Politisi "Gila Hormat" Versus Presiden Yang "Ndeso"
GEDUNG DPR/MPR Senayan, Jakarta, hanyalah sebuah tempat. Secara semantik, kompleks parlemen ini hanyalah sebuah kawasan yang punya bangunan berusia lebih dari setengah abad. Dan salah satu keunikannya, ada pada gedung bundar yang arsitekturnya sangat tinggi estetikanya.
Tapi di luar itu, tempat ini sebenarnya sudah menjadi sumber informasi yang paling ‘basah’, pasca pergantian rezim.
Pengamatan subyektif menunjukkan, semenjak terjadinya pergantian rezim yang dikenal dengan reformasi 1998, gedung di kompleks parlemen ini telah mengalami banyak perubahan. Terutama anggota parlemen, wakil rakyat yang berkarya di sana.
Para wakil rakyat Indonesia di sana semakin bebas berbicara. Dan kompleks parlemen pun telah menjadi semacam “sentra produksi” yang memproduksi berbagai pernyataan. Pernyataan yang bermuatan politik, termasuk yang bisa membuat republik kita, geger dan gaduh, tercatat yang cukup menonjol.
Hanya memang tidak semua pernyataan - yang mampu bikin republik kita geger dan gaduh, dapat disebut berkualitas apalagi memberi pembelajaran politik dan demokrasi buat masyarakat sebagai konstituen.
Terkadang pernyataan-pernyataan politik dimaksud, cenderung asbun atau asal bunyi.
Sehingga tak jarang pula pernyataan-pernyataan asbun tersebut, membuat masyarakat yang agak paham tentang persoalan politik bangsa dan ikutannya, hanya bisa mengelus dada.
Saya termasuk yang suka terkejut-kejut ketika mendapati pernyataan politisi Senayan yang nada dan konteks pernyatannya beraroma asbun.
Hal mana secara subyektif membuat saya berpersepsi bahwa boleh jadi ada pandangan yang keliru yang dianut oleh para politisi Senayan saat ini.
Atau karena saya sempat menjadi wartawan parlemen, maka saya agak peka dan punya kesimpulan sepihak tentang politisi hasil reformasi.
Reformasi baik dan memang dibutuhkan. Namun reformasi juga telah melahirkan sejumlah politisi karbitan. Yang sekaligus mendegradasi profesi politisi.
Pemahaman di Senayan bahwa salah satu fungsi politisi, anggota parlemen perlu berbicara atau “parlez” (bahasa Prancis), mengalami pembiasan.
Soal patut tidaknya, berbobot tidaknya yang “dibicarakan”, menjadi hal yang tidak perlu diperhitungkan. Yang penting “parlez”.
Sekitar lima tahun lalu - menjelang berakhirnya masa bhakti keanggotaan DPR-RI, periode 2009 – 2014, misalnya, “sentra produksi” Senayan, memproduksi pernyataan yang menyebut bahwa konstruksi salah satu gedung di kompleks parlemen tersebut mulai mengalami kemiringan. Tingkat kemiringannya, sekitar tujuh derajat.
Kemiringan itu dinilai sebagai sebuah tanda alaram. Sebab gedungnya berpotensi runtuh atau roboh.
Sebagaimana diketahui, di kompleks parlemen ini, terdapat dua jenis bangunan.
Semua bangunan diberi nama Nusantara. Dimulai dari Nusantara Satu.
Bangunan-bangunan itu dipertuntukkan bagi kegiatan kerja para anggota DPR, MPR dan DPD.
Gedung atau bangunan tersebut ada yang dibangun di era Soekarno (Orde Lama – 1945 s/d 1966) dan ada yang di era Soeharto (Orde Baru – 1966 s/d 1998).
Gedung bundar yang menghadap air mancur – tercatat sebagai salah satu yang paling unik. Keunikannya, terletak pada pada desain dan arsitekturnya. Walaupun sudah berusia lebih dari 50 tahun, tapi estetikanya, tetap anggun dan menarik. Bangunan itu sudah menjadi salah satu ikon kota Jakarta.
Sementara itu, ada juga gedung bertingkat lebih dari 20 lantai yang terletak di bagian belakang gedung bundar tersebut. Gedung yang dibangun di era Orde Baru dan usianya baru sekitar 30 tahun.
Nah, bangunan inilah yang disebut-sebut sebagai tengah mengalami “kerusakan”. Yakni ditemukannya tanda kemiringan hingga tujuh derajat.
Dan yang mengumumkan tentang “kerusakan” gedung tersebut pimpinan DPR periode masa kerja 2009 – 2014.
Namun belakangan muncul kecurigaan. Bahwa pernyataan pimpinan DPR yang secara implisit menekankan bahwa bangunan yang miring itu berpotensi mengancam keselamatan para politisi Senayan, mengandung ketidak jujuran.
Pimpinan asal bicara. Dan ketidak jujuran ini, secara psikologis dilihat sebagai memanfaatkan kondisi politik yang ada ketika itu.
Yang “dikejar” atau yang menjadi target dari pernyataan itu sebetulnya hanyalah untuk menguji wibawa sekaligus menekan pemerintahan baru, pemerintahan Joko Widodo yang baru terpilih. Yang sekalipun sudah terpilih pada 9 Juli 2014, tapi secara konstitusional, baru bisa berkuasa pada akhir Oktober 2014.
Beruntung, pemerintahan baru Presiden Joko Widodo yang memiliki kewajiban melakukan “carry over” atas beberapa pekerjaan peninggalan pemerintahan sebelumnya, menolak gagasan pembangunan gedung baru DPR.
Boleh jadi Jokowi atau Menteri Keuangannya, menilai gedung miring itu belum membahayakan. Gedung itu masih bisa dimanfaatkan.
Bisa jadi Jokowi merujuk pada fakta soal gedung tua di Italia.
Di negara itu juga terdapat Gedung Miring yang dikenal dengan nama “Menara Pizza”. Menara ini malah menjadi salah satu obyek wisata yang menarik banyak turis manca negara. Mereka yang berlibur ke Italia, sebisa mungkin bersefie dengan latar belakang Gedung Miring, yang tingkat kemiringannya melebih tujuh derajat. .
Dan penolakan Presiden Joko Widodo membangun gedung DPR, berbuah. Suara yang ingin merobohkan gedung tersebut, tak lagi terdengar, seiring dengan berakhirnya masa bhakti DPR periode 2009 – 2014.
Cerita tentang tingkat kemiringan gedung tersebut, sudah tidak pernah muncul dalam pernyataan politisi Senayan.
Namun hal ini tidak berarti Kompleks Parlemen berhenti memproduksi pernyataan-pernyataan yang bikin gaduh dan geger.
Hanya selang beberapa bulan setelah Joko Widodo menjadi Presiden, kembali mesin “sentra produksi pernyataan politik” berproduksi dengan produk baru.
Yang baru adalah permintaan kepada pemerintah agar menyediakan fasilitas anggaran berupa gaji Rp. 20,- milyar per tahun, per anggota DPR. Atau setara dengan Rp.1,6 Milyar per bulan. Permintaan ini didukung oleh fakta dan opini yang cukup kuat.
Namun setelah reaksi masyarakat yang cenderung menentang gagasan tersebut, gagasan itu tidak dibahas oleh pemerintah dan DPR. Maka gagal lah keinginan politisi Senayan bergaji seitar Rp. 1,6,- milyar per bulan.
Yang terbaru, yang mengemuka dari DPR, permintaan Arteri Dahlan, anggota DPR dari Fraksi PDIP.
Politisi pendatang baru di Senayan ini meminta agar manakala mitra DPR melakukan pertemuan, rapat dengan para anggota – teman-temannya, hendaknya mitra tersebut menyebut terlebih dahulu panggilan “yang terhormat” bagi setiap anggota DPR.
Permintaan politisi yang sebelumnya berprofesi sebagai pengacara ini, mengemuka pada saat Komisi III DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan Komisioner Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) pekan ini.
Rabu pagi 13 September 2017, TVOne mengangkat topik tersebut dengan menghadirkan Arteri Dahlan. Sejauh yang saya ikuti di tayangan tersebut, alasannya cukup bisa dimengerti.
Tapi lagi-lagi saya hanya bisa tertawa geli dan mengelus dada mendengar seluruh penjelasan dan alasannya.
Persepsi saya mengatakan politisi muda tersebut hanya berbicara dari sudut pandang sempit, melihat segala sesuatunya yang berkaitan dengan protokoler, dari sisi dirinya sendiri.
Sebab permintaan itu ternyata hanya pandangan pribadinya dan bukan fraksi ataupun partai.
Kesannya sih, dia sangat peduli dan merasa penting tentang aspek protokoler. Hal yang tidak salah, tentunya.
Yang dia lupa, sekali lagi tidak ingat, cukup banyak norma yang hidup dalam masyarakat kita – yang kemudian memunculkan hal-hal yang patut dan tidak patut. Dan permintaannya itu, termasuk yang tidak patut.
Dia lupa kehormatan dan penghormatan, tidak bisa ditagih kepada pihak lain. Kehormatan dan penghormatan kepada seorang anggota DPR, sebagaimana juga profesi lainnya, hanya lahir dari si pemberi. Bukan karena si pemberi dipaksa harus memberi.
Rakyat tidak mungkin dia paksa untuk memanggilnya sebagai anggota yang terhormat. Kata “yang terhormat” itu tidak punya makna, kalau pemakaiannya pun sembarangan.
Dia juga nampaknya belum memahami pandangan baru tentang masyarakat Asia saat ini yang oleh sosiolog Jepang, membagi generasi di dunia saat ini atas generasi “X” “Y” dan “Z”. Tiga kelompok generasi ini mmemiliki pandangan yang tidak sama, bahkan cenderung bertolak belakang.
Saya termasuk di generasi “X”.
Dengan berbagai usaha, saya mau belajar memahami sifat dan karakter generasi “Y” dan “Z”. Jika tidak memahami cara pandang generasi “Y” dan “Z” saya pasti akan mengalami banyak hambatan dan perbenturan dengan di masyarakat. Demikian sebaliknya.
Dengan pemahaman tersebut, permintaan Dahlan, agar masyarakat harus memanggil para anggta DPR dengan didahului sebutan “Yang Terhormat”, tidak berbanding lurus dengan paradigma yang diperkenalkan atau disosialisasikan oleh Presiden Joko Widodo.
Perhitungan atau perkiraan saya, Joko Widodo masuk generasi "Y".
Sebagai Presiden terpilih, bekas Walikota Solo ini, seharusnya yang paling pantas meminta masyarakat agar lebih menghormatinya.
Masyarakat tidak cukup menyebut dan memanggilnya sekedar dengan sebutan sebagai Presiden. Tapi harus selalu diawali oleh embel-embel “Yang Mulia….”.
Sudah hampir tiga tahun Joko Widodo menjadi penghuni Istana dengan berbagai atribut yang sesuai dengan tatacara protokol.
Namun Presiden tidak pernah terbersit mengemukakan keinginannya untuk disapa dengan sebutan: ”Yang Mulia”.
Dari berbagai postingan di sosial media, Presiden Joko Widodo malah sangat nyaman disapa dengan sebutan Pak Dhe.
Bisa jadi karena Presiden tak mau dinilai sebagai pejabat negara yang ingin mengembangkan sifat dn karakter “feodalis”.
Tidak itu saja, sudah sejak beberapa bulan terakhir, Presiden memerintahkan kepada Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres), agar tidak perlu mengggunakan sirene di jalan, manakala Jokowi sedang berkendara di jalan raya dengan rombongan VVIP-nya.
Pesannya cukup jelas. Orang Nomor Satu di Indonesia itu, bukanlah sosok yang "gila hormat".
Sebagai generasi "Y", Joko Widodo sulit memaksa generasi "X" dan "Z" untuk menghormatinya. Dia yang berusaha memahami.
Sekalipun kekuasaan yang melekat pada dirinya, ada yang melebihi kekuasaan yang ada di tangan anggota DPR, tapi dia tidak merasa perlu dihormati. Apalagi penghoratan itu dilakukan secara berlebihan.
Ini yang nampaknya tidak dimengerti dan dipahami oleh A.Dahlan.
Hadeeeeeew, kemana aja Bung ? *****
*Derek Manangka adalah wartawan senior yang tinggal di Jakarta