Ponsep Macron Dideteksi, PM Israel Dituntut Jelaskan Soal Spyware
Presiden Prancis Emmanuel Macron sedang uring-uringan, dipicu soal spyware Pegasus yang dikembangkan NSO Group yang berbasis di Israel. Untuk itu, Macron menuntut penjelasan resmi dari Perdana Menteri Israel Naftali Bennett, selama percakapan via telepon telah terdeteksi alias disusupi, hari Sabtu 24 Juli 2021.
Channel 12 Israel mengatakan Macron menyatakan ketidaknyamanan tentang laporan bahwa ponselnya dan pejabat pemerintah Prancis lainnya telah disusupi. Bennett berjanji melakukan penyelidikan di tingkat tertinggi tetapi menggarisbawahi bahwa insiden itu terjadi sebelum dia menjabat, dikutip dari Anadolu Agency, Senin 26 Juli 2021.
Target Para Aktivis dan Jurnalis
Diduga, setidaknya 10 negara -- termasuk Bahrain, Kazakhstan, Meksiko, Maroko, Azerbaijan, Hungaria, India, dan Uni Emirat Arab -- sebagai pelanggan NSO Group, dan spyware digunakan untuk menargetkan para aktivis, jurnalis, pengacara, dan politisi.
Pengubah Perangkat Ponsel
Spyware dilaporkan dapat mengubah ponsel menjadi perangkat pengawasan di mana pesan, kamera, rekaman audio, dan aplikasi dapat diakses.
Prancis dan UU Anti-Separatisme
Terkait dengan Prancis, Parlemen Negeri Para Model itu telah mengesahkan undang-undang yang bertujuan untuk memperkuat pengawasan pemerintah terhadap masjid dan organisasi keagamaan lainnya, pada Jumat 22 Juli 2021.
Undang-undang ini juga untuk melawan pengaruh gerakan Islam yang mereka sebut dapat merusak nilai nilai sekuler Prancis. Majelis Nasional Prancis mengesahkan UU Anti-Separatisme dirancang untuk memerangi ancaman ditimbulkan oleh ekstremis Islam.
Undang-undang yang disebut 'Undang-Undang Penguatan Penghormatan Prinsip-Prinsip Republik' itu, seperti dilansir The National News, Sabtu 24 Juli 2021, disetujui Majelis Nasional atau majelis rendah parlemen dengan selisih 49 suara berbanding 19 dengan lima abstain.
Undang-undang tersebut meraih dukungan dari anggota parlemen di jajaran Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan partai-partai sentris lainnya.
Macron dan Dukungan Parlemen
Macron dan para pendukungnya di legislatif telah membingkai RUU tersebut sebagai tanggapan terhadap penyebaran separatisme Islam dengan digambarkan presiden sebagai proyek politik dan agama untuk menciptakan masyarakat paralel di mana hukum agama lebih diutamakan daripada hukum sipil.
Menurut pemerintahan Macron, ideologi itu merusak nilai-nilai Republik Prancis, yakni kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, serta prinsip laicite, pemisahan ketat antara agama dan negara.
RUU tersebut melarang praktik seperti kawin paksa yang menurut pemerintah dipicu oleh ideologi separatis.
Menyusul pembunuhan guru Samuel Paty oleh ekstremis di Paris tahun lalu, siapa pun yang dinyatakan bersalah membahayakan pegawai sipil dengan menyebarkan informasi yang dapat mengidentifikasi mereka akan menghadapi denda hingga 45.000 euro (53.000 dolar) dan tiga tahun penjara.
Selanjutnya, kelompok-kelompok agama harus mengumumkan sumbangan dari luar negeri yang bernilai lebih dari 10.000 euro (11.700 dolar).
Selain itu, otoritas lokal telah diberi kekuatan untuk menutup tempat-tempat ibadah yang menyebarkan segala sesuatu yang dianggap kebencian atau diskriminatif. Ujaran kebencian online juga telah dikriminalisasi.
Orang-orang yang mewakili negara Prancis, baik di sektor publik maupun swasta, harus berjuang dengan prinsip sekularisme dan netralitas dalam pelayanan publik.
Salah satu konsekuensinya adalah berakhirnya kolam renang umum dengan jalur khusus pria dan wanita karena alasan agama.