Politik Pragmatisme?
Banyak pihak yang menganggap bahwa politik di negara kita khususnya dalam lima tahun terakhir ini cenderung pragmatis.
Pemegang kekuasaan kurang jeli menyerap idealisme seperti yang tertulis atau tersirat dalam UUD. Penguasa mengejar kepentingan sempit, jangka pendek dan alpha terhadap kepentingan strategis demi kesejahteraan rakyat banyak, sehingga mengakibatkan kepentingan yang seharusnya menjadi prioritas kebijakan pemerintah, menjadi terabaikan.
Saya jadi teringat ketika tahun-tahun awal kuliah di Fakultas Sosial Politik jurusan Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (UGM). Dosen pengantar ilmu politik mengutip definisi politik dari satu buku terbitan luar negeri, sayang saya lupa judul dan penulisnya. Definisi politik menjadi bahan diskusi yang mangasyikkan dan relevans dibahas pada situasi sekarang ini.
Sang penulis buku memberikan definisi tentang politik bahwa “Politic is the authorotative, allocation of values". Dosen Drs Usman TB MA menerjemahkan secara sinis; politik adalah alokasi atau pembagian rezeki yang sah. Kuliah menjadi hidup karena timbul perdebatan yang mengasyikkan. Seharusnya definisi politik adalah “distribusi nilai” untuk kemaslahatan dan kemakmuran bangsa.
Seperti Situasi Aawal Orba
Pak dosen tampaknya mengaitkan terjemahan definisi politik tersebut dengan situasi awal Orde Baru pada tahun 1970an. Ketika itu saya masih berada pada tahun kedua kuliah, ketika jabatan-jabatan strategis pemerintah pusat dan daerah diberikan kepada unsur militer dan kroni penguasa. Terkecuali sejumlah posisi kabinet yang terkait dengan pembangunan ekonomi diserahkan pada sejumlah teknokrat terkemuka.
Memang selama pemerintahan Presiden Joko Widodo panjang jalan tol (infrastruktur) meningkat secara tajam. Demikian pula sejumlah bandara dan bahkan kereta api cepat Bandung-Jakarta. Masyarakat berdecak kagum, tetapi dilihat dari kepentingan rakyat kecil, kurang memberikan manfaat. Banyak pihak yang menganggap sasaran pembangunan yang tidak tepat, di samping itu juga menambah utang pemerintah yang membesar.
Namun pada sisi lain, pemerintah kurang sigap dalam membangun pasar yang sangat strategis untuk kepentingan rakyat pada hal pemerintah menjanjikan sekitar 14 ribu pasar. Demikian juga rencana pembangunan “toll laut" untuk memperlancar arus distribusi barang dan jasa antara pulau Jawa dan luar Jawa juga belum terwujud. Sebabnya tidak lain karena pejabat yang kurang kredibel dan juga terjadinya kebocoran anggaran sebagai akibat dari kecenderungan sikap pragmatis.
Pragmatisme memang diperlukan, tetapi idealisme menyangkut kepentingan rakyat adalah hal yang paling utama. Tanpa itu pragmatisme akan menjebak dirinya sendiri.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.
Advertisement