggir sungai, di atas tanah yang disewanya dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas.
Warung ini berdiri sejak 2013 lalu. Awalnya, Suciwati hanya menjual rujak dan nasi lodeh. Sejumlah pemancing di Sungai Brantas lalu meminta Suciwati memasak ikan hasil buruan. Sambal racikan tangan Suciwati ternyata cocok di lidah para pemancing.
Sejak itu, Suciwati menjual menu olahan ikan yang didapat pemancing dari sungai Brantas. Usaha kuliner milik Suciwati berkembang, para pemancing juga mendapat tambahan penghasilan dari hobi berburu ikan.
Meski berukuran kecil, namun banyak tokoh yang pernah datang ke warung Suciwati. Mulai dari kepala daerah, anggota legislatif, hingga pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Advertisement