Politik Kebudayaan Kita Gagal, Kata Halim HD Saat Peresmian Kantor DKS di Balai Pemuda
Politik kebudayaan di Indonesia mengalami kegagalan, karena ternyata kita lebih mementingkan investor dibanding membangun sendiri ruang-ruang untuk masyarakat berinteraksi serta ruang untuk anak-anak bermain.
Halim HD, budayawan kelahiran Serang, Banten yang bermukim di Solo mengatakan, dahulu para raja termasuk di Solo, Yogyakarta, Banten, Cirebon dan di manapun, kalau membangun keraton selalu di sekitarnya ada alun-alun.
“Di alun-alun itulah masyarakat bisa bertemu dan bersilaturahmi. Suku apa saja dan orang beragama apa saja bisa bertemu di alun-alun itu. Demikian pula anak-anak bisa bermain apa saja, tidak ada yang melarang. Maka alun-alun itu menjadi ruang terbuka untuk publik yang memang disediakan oleh pemerintah. Sekarang mana ada fasilitas seperti itu yang disediakan pemerintah? Karena yang lebih dipentingkan pemerintah adalah apa yang akan dibangun investor,” kata Halim HD, dalam pidato kebudayaan berjudul “Politik Kebudayaan Kota”, yang disampaikan pada acara peresmian kantor sementara DKS (Dewan Kesenian Surabaya) di komplek Balai Pemuda, hari Senin 5 Februari 2018 malam.
“Di Jepang, atau di negara-negara Eropa misalnya, pemerintah membangun plasa-plasa terbuka. Orang bisa bermain piano di situ, atau memainkan alat musik yang lain. Atau berpantomim. Sedang di sudut lain anak-anak berolahraga. Yang mau pingpong disediakan meja pingpong. Yang senang skateboard disediakan treknya. Masyarakat bisa saling berinteraksi dan bersilaturahmi di plasa itu,” tambahnya.
“Karena itu saya menilai politik kebudayaan kota di Indonesia mengalami kegagalan. Pemerintah kota lebih memandang penting membangun tempat parkir bawah tanah dibanding membangun ruang kebudayaan. Para kapitalis lebih diuntungkan dibanding membahagiakan masyarakatnya,” tandas Halim.
Sebelumnya, ekonom dari Unair Tjuk K. Sukiadi dalam sambutan peresmian kantor DKS mengingatkan bahwa Bung Karno dulu pernah berpesan untuk menyejahterakan rakyat itu gampang. Berilah mereka makan dan kultur. Bukan memberi rakyat sembako.
“Kultur itu penting. Kita bisa bayangkan bagaimana suatu bangsa tanpa budaya, maka dia akan menjadi bangsa yang tidak memiliki peradapan,” kata Tjuk Sukiadi. “Maka para seniman di Surabaya sekarang bisa bersyukur, karena meskioun mungkin dengan berat hati, pemerintah kota telah memfasilitasi DKS dan BMS dengan kantor yang baru, meskipun sifatnya sementara sambil menunggu pembangunannya,” tambahnya.
Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dan Bengkel Muda Surabaya (BMS), sejak pekan lalu memang sudah menempati ruang sementara di komplek Balai Pemuda. Kedua organisasi kesenian itu tetap berada di Balai Pemuda, tidak terusir. Tetapi karena ada proyek pembangunan kembali masjid Assakinah yang sudah terlanjur dibongkar Oktober lalu, maka sekretariat DKS dan BMS untuk sementara dipindahkan ke ruang Merah Putih.
Sekretariat DKS berada di bagian depan menghadap Jl. Gubernur Suryo, bersebelahan dengan masjid Assakinah sementara yang menempati ruang Merah Putih sebelah dalam. Sedang BMS berada di dekat pintu masuk ke masjid. DKS, BMS dan masjid Assakinah berada dalam satu gedung kuno Balai Pemuda sebelah timur.
Ketua DKS Chrisman Hadi dalam sambutannya menegaskan komitmennya untuk tetap berusaha agar komplek Balai Pemuda menjadi oase kebudayaan bagi kota Surabaya. Dengan memiliki oase budaya maka warganya tidak menjadi robot.
“Ini momen penting bagi sejarah kota untuk menunjukkan bahwa kekuasaan itu tidak boleh digunakan untuk menguasai yang lemah, tetapi justru kekuasaan harus dipergunakan untuk mendukung yang lemah,” kata Cisman Hadi.
Acara peresmian kantor DKS ditandai dengan pemotongan tumpeng yang dilakukan Tjuk Sukiadi, serta pembukaan pameran lukisan karya Jupri Adullah dan Didik S Setyadi di Galeri DKS. Pameran kedua pelukis ini bertajuk ‘Tetesan Darah untuk Negeriku.’ Acara juga diisi tampilnya penyair dari Jakarta, Jose Rizal Manua yang membacakan beberapa puisinya yang segar dan lucu sehingga sering membuat ketawa para undangan. (nis)
Advertisement