Ponpes Al-Zaytun: Sinkretisme - Eklektisisme?
Panji Gumilang, pemilik ponpes Al-Zaytun menjadi sorotan publik karena pandangan keagamaan yang “nyleneh" berbeda dengan pandangan kaum Muslimin umumnya. Sebelum mendirikan ponpes ia adalah komandan wilayah 9 (KW 9) Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII). Setelah tertangkapnya Kartosuwirya pada 1962, DI/NII dilarang, otomatis KW 9 juga bubar.
Setelah dibubarkan, banyak anggauta eks-DI/NII termasuk Panji Gumilang kemudian direkrut oleh aparat intelijen dan selanjutnya dilibatkan dalam meredam agresivitas PKI sejak 1965. Bermula dari kegiatan perlawanan terhadap PKI inilah, Panji Gumilang (PG) berkenalan dengan para perwira militer/intelijen. Panji Gumilang, pada satu sisi memanfaatkan kedekatannya tersebut untuk mendirikan Ponpes Al-Zaytun di Indramayu. Sedangkan pada sisi lain aparat keamanan dan intelijen menggandeng PG disamping untuk melawan komunis, juga sebagai upaya guna mencegah aktivis DI/NII kembali mengangkat senjata.
Sejak semula, Panji Gumilang (PG) memang tertarik mendalami agama Islam khususnya ajaran Isa Bugis. Pada awal 1970an PG menjadikan pengikutnya eks DI/NII sebagai pengikut ajaran Isa Bugis terutama di daerah Cisaat, Sukabumi. Akibatnya terjadi konflik dengan masyarakat sekitar yang menolak kegiatan mereka dan menganggapnya sebagai aliran sesat.
Sinkretisme
Ajaran Isa Bugis yang kontroversial itulah kemudian diajarkan diponpes Al-Zaytun. Para pengamat umumnya memandang bahwa ajaran Isa Bugis yang kemudian di adopsi oleh Al-Zaytun, sejatinya merupakan pemahaman Islam berdasarkan “Sinkretisme" dan “Eklektisisme”.
Sinkretisme merupakan suatu faham yang menggabungkan atau menyampurkan ajaran berbagai agama menjadi “ajaran baru". Sedangkan eklektisisme merupakan pola pikir yang sejalan dengan sinkretisme yaitu suatu faham yang mengambil berbagai pendapat atau teori yang dianggapnya benar untuk digabung menjadi suatu “pendapat baru".
Dengan demikian agama yang diajarkan oleh Al-Zaytun meskipun menggunakan label “Islam", tetapi secara esensial oleh pemeluk Islam umumnya dianggap menyimpang dari Islam atau sebagai aliran sesat. Sejak ajaran tersebut mulai didakwahkan di Cisaat, Sukabumi pada akhir 1960an - awal 1970an telah mendapat reaksi keras dari masyarakat. Akhirnya PG memindahkan pusat dakwahnya ke Indramayu dalam bentuk pesantren yang dikenal dengan “Al-Zaytun".
Barangkali pemerintah pada masa awal Orde Baru mengizinkan Al-Zaytun dengan lebih mendasarkan pada kepentingan keamanan cq menjinakkan DI/NII, tetapi abai terhadap ajaran agama yang bercorak sinkretisme yang dikemudian hari menjadi masalah politik. Ketika menjabat sebagai Wakil Kepala BAKIN, saya diajak oleh Ka BAKIN berkunjung ke ponpes tetapi dengan berbagai alasan saya menghindar karena mengantisipasi munculnya “bom waktu" di kemudian hari.
Bagaimana mengatasi kemungkinan meledaknya “bom waktu" tersebut? Memang dilematis karena alumni Ponpes Al-Zaytun telah tersebar di berbagai daerah meskipun jumlahnya relatif terbatas di lokasi-lokasi tertentu. Sedangkan pada sisi lain reaksi masyarakat justru akan semakin besar seperti tercermin dari tuntutan MUI yang menghendaki pemerintah menyatakan ajaran PG sebagai “aliran yang menyimpang”. Dengan demikian lebih bijaksana terutama dengan semakin dekatnya tahun politik menjelang pilpres dan pileg, jika pendapat MUI tersebut dipertimbangkan.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.