Polusi Jakarta
Pukul 7.30 pagi ini tanggal 18 Juni 2024: tampak kabut menyelimuti Jakarta. Pemandangan seperti itu juga tampak pada sore menjelang pukul 17.00. Setiap pagi saya berkendaraan mobil dari Bekasi ke Jakarta, sore hari kembali ke Bekasi pukul 17.00 sore, pemandangan seperti itulah yang selalu saya lihat.
Kalau kabut alami bagus untuk kesehatan, tetapi udara sekitar Jakarta - Bekasi telah bercampur dengan polusi asap ribuan kendaraan bermotor dan pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batubara.
Demi kesehatan warga Jakarta dan sekitarnya, sebaiknya energi pembangkit tenaga listrik diganti dengan bahan bakar gas atau tenaga air (laut). Putera-putera bangsa kita sudah pintar-pintar dan inovatif. Soal pengadaan listrik Jakarta dan sekitarnya, bukan tanggung jawab Pemda DKI, tetapi ada baiknya dalam Pilgub mendatang isu pengadaan listrik non- polusi menjadi salah satu isu politik.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.
Catatan Mengenal Eksistensi Penulis
Dr (HC) KH As’ad Said Ali di antara penulis produktif. Pada November 2021, karyanya berjudul Perjalanan Intelijen Santri (Jakarta: LP3ES, 2021) terbit. Buku keenam yang memotret perjalanan beliau sebagai intelijen dari kalangan santri.
Sejumlah karya lainnya terbit (1) Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati (2008), (2) Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa (2009), (3) Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi (2021), (4) Al-Qaeda (2014), dan (5) Islam, Pancasila dan Kerukunan Berbangsa (2019).
Perjalanan intelektual Kiai As’ad tidak hanya berkisar di dunia intelijen, sebuah dunia misterius yang membesarkannya sebagai pejabat negara dan tokoh nasional. Dalam buku-buku yang diterbitkan sebelumnya, perjalanan intelektual itu bisa terlihat.
Misalnya dalam buku, Pergolakan di Jantung Tradisi; Kiai As’ad melakukan analisa terhadap tradisi di Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi Islam terbesar, dimana ia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PBNU (2010-2015). Bagi As’ad Said, NU tidak semata organisasi, melainkan sub-kultur Islam yang unik, independen namun bisa mengubah kultur masyarakat bangsa.
Sebagai organisasi tradisionalis, kekuatan NU terletak dalam tradisi tersebut. Dalam istilah Martin van Bruinessen (1994), kaum Nahdliyin memiliki kesadaran diri tradisionalisme (self-consciousness traditionalism). Sebuah kesadaran diri bahwa mereka adalah kaum tradisionalis, dan bangga dengan tradisionalisme tersebut. Kebangaan atas tradisi itu terlihat dalam perannya sebagai intelijen yang dengan bangga dilekatkan dengan identitas santri.
Buku kedua tentang Pancasila, sama dengan buku kelima. Jika dalam buku kedua, Kiai As’ad menulis wacana umum tentang Pancasila. Maka dalam buku kelima, beliau menulis wacana keislaman tentang Pancasila.
Dalam buku Negara Pancasila, Kiai As’ad melakukan elaborasi historis “pengalaman pengamalan Pancasila”, mulai dari Orde Lama hingga Orde Baru. Di era Orde Lama, pengalaman tersebut mengacu pada pengamalan Pancasila secara ideologis melalui doktrin Maipol-USDEK.
Sedangkan di era Orde Baru, pengamalan Pancasila dilakukan secara normatif melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).
Kesejarahan Pancasila juga diletakkan dalam proses perumusan Pancasila. Dalam kaitan ini, Kiai As’ad dengan cerdas membaca peran stretagis pidato 1 Juni Bung Karno sebagai titik temu (kalimatun sawa’) antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam di sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Dalam pandangan As'ad Said, alasan mengapa pidato 1 Juni Bung Karno diterima oleh semua anggota BPUPKI ialah karena keberadaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam usulannya tentang Pancasila.
Meskipun letak sila ketuhanan di 1 Juni berada di sila kelima, namun keberadaan sila tersebut akhirnya menjembatani jurang ideologis kelompok Islam dan nasionalis.
Mengapa? Karena bagi kelompok Islam, sila Ketuhanan YME yang diusulkan Sukarno mencerminkan tauhid, doktrin paling utama dari Islam. Sedangkan bagi kelompok nasionalis, sila Ketuhanan YME justru mewakili pandangan keagamaan yang inklusif dan mewakili semua agama. Pembacaan terhadap urgensi sila ketuhanan ini tentu saja lahir dari kacamata santri, yang mendekati sejarah Pancasila dari perspektif keagamaan.
Intelijen dan hadits
Sejatinya, buku-buku yang ditulis sebelum buku Perjalanan Intelijen Santri ini merupakan bagian dari perjalanan Kiai As’ad sebagai intelijen. Artinya, beliau adalah intel Nahdliyin yang sangat konsen dengan Pancasila, serta menegakkan ideologi bangsa di tengah munculnya ideologi-ideologi politik pasca-Reformasi.
Perjalanannya menjadi intelijen pun menarik untuk disimak. Kiai As’ad adalah putra dari Kiai Said bin Ali, seorang pengusaha di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Advertisement