Politik Identitas, No: Terima Kasih Prabowo, Terima Kasih Jokowi
Sungguh pemilihan presiden 2019 ini menjadi kurang seru. Sebab, calon presidennya ya tetap itu saja: Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Kedua, politik identitas menjadi kurang mengemuka. Ini setelah Jokowi memilih calon wakil presiden KH Ma'ruf Amin dan Prabowo menggandeng Sandiaga Uno.
Pendukung Prabowo kehilangan alasan untuk menuding Jokowi anti Islam dan suka mengkriminalisasi ulama. Pendukung Jokowi tak bisa melabeli Prabowo sebagai capres pro Islam garis keras, apalagi pro khilafah.
Dengan politik identitas tak bisa dilekatkan kepada masing-masing kandidat, pertarungan politik atas nama agama menjadi tidak relevan. Susah menjadikan agama sebagai gorengan untuk mengangkat maupun menjatuhkan lawan.
Dengan komposisi pasangan seperti sekarang, kita berharap pilpres kali ini makin rasional. Masing-masing bertarung tentang track record maupun program yang ditawarkan. Bukan berdasarkan politik aliran, berlandaskan pertarungan ideologis, dan semacamnya.
Politik identitas adalah politisasi identitas bersma atau perasaan ''kekitaan'' yang menjadi basis utama perekat kolektifitas kelompok. Identitas dipolisasi melalui interpretasi secara ekstrem yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa sama, baik secara ras, etnisitas, agama dan elemn perekat lainnya.
Politik merupakan seni memperebutkan kekuasaan. Juga seni mengkonsolidasikan dukungan untuk mencapai tujuan tertentu. Politik identitas pada akhirnya bisa diartikan sebagai seni merebut kekuasaan dan mengalang dukungan dengan menjadikan agama, etnisitas, dan ras untuk alat konsolidasinya.
Mulai Pilkada DKI
Politik identitas yang menyeruak di permukaan terjadi pada Pilkda DKI Jakarta, beberapa waktu lalu. Saat itu, politisasi agama begitu kentalnya. Apalagi calon terkuatnya adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang beragama Kristen. Secara etnis kebetulan dia adalah keturunan Tionghoa.
Dua elemen yang gampang digoreng sekaligus menyatu dalam diri Ahok. Karena itu, politik ''kita'' dan ''mereka'' menjadi gampang sekali dimunculkan dalam pertarungan perebutan menjadi orang nomer satu di ibukota Jakarta.
Ahok muncul dalam pertarungan politik nasional setelah digandeng Jokowi untuk menjadi wakil gubernur DKI. Ia mengalahkan pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli yang diusung Partai Demokrat. Sedangkan Jokowi-Ahok diusung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra.
Setelah terpilih menjadi Gubernur DKI, Jokowi maju sebagai calon presiden RI. Mantan walikota Solo itu pun terpilih menjadi orang nomor satu RI dalam pilpres 2014. Secara otomatis Ahok yang kemudian berhak menggantikan sebagai Gubernur DKI.
Lantas bagaimana mengalahkan Ahok yang diusung partai-partai besar dan namanya melekat sebagai orangnya Presiden RI? Dalam hitungan rasional politik, memang agak sulit mengalahkannya. Berbagai sumber daya politik ada di tangan Ahok.
Ternyata Ahok yang begitu digdaya bisa dikalahkan dengan mengkristalkan politik identitas. Koalisi Partai Gerindra, PAN, dan PKS berhasil membangun politik identitas yang mampu menggusur Ahok yang saat itu muskil untuk dikalahkan.
Namun, keberhasilan koalisi penentang Ahok dengan kristalisasi politik identitas ini terlalu mahal harganya bagi masa depan Indonesia. Masa depan bangsa yang berdasarkan Pancasila yang dibangun dengan kemajemukan lewat Bhineka Tunggal Ika.
Untuk beberapa saat, bangsa ini seakan terpecah kepada dua kelompok: Kelompok Politik Islam dan Kelompok Politik Pro Bhineka Tunggal Ika. Di luar itu, ada kelompok silent majority yang engan menujukkan sikap politiknya secara terbuka.
Polarisasi politik identitas ini sempat membayangi Pilpres 2019. Juga sempat menggelayut bersama pelaksana Pilkada Serentak 2018. Berbagai pilgub sempat dicemaskan menguatnya politik identitas sebagai dampak dari Pilgub DKI.
Ternyata, rajutan koalisi di berbagai pilgub tak berhasil mereplikasi pertarungan politik identitas itu. Jabar gagal meniru sukses DKI. Demikian juga di Jateng dan Jatim. Pilkada serentak melumerkan kembali politik identitas.
Berbagai pilkada serentak membuktikan bahwa bangsa ini tak ingin terseret dalam konflik berkepanjangan berdasarkan penelompokan agama, etnis, dan ras. Mayoritas pemilih ternyata lebih menghendaki politik rasional berdasarkan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
Sejarah bangsa ini menunjukkan bahwa politik identitas tidak membawa kepada stabilitas dan kenyamanan berbangsa. Pengalaman bangsa Indonesia dalam konflik politik aliran di tahun 1960-an adalah pengalaman gelap bangsa yang tak ingin terulang.
Political Will Elit
Persoalannya bagaimana menjaga agar politik identitas tak menguat kembali di masa mendatang? Tampaknya memang diperlukan kemauan politik pemimpin bangsa kita. Sepanjang para aktor politik tidak mau menggunakan kendaraan politik identitas, maka dia tidak akan berkembang.
Selama ini, politik identitas meningkat karena dianggap paling gampang untuk mendulang suara. Karena itu, banyak elit politik yang mengambil jalan panjang untuk menggunakan hal itu dalam perturangan politik. Pemanfaatan politik identitas ini dilakukan sejak pemerintahan Orde Baru.
Di akhir pemerintahan Soeharto, saya bertemu dengan seorang jenderal yang sedang menjabat sebagai Pangdam Jaya. Orang yang tidak perlu saya sebutkan namanya ini bercerita sedang membina para habaib di wilayah Jakarta. Para Habaib itulah yang namanya moncer hingga sekarang.
Militer sebagai kepanjangan tangan pemerintahan Soeharto memang banyak memiliki ''binaan'' untuk kepentingan politik saat itu. Mereka ini menjadi penyuara kepentingan politik militer. Juga menjadi garda depan untuk menghadapi lawan-lawan mereka.
Sejumlah organisasi diciptakan. Mereka juga membiayai organisasi-organisasi warna keagamaan yang baru untuk memperkuat politik identitas. Pola seperti ini terus berlanjut meski dalam skala dan intensitas yang berbeda. Menjadikan agama sebagai alat politik bukan untuk kepentingan agama itu sendiri.
Apakah ummat beragama tidak boleh memiliki aspirasi politik? Jelas boleh. Dalam alam pikiran demokrasi, umat agama adalah juga polity alias kumpulan masyarakat politik. Karena itu, mereka punya kepentingan politik yang harus diakomodasi oleh negara. Kepentingan yang disampaikan dan disalurkan melalui mekanisme yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Umat Islam di Indonesia jelas punya kepentingan politik. Mereka bisa mengajuikan nilai-nilai ke-Islaman ke dalam kehidupan kenegaraan. Namun, ketika nilai itu dipaksakan dan meniadakan umat lainnya, maka sudah menabrak konsensus bersama saat membentuk NKRI.
Karena itu, menyeret politik identitas ke dalam pertarungan memperebutkan kekuasaan perlu dihindari sejauh mungkin. Dan itu sangat mungkin jika para elit yang sedang bertarung punya kesadaran untuk menghindarinya.
Karena itu, dalam urusan pilpres 2019, kita patut berterima kasih kepada Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Setidaknya sampai saat ini keduanya tidak memberi ruang penggunaan politik identitas. Semoga ini berlangsung sampai Pilpres 2019 terjadi. (arif afandi/ngopibareng)