Ponpes Oxford
Saya baru sempat menuliskan sekarang. Tentang University of Oxford di Inggris. Juga tentang University of Cambridge. Dua perguruan tinggi top yang usianya hampir sepuluh abad. Yang saya kunjungi sebulan lalu.
Oxford berdiri tahun 1095 Masehi. Cambridge lebih muda lagi: 1209 M. Selisih seabad lebih. Keduanya dikenal sebagai universitas top di Inggris. Bahkan di dunia. Perguruan tinggi khos. Mimpi banyak orang yang punya encer otak.
Sebetulnya saya tidak secara khusus ke Inggris untuk mengunjungi perguruan tinggi tersebut. Tapi dalam rangka menghadiri wisuda anak yang lulus paska sarjana di University of Glasgow. Di Skotlandia. Negara bagian utara Inggris.
Juga sempat mampir ke Hungaria. Eks negara komunis dengan ibukota Budapest yang cantik itu. Di negeri ini, tujuan utamanya juga tilik anak. Yang sedang belajar seni rupa murni selama satu semester di Eszterhazy Caroly University yang berdiri sejak abad ke-14.
Kebetulan di Oxford ada Abid Abdurrahman Adonis, putra KH Roni Sya’roni. Salah satu Syuriah PCNU Nganjuk. Yang sedang menjalani program doktor di Universitas Oxford. Alumni Universitas Indonesia yang gila bola ini meneliti tentang kedaulatan digital.
Donis –demikian ia biasa dipanggil– tergolong mahasiswa yang pintar dan nekat. Setelah lulus S2 di London School of Economic (LSE) dan salah satu perguruan tinggi di Perancis, ia langsung daftar di Oxford. Diterima. Tapi dia belum mengantongi beasiswa. Mengajukan LPDP sudah telat. Sudah masuk kok baru mengajukan?
Tapi karena tekadnya, ia akhirnya bisa mendapatkannya. Bukan dari LPDP. Apalagi, penelitiannya menarik. Sesuatu yang dibutuhkan banyak negara. Yang sedang banyak “kerepotan” karena revolusi digital ini. Yang terancam kedaulatannya karena dunia digital telah dikuasai para raksasa dunia.
Karena Donis pula saya berkesempatan mendapat undangan makan malam di kampusnya, Universitas Oxford. Universitas yang meluluskan banyak pemimpin dunia ini. Juga menjadi inspirasi novel best seller yang telah diangkat ke layar lebar seperti Narnia. Kampus penghasil banyak ilmuwan peraih Nobel.
Memasuki kampus Oxford seperti masuk ke dalam lorong waktu. Seperti ke dunia masa lalu. Di dalam bangunan yang sudah berusia ratusan tahun ini. Tapi dari kampus ini, masa depan sedang dirancang. Dalam wujud ilmu pengetahuan.
Ketika ikut makan malam, ingatan saya langsung ke film Harry Porter. Seperti mengikuti makan malam bersama yang dipimpin Dumbledore, sang rektor sekolah sihir. Di Oxford, para dosen dan pimpinan college berada dalam satu meja dengan para mahasiswa berprestasi.
University of Oxford terdiri atas college-college. Di sini seperti fakultas-fakultas. Hanya saja, di banyak perguruan tinggi di Eropa, fakultas-fakultas itu berdiri sebelum universitas berdiri. Karena itu, universitas lebih sebagai kumpulan fakultas. Bangunannya pun terpisah untuk masing-masing college.
Masuk ke Oxford terasa seperti memasuki pondok pesantren besar. Yang terdiri atas berbagai pondok yang diasuh oleh masing-masing kiai tapi menyatu dalam kesatuan seperti Ponpes Al-Falah Ploso dan Lirboyo Kediri. Masing-masing pondok itu punya spesialisasinya sendiri.
Di masing-masing college di Oxford ada asrama. Tempat para mahasiswa tinggal. Terutama para mahasiswa baru. Mereka bersosialisasi di dalam kampus. Juga melakukan kegiatan-kegiatan bersama. Seperti makan malam resmi yang digelar setiap minggu sekali.
Saya blusukan ke berbagai pojok kampusnya Donis. Juga sempat ditunjukkan taman yang dibangun oleh Raja Yordania King Abdullah. Raja yang konon temannya Prabowo Subianto ini adalah alumnus kampus ini. Ia pun menyumbang almamaternya dengan membangun taman kampus.
Seperti halnya di pesantren, rupanya di kampus besar dan ternama di Eropa tak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan. Tapi juga membangun karakter para mahasiswanya. Tetap mempertahankan hubungan sosial para mahasiswanya. Ada tradisi-tradisi baik yang tetap dipertahankan.
Mereka tetap melestarikan sejumlah tradisi baik yang pernah berkembang di kampusnya. Juga tetap membangun komunalitas antar anggota civitas akademikanya. Tradisi akademik yang sangat rasional masih bersanding dengan tradisi-tradisi lama yang berbau emosional.
Perguruan tinggi menjadi semacam lorong waktu yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Mereka menjadikan masa lalu sebagai pelajaran dan inspirasi dalam membangun cara berpikir dan tatanan masa depan. Seharusnya perguruan tinggi menjadi seperti demikian.
Pesantren sebetulnya kurang lebih melakukan hal yang sama. Ia mengajarkan tradisi yang tertulis dalam berbagai kitab kuning. Tradisi akademis yang berkembang dalam dunia Islam. Sambil diajarkan tentang dunia kekinian dalam koridor keyakinan sebagai landasan utama.
Pesantren melahirkan cendekiawan yang terkadang melampaui apa yang telah diajarkan. Seperti KH Bahaudin Nursalim, seorang kiai muda ahli tafsir yang namanya amat kesohor. Ia pada dasarnya cendekia, pemikir, dan penafsir. Dia ilmuwan jebolan pesantren.
Saya pernah mendengarkan ceramahnya di depan para dokter dan guru besar di UGM. Ia bisa menjelaskan berbagai fenomena medis bersumber dari teks Alqur’an yang memang dia hafal dan kuasai dengan sempurna. Padahal, dia tidak pernah belajar di Fakultas Kedokteran.
Tradisi keilmuan pesantren memungkinkan lahirnya para cendekiawan seperti Gus Baha –panggilan akrab KH Bahaudin Nursalim. Dari pesantren yang berbasis agama juga banyak melahirkan enterpreneur dan pemimpin masyarakat atau umat.
Menurut Donis, konon University of Oxford dikembangkan dengan inspirasi dari dunia pendidikan Islam. Tapi, tentu anggapan seperti ini masih perlu dikonfirmasi. Sehingga tak menjadi klaim sepihak. Yang menganggap University of Oxford adalah kumpulan pesantren dengan ilmu yang berbeda. Demikian juga University of Cambridge.
Mengapa perlu kritis terhadap klaim di atas? Sebab, klaim seperti hal itu bisa benar dan salah. Benar jika kita melihat bahwa lembaga pendidikan tinggi di Eropa itu lahir setelah terjadinya masa kejayaan Islam di abad ke-7. Saat Daulah Umayyah dan Abbasiyah menguasai dunia ilmu pengetahuan.
Daulah Umayyah saat dipimpin Khalifah Abdurrahman Ad-Dakhil (756-785 M). Sedangkan Daulah Abbasiyah saat Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 M). Saat itu, berdiri Darul Hikmah atau Akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia, yang terdiri dari perpustakaan, pusat pemerintahan, dan observatorium bintang. Juga berdiri Universitas Darul Ulum di Bagdad.
Pada zaman itu, peradaban dipengaruhi dua superpower dunia. Cordova di Spanyol dan bagian timur di Bagdad, Irak. Dua poros negara Islam itu yang menebarkan peradaban dunia di saat negara-negara Eropa mengalami abad kegelapan.
Bisa saja tidak benar karena jarak antara zaman keemasan Islam dan lahirnya universitas top di Inggris itu berjarak kurang lebih 300 tahun. Sebuah masa yang cukup panjang untuk melihat kesinambungan tradisi dan peradaban. Kecuali mereka mengadopsinya dari teks dan dokumen lama.
Yang pasti, dunia keilmuan dan akademis memang pernah menjadi keunggulan dunia Islam. Bahkan, banyak temuan dasar yang menjadi basis bagi ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. Al Jabar yang menjadi penemu matematika, misalnya. Ilmu ini yang sekarang memicu revolusi digital berbasis algoritma.
Apa pun ada kaitannya atau tidak antara tradisi pendidikan Islam di masa lalu dengan University of Oxford dan University of Cambridge, saya merasa seperti masuk pesantren besar di kampus itu. Pesantren yang lengkap dengan tradisi keilmuan dan tradisi lama yang masih dipertahankan.
Yang sudah pasti, saya kini bisa mengklaim: I went to Oxford and Cambridge. Pernyataan yang bisa diartikan bahwa saya pernah kuliah di sana atau sekadar saya pernah berkunjung ke sana. Untuk saya, pasti makna kedua yang tepat.