Politik Ekonomi Hatta
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
Memperingati Hari Pahlawan (10/11/2022) Kamis kemarin di BAPPENAS, berkumpul tokoh2 ekonom senior, juga para insinyur untuk membahas prospek Hattanomics bagi Indonesia di masa yang penuh disrupsi global ini. Emil Salim, Boediono, Dorojatun, Sri Edi Swasono hadir secara virtual membersamai Suharso Monoarfa Ketua BAPPENAS. Apa yang bisa dipelajari dari pemikiran Bung Hatta, Wijoyo dan Habibie, serta 22 tahun reformasi yang penuh disrupsi ini untuk mengantar Republik ini ke masa depan ?
Hatta telah memberi kerangka ideologis bagi pembangunan ekonomi Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD45. Hatta memberi arah politik ekonomi nasional agar ekonomi kita disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bukan dengan asas kompetisi pasar bebas individualisme kapitalistik. Bumi dan air serta semua kekayaan yang terkandung di dalamnya harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Kepentingan privat diperbolehkan, tapi dibatasi sewajarnya. Investasi atau kerjasama dengan asing diperbolehkan, tapi tidak boleh mengancam kedaulatan dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.
Menghadapi krisis pasca Orde Lama, Wijoyo secara berani mengambil langkah pragmatis dengan mengadopsi Keynesian economics bagi Orde Baru. Sebagai arsitek ekonomi Orde Baru, Wijoyo juga mempelajari RPLT Soemitro yg disusun di fase akhir Orde Lama yang gagal dilaksanakan. IMF diundang untuk memberi pinjaman bagi program jangka pendek, sementara amanat UUD45 menjadi strategi jangka panjang. Dengan memilih strategi comparative advantage berbasis sektor primer, Wijoyo bisa mengatasi inflasi, membenahi program pangan, dan pengendalian penduduk, serta mulai menghasilkan pertumbuhan tinggi selama 15 tahun kemudian. Kebijakan ini masih berlangsung hingga saat ini sehingga Indonesia mengidap penyakit Belanda. Obsesi pertumbuhan dengan memastikan stabilitas politik, pemerataan terlantar menjadi bagian penting pembangunan. Stabilitas politik ditempuh dengan depolitisasi kampus, dan ormas, sementara sekolah hanya mencetak buruh yang cukup trampil menjakankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan pemilik modal. Pendidikan yang direduksi melalui persekolahan massal gagal mewujudkan prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka.
Selama Orde Baru sektor maritim sebagai sektor pemersatu penting bagi negara kepulauan ini, tidak memperoleh perhatian yang berarti. Amanah Deklarasi Juanda tidak memperoleh dukungan kebijakan yang dibutuhkan untuk membangun sektor maritim sebagai instrumen pemerataan distribusi pembangunan melalui sistem logistik yang efisien bagi bentang alam seluas Eropa ini. Armada kapal nasional tidak dilihat sebagai infrastruktur dalam paradigma ekonomi kontinental, hanya jaringan jalan, jembatan dan pelabuhan saja. Kesenjangan spasial antara Jawa dan Luar Jawa makin menganga, sementara ketidakadilan energi makin parah pada saat sistem transportasi nasional kita terjebak pada moda jalan tunggal yang tidak efisien, polutif dan tinggi-karbon.
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi sehingga sempat disebut sebagai macan atau keajaiban Asia, terjadi konglomerasi kelompok minoritas, dan sentralisasi berlebihan di Pulau Jawa, terutama Jabodetabek. Untuk itu sekelompok pengusaha pribumi dibantu kebijakan afirmatif Ginanjar Kartasasmita untuk kemudian menjadi konglomerat baru. Kita kemudian menyaksikan apa yang disebut oleh Yosihara (1988) sebagai ersatz capitalist. Sementara itu Habibie melengkapi program Wijoyo dengan membangun competitive advantage melalui strategi progressive manufacturing melalui klaster industri strategis penerbangan, perkapalan, dan kereta api. Karena fokus pada kebijakan liberalisasi pasar dan keuangan akhirnya bangunan ekonomi Orde Baru runtuh lalu jatuh pada 1998 karena krisis moneter yang melanda sebagian besar ASEAN.
Reformasi ternyata membawa perubahan fundamental karena UUD45 diganti oleh UUD2002 yang menurunkan peran MPR sebagai lembaga tertinggi negara menjadi semacam event organizer kenegaraan saja. Presiden yang semula adalah mandataris MPR untuk menjalankan GBHN sebagai amanat rakyat, berubah menjadi petugas partai belaka, jika bukan boneka oligarki. Dengan arsitektur legal politik yang diturunkan dari UUD2002 itu, biaya politik meningkat tajam, maka banyak pejabat publik berubah menjadi bandit politik yang menggantungkan logistiknya pada para bandar politik, sementara Pemilu dijalankan oleh KPU, MK, dan Bawaslu sebagai badut politik. KPK dan POLRI menjadi preman politik.
Melalui berbagai UU pengelolaan sumberdaya alam yang neoliberal, kita menyaksikan kapitalis semu yang rapuh menjelang reformasi berubah menjadi full fledged neo-captalism yang membawa konsentrasi kekayaan hanya pada segelintir taipan yang menguasai ratusan ribu hektar lahan perkebunan, pertambangan, dan kawasan-kawasan komersial di perkotaan, perbankan hingga media massa. Prinsip-prinsip ekonomi Hatta yang diamanahkan dalam UUD45 lenyap tak berbekas. Deformasi kehidupan berbangsa dan benegara terjadi di mana-mana, sementara maladministrasi publik melahirkan regulasinyang melayani kepentingan para pemodal besar, bukan melayani kepentingan publik. POLRI berubah menjadi institusi kekuasaan yang makin brutal dan mematikan, bukan pelindung dan pengayom masyarakat, sementara hukum tumpul ke atas namun tajam ke bawah. TNI hanya menjadi agnostik secara politik.
Dari perspektif perencanaan pembangunan, di luar sektor maritim, yang belum digarap secara pragmatis oleh Wijoyo dan Habibie adalah memastikan bahwa international trade and commerce berlangsung berkeadilan bebas-riba. Tentu mengherankan bahwa sejak Nixon membebaskan USDollar dari emas, lalu mencetak USD out of thin air, AS dan sekutu Baratnya bisa dibiarkan mengeruk keuntungan illicitly seperti ini. Ketimpangan pendapatan dan konsumsi energi perkapita antara negara-negara miskin dan sedang berkembang dengan negara-negara maju bertahan buruk. Hanya Rusia dan China yang kini cukup berani menghadapi unfair trade and commerce ini dengan meninggalkan USDollar dalam transaksi-transaksi internasional mereka, terutama di bidang energi. Ketimpangan energi ini sejatinya bisa dikurangi dengan PLTN, namun penguasaan teknologi PLTN menjadi isu yang sangat politis secara internasional.
Kini dunia pasca-pandemi menghadapi resesi yang dalam, perang nuklir dan keruntuhan lingkungan akibat emisi karbon yang tidak terkendali. Di tengah kemunduran Eropa san AS serta kemunculan BRICS, ini adalah kesempatan bagi adopsi prinsip-prinsip politik ekonomi Hatta dalam perencanaan pembangunan nasional : pembangunan ekonomi diselenggarakan sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan, yaitu ekonomi berskala kecil, rendah-karbon, mendorong kemandirian dan kreativitas, berbasis agro-maritim, serta bebas riba. Investasi dirumuskan sebagai profit and loss sharing. Investasi di sektor maritim yang slow yielding, high risk, dan technologically intensive memerlukan kebijakan afirmatif dalam mewujudkan infrastruktur logistik negara kepulauan yang tangguh. BUMN bermitra dengan jejaring koperasi bersama sektor swasta bersinergi untuk membangun ekonomi yang berkeadilan sekaligus berkedaulatan. Adalah riba yang menghancurkan prinsip-prinsip kekeluargaan ini. Negara Pancasila tidak bisa dibangun dengan merusak lingkungan dan keluarga sebagai institusi basis negara-bangsa ini. Di atas platform UUD45, pilihan politik ekonomi Hatta inilah visi NKRI sebagai negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur bisa diwujudkan.
Jatingaleh, 12 Nopember 2022
* Daniel Mohammad Rosyid, @Rosyid College of Business