Populasi Harimau Sumatera Terancam karena Kebijakan Cina
Aktivis lingkungan dan satwa dilindungi menilai kebijakan Pemerintah Cina yang melegalkan penggunaan tulang harimau untuk penelitian medis atau obat tradisional, berpotensi memicu perburuan ilegal harimau sumatera di habitatnya.
"Bagi kita ini langkah mundur dan berujung tidak baik kepada upaya-upaya konservasi di negara-negara yang memiliki satwa liar. Cina dilihat sebagai negara importir maupun negara tujuan ekspor satwa dilindungi ini, dalam konteks ilegal," kata Koordinator Wildlife Crime Team (WCT), Osmantri, kepada Antara di Pekanbaru, Kamis.
WCT adalah sebuah unit kerja pada program WWF di Sumatera Tengah. Harimau Sumatera (panthera tigris sumatrea) keberadaannya dilindungi undang-undang karena merupakan satwa endemik di Sumatera yang terancam punah.
WWF memperkirakan populasi satwa berbulu belang itu di alam bebas tinggal sekitar 400 ekor dan sepertiganya berada di Provinsi Riau.
Menurut Osmantri, negara-negara di dunia termasuk Cina sepakat untuk tidak memperdagangkan bagian tubuh dari satwa dilindungi, namun permintaan di pasar gelap yang melibatkan sindikat perdagangan internasional tetap ada.
Kini dengan kebijakan Cina yang melegalkan tulang harimau tersebut, permintaannya diperkirakan akan semakin besar dan menstimulasi negara-negara yang memiliki satwa liar dilindungi untuk memperdagangkannya dengan cara apapun.
Pengaruh dari luar tersebut, lanjutnya, bisa menghambat upaya Pemerintah Indonesia yang belakangan ini sudah jauh progresif merespon upaya penghentian perdagangan satwa dilindungi.
"Pemerintah perlu bersinergi dengan negara-negara di dunia yang sudah meratifikasi Konvensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) untuk melakukan tekanan kepada China agar tidak lagi melegalkan bagian-bagian tubuh satwa tertentu untuk diperdagangkan," ujar Osmantri.
Selain itu, hal terpenting adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan perlindungan dan menjaga kawasan yang menjadi habitat satwa dilindungi diiringi dengan penegakan hukum secara tegas bagi pelaku perburuan dan perdagangan satwa dilindungi.
"Apalagi di Riau adalah daerah sangat rawan karena transportasi untuk menyelundupkan satwa sangat mudah menggunakan jalur sungai dan laut hingga ke luar negeri," katanya.
Berdasarkan data WWF Program Riau, dalam dua tahun terakhir sejak 2016 pengakan hukum dalam kasus perdagangan satwa dilindungi cenderung mengalami peningkatan.
Khusus untuk harimau sumatera, pada 2016 ada dua pengepul kulit harimau di Riau, yang sudah dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Kasus ini diungkap oleh Polda Riau serta Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau dan BKSDA Jambi.
Kemudian pada 2017, ada dua penjual kulit dan tulang harimau yang sudah dijatuhi hukuman empat tahun penjara di Riau. Kasus ini ditangani oleh Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Sumatera dan BKSDA Jambi. Pada tahun yang sama, ada dua pedagang kulit harimau di Jambi yang dihukum delapan bulan penjara.
Pada Februari 2018, ada lagi dua pedagang kulit harimau yang divonis dua tahun penjara di Jambi.
Dalam kurun waktu 2015-2018, masih terdapat kasus kematian harimau akibat konflik dengan manusia. Pada 2015 ada tiga ekor harimau mati di Jambi, dan dua ekor di Riau. Kemudian pada 2016 ada empat ekor yang mati di Jambi, dan satu ekor mati di Riau.
Sedangkan pada 2017 di Riau ada tiga ekor harimau yang mati, dan pada 2018 ada empat ekor yang mati. Kasus kematian terakhir di Kabupaten Kuantan Singingi sangat tragis, karena harimau yang sedang bunting dua bayinya tewas masuk dalam perangkap babi. Pelakunya kini sudah ditahan oleh Balai Gakkum Sumatera di Pekanbaru. (ant)