Politik Warung Kopi
"Ini tahun politik." Begitu kata koran. Begitu berita televisi. Demikian cuat-cuit di media sosial. Ngono kuwi bisik-bisik tetangga sembari petan dan menyisir rambut mencari tuma.
Benarkah hari-hari ini masuki masa tahun politik? Sepertinya iya! Sepertinya juga benar. Orang masuk warung kopi tak lagi sekadar minum kopi. Tak lagi sekadar ingin nyuantai dengan kopi. Tapi penuh dengan maksud berbeda. Maksud politik?
Entahlah, yang jelas terlihat banyak orang masuk warung kopi sembari membawa catatan. Sepertinya juga membawa bermacam dokumen. Sembari tangan kanan dan kiri membawa handphone. Si handphone berdering bergantian tanpa henti. Padahal telinga hanya ada dua, sementara otak di kepala hanya satu.
Terlihat juga orang tak lagi hanya terpekur memainkan gawainya masing-masing. Hanya asik sendiri berselancar di dunia maya. Tapi beberapa diwarnai dengan perdebatan-perdebatan semeja.
Terdengar juga seribitan suara yang terbawa angin air conditioner tentang argumen-argumen kritis. Tentang pemetaan massa. Tentang kemungkinan arah suara dan seterusnya.
(Massa apa? Arah suara apa? Entahlah, wong suaranya timbul temggelam, kadang hanya berdesir disisi telinga).
Pendeknya warung kopi menjadi tidak steril dari ranah politik. Apakah tidak boleh? Ya tentu saja boleh dong. Bagaimanapun berdatangannya orang-orang itu adalah omset.
Tahu sama tahulah, meski ini zaman now, memperoleh omset nomplok seperti itu bukan perkara gampang. Bukan seperti mendapat durian runtuh.
Mampu menjadi tempat komunal seperti itu jelas butuh amunisi untuk promosi. Jelas butuh melobi agar tempatnya bisa dipakai. Jelas butuh pelayanan ekstra agar tempat ngopinya nyaman sekaligus aman untuk pembicaraan-pembicaran internal yang boleh jadi rahasia.
Soal begini, warung kopi jelas memiliki strategi dan politik sendiri. Jangan dikira warung kopi hanya nyel jualan kopi. Jelas dia paham politik tertentu agar mampu menaikkan omset. Agar mampu lebih mudah untuk balik modal.
Kalau begitu sama-sama berpolitik dong? Ya iyalah! Hanya ranahnya yang berbeda. Sama-sama untung dan diuntungkan. Untung si warung karena memeroleh omset, diuntungkan si pengunjung karena ada tempat representatif untuk membahas sesuatu yang bersinggungan dengan tahun politik.
Jadi mana yang benar, politik warung kopi atau warung kopi yang berpolitik, atau juga warung kopi di tengah pusaran politik?
Lain hal; kalau Pak Presiden RI, Pak Joko Widodo, yang belakangan terlihat suka bertandangan dan selfie di warung-warung kopi, itu berada di ranah mana?Memberikan omset buat si warung kopi atau nebar pesona buat tahun 2019 lewat warung kopi?
Uhuiii ngopi dulu yuk biar kafein kopi bisa merasuk dalam badan. Ihiks biar selfie di warung kopi tidak bikin salah paham. (*)