Politik Genderuwo dan Rekayasa Ketakutan
Kampanye pemilihan presiden/wakil presiden sudah berjalan. Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB Arya Hadi Dharmawan menyebut, beragam keriuhan yang kini terjadi tak lepas dari praktik politik ketakutan atau politik genderuwo yang mewabah.
Apa sebenarnya politik gendruwo? Berikut ulasan singkat Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB ini:
Politik Ketakutan (The Politics of Fear) - Politik Genderuwo
1. Buku Sosiologi Kontemporer tentang Ketakutan.
Ada dua buku sosiologi kontemporer populer yang menarik dibaca. Dua buku tersebut yaitu ditulis oleh Prof. Barry Glassner (sociologist) membahas culture of fear. Buku ini ditulis setelah peristuwa 9/11 yang menggemparkan dunia pada tahun 2001 yaitu rubuhnya gedung WTC setelah ditabrak oleh pesawat yang dikuasai teroris. Sejak itu ketakutan terus menyelimuti warga USA. Buku lainnya adalah tulisan Prof. Frank Furedi (sociologist) membahas *politics of fear* di abad 21 yang juga dipublish tak berjauhan waktu dengan buku Glassner. Politics of fear adalah politik dengan merekayasa ketakutan.
2. Apa itu Budaya Ketakutan dan Politik Ketakutan?
The culture of fear (Glassner) adalah budaya ketakutan yang membayang di pikiran sebuah masyarakat. Bias pikiran ke arah negatif tersebut, berpotensi untuk diinstrumentasi (oleh segolongan orang) sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Alhasil ia menghasilkan the politics of fear (Furedi, 2005). Politik ketakutan. Politik berbasis rasa takut dimainkan oleh segolongan orang untuk meraih dukungan politik dari orang-orang yang dilanda kecemasan dan ketakutan luar biasa.
Agar terjadi dukungan, kecemasan harus difabrikasi atau ditumbuhkan secara meluas. Setelah mencapai critical mass, maka massa yang dilanda kecemasan dan ketakutan tersebut akan mendukung suatu kekuatan politik tertentu.
Dukungan yang didapat adalah dukungan karena dorongan oleh rasa ketakutan, kecemasan, ketidakpastian. Bukan, dukungan yang didapat dari keberanian menghadapi resiko, kekuatan hati, dan harapan serta optimisme. Hal ini, samadengan situasi, seperti di masa kecil, anda suka menakut-nakuti adik anda, agar supaya adik anda tunduk dan patuh pada anda sebagai kakaknya.
Dukungan politik karena ketakutan, memunculkan perasaan depresif dan kepasrahan tanpa motivasi. Orang-orang yang hopeless akan memasrahkan hidupnya pada siapapun yang (seolah) mampu memberikan rasa aman pada mereka.
3. Politik Hantu
Adalah fakta di masyarakat Indonesia, bahwa 80% orang Indonesia takut pada hantu atau genderuwo (bahasa Jawa). Politik genderuwo yang dikesankan dalam mitos Jawa selalu attach dengan sosok hitam yang tak nampak ia kasat mata, roh halus, tak bisa dilihat tetapi selalu menakut-nakuti dan mengancam (setara dengan kuntilanak, drakula). Sosok hantu tersebut, kemarin disebut oleh pak Jokowi. Dikatakan bahwa politik ketakutan ala hantu tsb sedang melanda Indonesia.
Tanpa perlu membahas isi pidato Presiden tentang hal tsb (karena saya tak mau bicara politik). Kesan saya cuma satu, boleh jadi apa yang dikemukakan oleh Presiden Jokowi, terinspirasi setelah beliau membaca buku dari Barry Glassner dan Frank Furedi tsb.
Seorang presiden yang luar biasa bacaannya. Sosiologi kelas berat...Pelajaran yang menarik
(*Arya Hadi Dharmawan, Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB