Politik Memangku Presiden Jokowi
Banyak peristiwa politik menyenangkan pekan ini. Di Indonesia dua tokoh politik yang selalu kritis terhadap pemerintah mendapat penghargaan. Mereka Fadli Zon dan Fahri Hamzah.
Nama penghargaannya: Bintang Mahaputra Nararya. Diberikan di Istana Negara langsung oleh Presiden Joko Widodo. Bersama beberapa penerima penghargaan lainnya.
Keduanya politisi. Satu dari Partai Gerindra, satu dari wPartai Keadilan Sejahtera yang disersi. Fadli Zon selalu kritis meski partainya menjadi bagian pemerintah. Bahkan tergolong nyinyir.
Sedangkan Fahri Hamzah lebih bisa disebut politisi profesional. Ia sangat kritis dan lantang saat masih menjadi anggota DPR dari PKS. Tapi rasional saat sudah tak lagi di parlemen.
Toh demikian, keduanya sudah dicap sebagai politisi oposisi. Yang selalu mengkritisi kebijakan pemerintahan Joko Widodo. Baik secara kelembagaan maupun personal. Melalui media maupun media sosial.
Karena itu, banyak yang menyesalkan. Terutama para pendukung Presiden Jokowi. Adakah tidak ada orang lain yang lebih patut mendapat penghargaan seperti itu. Mengapa harus mereka?
Mahfud MD, Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, bilang penghargaan terhadap Fadli Zon dan Fahri Hamzah sudah sesuai dengan Undang-undang. Mantan ketua atau wakil lembaga negara, mantan menteri, dan setingkat mendapat bintang jasa seperti itu jika selesai tugas dalam satu periode jabatan.
Bahkan, katanya, sebelum adalah masalah hukuk, mantan pejabat seperti Irman Gusman, Surya Darma Ali, dan Jero Wacik sudah dianugerahi bintang tersebut. Kalau bintang jasa tidak diberikan terhadap orang kritis berarti pemerintah mempolitasi hak secara unfair.
Presiden Jokowi pun menganggap pemberian bintang jasa kepda Fahri Hamzah dan fadli Zon sebagai hal biasa dalam alam demokrasi. ''Berbeda dalam politik, ini bukan berarti kita ini bermusuhan dalam berbangsa dan bernegara. Inilah namanya demokrasi.
Ada dua pendekatan melihat peristiwa pemberian bintang jasa terhadap dua politisi kritis itu. Pertama, pendekatan legal formal seperti yang disampaikan Mahfud MD. Itu sudah sesuai aturan dan melekat hak-hak seperti dimakamkan di Taman Makam Pahlawan untuk yang bersangkutan.
Kedua, pendekatan politik kultural. Dalam hal ini, setiap penghargaan yang diberikan kepada siapa saja bisa dimaknai sebagai langkah politik pemerintah atau rezim politik yang sedang memerintah. Ia bukan semata implementasi aturan, tetapi ada makna politik di dalamnya.
Lantas bagaimana memaknai pemberian penghargaan kepada dua politisi yang selama ini bersikap oposisi terhadap pemerintah? Pemikiran politik Jawa barangkali bisa dipakai untuk membaca peristiwa politik ini.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo berasal dari Solo. Inilah kota yang menjadi sumber kebudayaan Jawa. Tentu selain Jogjakarta. Karena itu, simbol-simbol politik Jawa akan sangat kuat mencuat dari kedua kota ini. Tentu kultur politiknya juga sangat berpengaruh.
Paham politik Jawa menganut prinsip harmoni. Keseimbangan antar berbagai kekuatan. Bermula dari keseimbangan antara manusia dan alam. Keseimbangan antara lahir dan batin. Berusaha menghindari konflik secara terbuka.
Implikasi dari prinsip ini, perilaku politik Jawa cenderung menggunakan taktik akomodasionis di dalam mengkonsolidasikan berbagai kekuatan. Bagaimana kekuatan-kekuatan yang potensial mengganggu kekuasaan diakomodasi ke dalam satu satu tangan.
Bagaimana caranya? Nilai-nilai selalu bisa dilihat dari berbagai simbol. Simbol huruf, misalnya. Dalam simbol Jawa, aksara yang diberi sandhanganpangkon (pangkon) akan mati. Misalnya, tulisan ho kalau diberi pangkon hanya berbunyi h. Hilang vokal o-nya.
Dari simbol dalam penulisan aksara Jawa ini munculnya filosofi bahwa orang Jawa bila dipangku akan mati. Artinya, mereka akan tidak bisa berbuat banyak jika diakomodasi dengan berbagai cara.
Presiden Jokowi tampaknya sangat mendalami filosofi Jawa ini. Ia juga menerapkannya dalam perilaku politik saat memegang kekuasaan. Mulai saat menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan Presiden RI sampai sekarang.
Saat menjadi walikota Solo ia merelokasi para pedagang pasar dengan teknik memangku ini. Ia tidak konfrontatif. Tapi mereka diundang makan malam beberapa kali untuk meluruhkan hati mereka.
Saat menjadi presiden RI, Jokowi juga lebih banyak menggunakan teknik-teknik memangku para lawan politiknya. Dengan cara mengakomodasi dalam kekuasaan atau memberi jabatan kepada mereka.
Yang paling monumental adalah menempatkan rival politiknya dalam Pilpres, Prabowo Subianto, ke dalam pemerintahannya. Dengan memberikan dia jabatan sebagai Menteri Pertahanan dan memberi tugas khusus untuk mengurusi ketahanan pangan.
Meski aturanya memang mengharuskan, pemberian Bintang Jasa kepada Fadli Zon dan Fachri Hamzah ini bisa juga dimaknai sebagai politik ''memangku'' Presiden Jokowi. Dengan harapan vokal kedua orang ini akan berkurang --untuk tidak berharap hilangnya kekritisan mereka.
Mengapa momentumnya saat ini? Menurut perkiraan saya, sekarang ini, memang mengharuskan Presiden Jokowi untuk mengkonsolidasikan kekuasannya. Untuk menghadapi krisis yang diakibatkan Covid-19. Krisis yang bisa berujung kepada resesi ekonomi.
Dalam situasi dalam ancaman resisi, konsolidasi politik sangat diperlukan untuk menyelamatkan Indonesia. Menghindarkan diri dari krisis politik yang sangat mungkin dipicu akibat krisis ekonomi. Maka, segala kekuatan harus dikonsolidasikan untuk gotong royong menghadapi krisis secara bersama.
Dalam konteks ini, politik akomodasi dengan cara ''memangku'' beberapa tokoh politik kritis mempunyai makna siginikansinya. Tentu, gaya politik seperti ini sah untuk dilakukan oleh siapa saja yang kebetulan memegang amanah untuk menjadi pengendali negeri ini.
Target akhir dari perilaku politik ini adalah menciptakan suasana harmoni sehingga semua kekuatan bisa fokus dalam menghadapi krisis. Karena itu, saya memperkirakan tak akan ada kejutan-kejutan politik dari presiden kecuali dalam rangka politik akomodasi.
Tapi betulkah analisis ini? Ya yang tahu tentu Pak Jokowi sendiri.