“Politisi Bisanya Ngeles.”
Najwa yang dulu, apakah juga seperti Najwa yang sekarang ? Ini wawancara ekslusif Heru Triyono Bismo Agung, dari Beritaga.id, hampir setahun lalu, (17/10/2016) di rumah Najwa, kawasan Cilandak, Jakarta. Ada yang beda?
Sebagai pembawa acara talkshow politik bagaimana strategi menghadapi politisi yang jago berkelit?
Susah-susah gampang. Karena politisi cenderung ngeles. Untuk menghadapi mereka kita harus siap.Misalnya, kutiplah pernyataan mereka dari media yang punya kredibilitas. Kalau perlu cari rekaman verbatimnya, atau lobi informasi dari lingkaran terdekat sumber. Bukan cuma riset Google. Kalau riset dangkal, politisi mudah menyalahkan kita.
Bagaimana kalau di tengah wawancara mati angin dan tidak punya peluru lagi untuk bertanya?
Kuncinya lagi-lagi diriset. Saya selalu tahu apa yang mau ditanya. Lagi pula semua wartawan pasti memiliki pertanyaan sekalipun tidak punya pertanyaan he-he.
Sebagian pemirsa melihat Anda terlalu menghakimi di acara Mata Najwa...
Saya percaya talkshow bukan sekadar bertanya dan dijawab. Harus ada pertukaran ide. Dialog harus hidup dan menarik. Tujuannya agar pemirsa mendapatkan manfaat dari cara kita menggali sumber, bukan soal menghakimi. Tapi kita harus kritis.
Daftar pertanyaan-pertanyaan itu sudah dipersiapkan sebelumnya?
Data-data disiapkan tim riset. Sementara daftar pertanyaan saya susun sendiri. Tapi seringkali daftar pertanyaan itu tidak saya pakai karena kan tergantung respons sumbernya.
Selain punya materi pertanyaan bagus, apalagi kemampuan yang dibutuhkan pembawa acara talkshow politik?
Yang jelas host itu tugasnya bukan sekadar bertanya, tapi juga menguji pernyataan, menunjukkan fakta-fakta yang saling bertubrukan sehingga bisa mengaduk-aduk emosi sumber sampai batas terjauh.
Politisi itu terbiasa menyembunyikan kejelasan dan sebaliknya, bermain drama untuk menjaga kepentingannya.
Kita juga harus berani potong pembicaraan yang jauh dari konteks, dan meyakinkan mereka agar bicara terbuka dan akuntabel.
Lalu, siapa yang menentukan angle atau topik di Mata Najwa?
Rapat redaksi. Itu kami gelar tiga kali seminggu. Semua topik yang potensial dibahas, siapa newsmaker-nya dan siapa sumber yang bisa menyampaikan dengan baik tema-tema yang dipilih. Walaupun keputusan akhir ada di saya tapi perdebatannya begitu cair di rapat. Wartawan kan tidak ada hierarki.
Bagaimana acara yang seminggu sekali itu agar tidak basi, apalagi ada talkshow tiap hari juga di Metro TV, yang mungkin menghadirkan sumber sama...
Justru itu, pemirsa Mata Najwa mengharapkan sesuatu yang berbeda. Kami harus hadirkan perspektif lain meski sumbernya sama.
Saat ini percuma menawarkan minuman es, karena semua orang sudah punya kulkas di rumah masing-masing. Tinggal klik saja dari new media (media sosial, blog, aplikasi berita) mereka bisa dapat informasi. Nah, televisi terancam media baru ini.
Maksud saya jangan sampai televisi nasibnya seperti pelukis Ernest Meissonier. Dia begitu terkenal di Prancis karena bisa melukis wajah persis aslinya.
Tapi, setelah lahir kamera dia tenggelam. Bahkan lukisan-lukisannya diturunkan dari museum, karena orang sudah tidak butuh dia lagi. Cepat atau lambat media juga begitu. Kita harus melakukan inovasi untuk bisa bertahan. Harus bisa tampil beda.