Politik Kebencian di Balik Aksi #GantiPresiden2019
Aksi massa #GantiPresiden2019 dan #TolakGantiPresiden, benturan di Surabaya, Minggu 26 Agustus. Aksi massa #GantiPresiden2019 tidak mendapat izin dari Kepolisian. Sementara, pihak massa #TolakGantiPresiden beralasan menghadang karena aksi #GantiPresiden2019 ditunggangi para penyebar kebencian dan pengusung khilafah dan sebagainya.
Yang lebih seru lagi, Ahmad Dhani, yang selama dikenal sebagai penyanyi dari Jakarta, hadir di Surabaya untuk mendukung massa #GantiPresiden2019. Musisi yang juga mantan suami Maia Estianty ini, sempat menyebut: Banser ideot, hingga menimbulkan ketegangan.
Benarkah demikian yang terjadi? Untuk memperjelas hal itu, ngopibareng.id menyajikan komentar pengamat sosial yang juga dosen FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Listiyono Santoso:
Titik berangakatnya yang berbeda, cara berpolitiknya yang berbeda. Saat ini penetapan capres belum dimulai oleh KPU, tapi semangat untuk ganti presiden sejak lama dilakukan. Saya lebih menduga ini politik kebencian mendalam pada satu kubu yang kemudian direproduksi terus menerus dan masif.
Cara dan mekanisme ini pasti akan mencipta situasi resisten pada kelompok pendukung lainnya. Cara dan model berpolitik dengan membuat #GantiPresiden2019 (tagar ganti presiden) atau tagar tolak ganti presiden (#TolakGantiPresiden) jelas tidak sehat dalam langgam politik yang tidak sehat.
Sederhananya, akan lebih baik mereka menggunakan istilah relawan Jokowi - Ma’ruf dan relawan Prabowo - Sandi. Dua istilah ini lebih pas dan tidak memberikan konotasi berlebihan.
Tagar ganti presiden seperti memprovokasi bahwa Pemilu 2019 harus ganti presidennya. Tagar ganti tolak presiden sebagai responnya juga akhirnya punya kondisi yang sama harus tetap presiden.
Ayo kita jernih membaca semua rentetan keterbelahan sikap politik ini, semula muaranya dari mana?. Dari sana akan ketemu 'akar-akar' lahirnya keterbelahan.
"bagaimana mungkin isu SARA saat Pilpres bisa muncul begitu masif padahal Prabowo dan Jokowi bukanlah, bahkan tidak punya jejak sama sekali dalam soal aktivisme agama. Kalau toh beragama, konstruksi cara beragama keduanya juga sama. Bukan santri, bukan juga orang orang yang suka terlibat dalam aktivisme gerakan keagamaan."
Tapi, karena semuanya sudah terbelah, keinginan untuk menjadi netral dan memberitahukan ada langgam politik yang salah kaprah pun akan dianggap ini bagian dari salah satu kelompok. Kita (saya tidak tahu kita itu siapa saja) sepertinya tidak perlu ikut larut dalam langgam ketidakcerdasan ini.
Kita selayaknya mendukung setiap proses politik yang konstituasional dan sehat. Elit (partai) politik kelihatannya membiarkan kondisi ini terus menerus dan menganggapnya ini sebagai sebuah kewajaran berpolitik. Inilah langgam orang orang dewasa yang berpolitik secara kekanak-kanakan.
Namun kita harus tetap mengurai semua masalah ini bermula darimana dan dari siapa?. Agar ke depan nanti tidak ada keinginan negeri ini membuat komisi kebenaran dan rekonsialiasi, termasuk mohon maaf, dengan cara mencipta stigma terhadap kubu yang berbeda.
Produksi istilah antek China, antek PKI dan sebagainya menurut saya juga turut serta memanasi situasi. Apalagi dalam konteks ini terkait dengan sikap ideologis capresnya.
Sederhananya, bagaimana mungkin isu SARA saat Pilpres bisa muncul begitu masif padahal Prabowo dan Jokowi bukanlah, bahkan tidak punya jejak sama sekali dalam soal aktivisme agama. Kalau toh beragama, konstruksi cara beragama keduanya juga sama. Bukan santri, bukan juga orang orang yang suka terlibat dalam aktivisme gerakan keagamaan.
Tapi mengapa isu sara kemudian hadir di antara keduanya.?
Agar supaya data sejarah dan fakta sejarah menjadi jernih sampai pada generasi berikutnya. Petaka kebangsaan, jika masa depan sebuah generasi dikuasai oleh data dan fakta sejarah yang manipulatif atas dasar kepentingan siapa saja, termasuk kepentingan kekuasaan.(adi)
Advertisement