Politik Harga Mati PKS
Direktur Pencapresan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Suhud Aliyudin membuat sebuah pernyataan ngeri-ngeri sedap. Jika sampai tidak ada kadernya yang dipilih sebagai cawapres Prabowo, maka PKS mempertimbangkan abstain pada Pilpres 2019.
Ini bukan kali pertama PKS mengancam Prabowo. Tak lama setelah Prabowo bertemu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) PKS juga mengancam akan meninggalkan Prabowo bila menggandeng Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres.
Benarkah PKS akan meninggalkan Prabowo, atau bahkan memilih abstain? Kalau melihat hubungan PKS-Gerindra yang sudah terjalin sekian lama, berbagai ancaman tersebut tidak perlu ditanggapi secara serius.
PKS, kata orang Melayu sedang merajuk. Meminta perhatian. Jadi memang sebaiknya Gerindra tak perlu menanggapinya dengan keras pula. Ajak bicara baik-baik. Insya Allah semuanya masih didiskusikan.
Seperti sepasang kekasih, PKS sedang cemburu. Mereka mengira Gerindra sudah melupakannya, karena bertemu “mempelai” baru Demokrat. Kebetulan pula Demokrat ini dari sisi penampilan memang lebih menarik.
Punya kursi di DPR lebih banyak. Punya calon “mempelai” yang lebih muda, lebih menarik, dan lebih populer. Orang tua “mempelainya” juga bukan sembarangan. Mantan presiden dua periode yang dipastikan sangat siap membiayai perhelatan menjadi sebuah pesta yang meriah.
Agak sulit, bahkan rasanya tidak mungkin PKS sampai berani mengambil langkah sedramatis itu. Jika meninggalkan Prabowo, kemana PKS akan berlabuh? Bergabung ke Poros Jokowi? Jelas tidak mungkin. Membentuk poros sendiri? Sudah tidak tersedia tiketnya. Kecuali Jika Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan presidential threshold 20-25%. Sementara bila abstain, PKS terancam dilarang ikut pemilu berikutnya.
Pasal 235 ayat 5 UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu mengatur sanksi bagi Parpol peserta Pemilu yang telah memenuhi syarat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden, namun tidak mengusung calon presiden dan wakil presiden. Tidak ada pilihan lain bagi PKS kecuali meneruskan koalisinya dengan Gerindra, PAN, dan Demokrat.
Cawapres harga mati
Sejak awal PKS memang telah mematok posisi cawapres sebagai harga mati. Mereka semula menyodorkan sembilan nama bacapres yang bisa dipilih salah satunya. Nama tersebut muncul dari pemilihan raya (pemira) sebagai mekanisme internal PKS.
Mereka adalah mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher), Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, mantan Presiden PKS Anis Matta, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, Presiden PKS saat ini Sohibul Iman, Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al Jufri, mantan Menkominfo Tifatul Sembiring, anggota DPR RI Muzzamil Yusuf, dan Mardani Ali Sera.
Dari sembilan nama tersebut entah bagaimana ceritanya tiba-tiba mengerucut menjadi dua nama, Aher dan Salim Segaf Al Jufri yang menjabat sebagai Ketua Majelis Syuro PKS. Dua nama ini kemudian disodorkan ke Prabowo. Munculnya nama Aher bisa dimaklumi, karena bersama Hidayat Nurwahid dan Anis Matta, dia berada diperingkat pertama tiga besar. Sementara Salim Segaf berada di peringkat keenam.
Belakangan dua nama tersebut mengerucut menjadi satu nama, Salim Segaf. Aher ternyata kemudian malah diminta menjadi caleg. Peluangnya menjadi capres tertutup.
Nama Salim Segaf kian menguat ketika ijtima ulama merekomendasikannya sebagai cawapres pendamping Prabowo, bersama Ustaz Abdul Somad. Setelah Abdul Somad menolak, maka menurut logika PKS wajarlah bila Salim Segaf yang harus dipilih Prabowo.
Tuntutan tersebut sangat wajar bila Gerindra hanya berkoalisi dengan PKS. Dua sekutu ini, begitu Prabowo biasa menyebutnya, mempunyai sejarah panjang. Mereka jatuh bangun bersama, mulai dari Pilpres 2014, sampai pertempuran dramatis Pilkada DKI 2017, dan terakhir di Pilkada Serentak 2018. Di Jabar PKS bahkan rela meninggalkan Deddy Mizwar, demi tetap bersama Gerindra. PKS juga tetap bersama Gerindra bertahan di Koalisi Merah Putih (KMP).
Sebagai sekutu PKS memang telah membuktikan kesetiaannya, dan rela berkorban untuk Gerindra. Jadi bagi PKS pada Pilpres 2019 inilah waktunya Gerindra menunjukkan kesetiaan yang sama.
Masalahnya Gerindra tidak hanya berkoalisi dengan PKS, namun juga ada PAN, dan Demokrat. Disamping itu siapa yang dipilih sebagai cawapres Prabowo akan sangat menentukan. Tidak boleh hanya didasarkan pada perasaan dan sikap sentimentil karena hubungan persekutuan yang terjalin lama.
Kembali berhadapan dengan Jokowi, Prabowo harus benar-benar mendapat pasangan yang kuat dan bisa mendongkrak elektabilitasnya. Hanya dengan begitu peluangnya mengalahkan Jokowi menjadi terbuka.
Nama Salim Segaf tidak pernah masuk dalam radar semua survei. Dia punya ketokohan yang sangat kuat secara internal, namun secara eksternal tidak cukup dikenal.
Berbagai “ancaman” yang muncul dari PKS pasti sangat merepotkan Prabowo. Sebagai seorang prajurit komando, Prabowo dipastikan sangat menjaga esprit de corps. Dia tidak akan meninggalkan kawan seiring yang bersama-sama bersisian dalam berbagai palagan pertempuran.
Prinsip mereka no man left behind.Sebuah moto yang diadopsi dari frasa bahasa Latin, “nemo residio.” Seorang prajurit komando seperti Prabowo tidak akan meninggalkan kawan seiring, terluka dan tertinggal di medan pertempuran. PKS pasti tidak akan ditinggalkan Prabowo, apalagi sampai dibiarkan menyeberang ke kubu musuh.
Namun yang perlu dipahami, Prabowo juga harus memperhatikan partner koalisi lain, Demokrat, dan PAN. Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais secara terbuka sudah menyatakan Salim Segaf tidak cukup nendang. Amien lebih memilih Abdul Somad. Hanya saja saja ustaz fenomenal ini menolak.
Siapa yang akan mendampingi Prabowo memang harus benar-benar dipertimbangkan dengan masak. Tidak bisa hanya didasarkan pada emosi, atau kepentingan partai semata.
Ada baiknya PKS kembali ke opsi semula menawarkan sembilan bacapres. Atau supaya tidak terlalu banyak, dibatasi tiga besar. Biarkan Prabowo dan partner koalisi yang menilai dan memutuskan. Negosiasi bukanlah politik harga mati. End
*) Ditulis oleh Hersubeno Arief, wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik - Tulisan ini dikutip sepenuhnya dari laman hersubenoarief.com atas ijin penulis.