Politik Identitas, Negara Pancasila
Seminar di Universitas Islam Negeri Arraniri Banda Aceh mengangkat tema "Politik Identitas". Penulis berkesempatan menyampaikan pandangan berikut:
Istilah "Politik Identitas" kali pertama dikemukakan Calvin (Calvinisme) setelah berakhirnya perang sesama pemeluk Nasrani di Eropa 1618 - 1648. Identitas Calvinisme adalah kekuasaan politik di tangan negara, gereja/agama dikeluarkan dari urusan negara.
Maka berakhirnya kekuasaan Sri Paus sebagai penguasa politik dunia Nasrani (Katolik). Mereka yang masih membela kekuasaan gereja, dianggap "politik identitas".
Di dunia Islam, sistem khilafah yang merangkap penguasa agama dan negara secara resmi berakhir pada 1924, dengan runtuhnya Kekhalifahan Utsmani (Dinasti Ottoman). Dengan demikian di Indonesia yang diklasifikasikan ke dalam politik identitas adalah organisasi yang berasaskan agama, antara lain DII/NII, HTI, JII.
Di Eropa ada sejumlah partai menggunakan identitas agama. Misalnya, Kristen Demokrat, tetapi tidak bisa digolongkan ke dalam politik identitas karena tidak memperjuangkan negara teokrasi.
Sekularisme dan Pancasila
Pancasila tidak mengikuti pola pemisahan agama dengan negara dan menolak negara agama. Berbeda dengan demokrasi barat yang menganggap agama urusan pribadi, Negara Pancasila melindungi dan membantu agama sesuai pikiran Imam Al-Ghazali yang berpendapat agama dan negara seperti saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, agama sebagai asas (nilai) sedang negara sebagai penjaga, penguasa bertanggung jawab terhadap kemaslahatan rakyat.
Keduanya saling mendukung sehingga pelaksanaan syariat harus selaras dengan hukum negara yang multikultural.
Pendapat Imam Al-Ghazali ini oleh penulis terkemuka Amerika Serikat, Alfred Stephan disebut "twin toleration" (toleransi kembar) dan atas dasar itu Stephan berpendapat Indonesia akan menjadi negara Muslim yang maju.
Dengan demikian Islam di Indonesia bersifat inklusif atau tolerans terhadap pemeluk agama lain, artinya Pancasila mendukung budaya, peradaban dunia. Bandingkan dengan argumen Huntington dan Fukuyama, pendekar globalisme. Kata keduanya : Neoliberalisme, peradaban Barat akan menguasai peradaban timur (China, Jepang, India) dan Islam (Timur Tengah, Asia Tenggara). Artinya, globalisme menghendapi penyeragaman peradaban dan hal itu jelas bertentangan dengan ajaran Al-Quran, antara lain, Surat Al-Hujurat ayat 13.
Saling Mengenal
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti." (Al-Quran Surat Al-Hujurat: 13)
Tafsir Jalalayn dan Tafsir Al-Misbah karya M Quraish Shihab dijelaskan:
(Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan) yakni dari Adam dan Hawa (dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa) lafal Syu'uuban adalah bentuk jamak dari lafal Sya'bun, yang artinya tingkatan nasab keturunan yang paling tinggi (dan bersuku-suku) kedudukan suku berada di bawah bangsa, setelah suku atau kabilah disebut Imarah, lalu Bathn, sesudah Bathn adalah Fakhdz dan yang paling bawah adalah Fashilah.
Contohnya ialah Khuzaimah adalah nama suatu bangsa, Kinanah adalah nama suatu kabilah atau suku, Quraisy adalah nama suatu Imarah, Qushay adalah nama suatu Bathn, Hasyim adalah nama suatu Fakhdz, dan Al-Abbas adalah nama suatu Fashilah (supaya kalian saling kenal-mengenal) lafal Ta'aarafuu asalnya adalah Tata'aarafuu, kemudian salah satu dari kedua huruf Ta dibuang sehingga jadilah Ta'aarafuu; maksudnya supaya sebagian dari kalian saling mengenal sebagian yang lain bukan untuk saling membanggakan ketinggian nasab atau keturunan, karena sesungguhnya kebanggaan itu hanya dinilai dari segi ketakwaan. (Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui) tentang kalian (lagi Maha Mengenal) apa yang tersimpan di dalam batin kalian.
Demikian semoga bermanfaat.
DR KH As'ad Said Ali
Penulis buku "Negara Pancasila", Pengamat Sosial Politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.