Politik Kebencian
Saya baru saja keluar dari grup Whatsapp. Grup yang saya tidak kenal adminnya. Mereka juga tak pernah minta izin ketika memasukkan nama saya dalam grup tersebut.
Tapi selama ini saya tak bereaksi. Juga tidak pernah aktif ikut perbincangan di dalamnya. Saya sempat mengintip siapa saja yang masuk atau dimasukkan dalam grup itu.
Wow… banyak tokoh nasional dan daerah. Mulai dari politisi, jurnalis senior, dan tokoh agama. Tapi juga lebih banyak yang tidak saya kenali. Yang pasti, tokoh-tokoh itu jarang nimbrung di perbincangan.
Pasti mereka sungkan untuk langsung meninggalkan grup tersebut. Saya menduga mereka juga tak jenak dengan perbincangan yang terkadang berlebihan. Perbincangan yang lebih tepat dengan caci maki dan syak wasangka karena berbeda pilihan politik.
Lah kenapa saya nekat meninggalkan grup? Satu karena tidak kenal adminnya. Dua karena mereka memasukkan nama saya tidak ijin. Ketiga, rupanya grup ini banyak mengunggah konten politik kebencian.
Saya tidak tahu dari mana mereka mendapatkan nomor WhatsApp saya. Juga tidak tahu alasan memasukkan nama saya dalam grup. Tapi yang pasti saya keluar setelah lama saya biarkan karena alasan terakhir.
Mereka banyak menyebar pesan-pesan kebencian. Tentang tokoh-tokoh NU, tentang presiden, tentang pemerintah sekarang, dan tentang partai politik yang sedang berkuasa. Sayangnya, penebar kebencian itu menggunakan nama-nama anonim.
Lah apa manfaatnya grup seperti ini? Kalau grup ini dibikin sebagai penebar gagasan, kenapa pengirim pesan menggunakan nama-nama anonim? Lantas apa fungsinya admin? Apakah admin membikinnya sekadar menjadi keranjang sampah.
Banyak beredar grup semacam ini. Tidak hanya dalam bentuk grup whatsapp. Tapi juga di media sosial lainnya. Di Facebook juga ada. Tapi media sosial yang paling jorok adalah Twitter. Bahkan, ada fitur twitwar di dalamnya.
Apalagi ada robot untuk menjadikan media sosial sebagai media propaganda. Yang membuat orang yang menerima pesan senada akan terus dibanjiri pesan serupa. Sehingga tidak banyak pilihan beragam untuk mereka.
Saya menjadi teringat film yang dirilis Netflix 2019. Judulnya The Great Hack. Film ini bercerita tentang skandal yang melibatkan konsultan politik internasional Cambridge Analityca. Ini konsultan yang berbasis di London.
Ini bukan film fiksi. Tapi film dokumenter. Film yang disutradarai Karim Amer dan Jehane Noujaim ini mengungkap paradok media sosial. Media sosial yang diciptakan untuk menyatukan umat manusia, tapi sekaligus jadi sumber perpecahan.
Mula kasusnya adalah pemilihan Presiden Amerika. Setelah lengsernya Presiden Barack Obama. Cambridge Analytica menggunakan data Facebook untuk pemenangan Donald Trump. Cambridge mengolah data pribadi yang ditambang perusahaan big data tersebut untuk propaganda.
Dengan bekal data pribadi dari Facebook, konsultan ini memainkan psikologi para pemilih di Amerika Serikat. Lalu memproduksi pesan-pesan untuk menarik para pemilih mendukung Trump. Bahkan, dengan memproduksi pesan-pesan hoaks. Memainkan psikologi pemilih lewat media sosial.
Hasilnya? Anda tahu sendiri. Bagaimana politik kebencian berkembang sedemikian rupa selama Pilpres sampai satu periode Trump berkuasa. Masyarakat Amerika terbelah, seperti di Indonesia paska pilpres 2019.
Narasi-narasi SARA bertebaran. Tidak hanya melibatkan para elit politik. Sampai juga ke akar rumput. Demokrasi Amerika yang selama ini diklaim sebagai kampiunnya mengalami degradasi paling menyedihkan. Inilah sisi sendu revolusi digital yang seharusnya menggembirakan dan membawa kemajuan.
The Great Hack sebenarnya lebih merupakan film tentang penyimpangan data pribadi. Yang kini tanpa sadar dipasok ke semua bigdata yang menambangnya melalui pembuatan akun di media sosial yang ditawarkannya. Dan umumnya, para penggunanya dengan senang hati menyerahkannya.
Data pribadi itu yang kemudian diselewengkan oleh konsultan politik dengan membaca algoritma para penggunanya. Dengan itu, mereka memberikan konten-konten hoaks yang membuat penggguna platform media sosial itu mudah dikelabui.
Film ini sebetulnya berniat mendidik pengguna medsos untuk lebih sadar dalam perlindungan data pribadi. Memberikan kesadaran baru tentang moralitas politik yang seharusnya menjadi tanggungjawab semua orang. Bahwa ada sisi suram dari revolusi digital di dunia politik yang ikut menentukan nasib negara maupun banyak orang.
The Great Hack menceritakan tiga orang aktor utama. Mereka adalah Profesor David Carroll dari Parsons dan The New School, mantan direktur pengembangan bisnis Cambridge Analytica, Brttany Kaiser, dan jurnalis investigasi Inggris Carole Cadwalladr. Melalui ketiganya, film ini mengungkap peran Cambridge Analityca dalam dinamika politik berbagai negara.
Bayangkan, satu lembaga yang berada di Inggris menjadi tim pemenangan salah satu kekuatan politik tidak hanya di negerinya. Ia mengekspor keahlianya dalam mengolah data dan kemudian menjadi alat propaganda dari masing-masing kandidat di negeri lain. Selain di AS, ia juga menjadi konsultan pemanangan di berbagai negara Afrika dan Amerika Latin.
Cambridge Analytica juga berperan dalam referendum di Inggris. Merekalah yang mengoalah kampanye Brexit yang berakhir dengan keluarnya negeri tersebut dari Uni Eropa. Mereka melakukan hal itu dengan menyelewengkan data pribadi yang diambil dari Facebook untuk tujuan politik tertentu.
Cambridge Analytica merupakan anak perusahaan Grup SCL. Ini adalah perusahaan riset dan komunikasi strategis dengan spesialisasi mempelajari dan mempengaruhi perilaku massa. SCL punya keahlian dalam operasi psikologis dan bekerja dalam operasi militer dan politik di seluruh dunia.
Skandal ini kali pertama diungkap jurnalis The Guardian Harry Davies. Dialah yang melaporkan penggunaan jutaan data pribadi akun Facebook tanpa persetujuan pemilik akunnya. Saat itu, konsultan politik ini bekerja untuk senator Ted Cruz sebelum bekerja untuk pemenangan Presiden Trump.
David Carrol mengungkap skandal tersebut setelah CEO Cambridge Analytica Alexander Nix mengungkap memiliki 5 ribu data poin dalam setiap pemilih Amerika. Dari situlah, ahli data ini tergugah untuk mendapatkan kembali datanya dengan bantuan seorang pengacara di Inggris.
Sebelum ia berhasil memperoleh hasilnya, SCL Election mempailitkan diri. Tapi gerakan Carrol ini kemudian mengungkap skandal dan bahkan menjadikan pendiri Facebook Mark Zukernberg harus berhadapan dengan komisi investigasi Konggres AS. Jadilah, penyimpangan oleh Cambridge Analytica ini sebagai gerakan moral di AS dan Inggris.
Bagi saya, film ini tidak hanya menggambarkan paradoks kemajuan teknologi informasi. Ironi visi menyambungkan umat manusia melalui kemajuan teknologi yang ternyata juga memproduksi polarisasi dan kebencian yang tak berkesudahan dalam masyarakat.
Tapi juga memberi pesan bahwa dalam setiap penyimpangan selalu ada moralitas yang tersadarkan. Hadirnya seorang profesor, keluarnya salah satu direktur Cambridge Analytica dan salah satu pendiri perusahaan konsultan itu adalah buktinya.
Ia tersadarkan setelah tempat kerja mereka ternyata melahirkan kerusakan dan merusak tatanan demokrasi di negerinya. Rasanya ini sebuah hukum alam. Setiap kemajuan selalu memiliki sisi baik dan sisi suram. Setiap kerusakan selalu melahirkan kesadaran baru untuk melakukan langkah-langkah perbaikan.
Mungkin saat ini demokrasi kita juga sedang menghadapi masa suram. Tapi saya selalu yakin akan terjadi keseimbangan baru untuk menuju perbaikan. Tidak mesti kejahatan akan didukung semua orang. Pasti akan selalu ada nurani yang tersisa.
Jadi kalau kita pernah juga mengalami fase maraknya politik kebencian, yakinlah bahwa akan lahir gerakan perlawanan. Hanya saja berapa lama penggunaan politik kebencian berketerusan, ini sangat tergantung dengan seberapa banyak orang tersadarkan betapa merusaknya politik kebencian.
Saatnya kita cerdas bermedia sosial. Biar tidak membuat politik kebencian mendapat ruang di negeri kita. (Arif Afandi)