Politik Devide et Impera, Musuh Kita Sesungguhnya!...
Ternyata pemikiran para pendiri republik begitu jauh ke depan penembus dinding waktu. Ditawarkannya sila kedua dan keempat dalam Pancasila sebagai pijakan dasar pengembangan batin kerakyatan Indonesia, dan merupakan salah satu puncak pemikiran kebudayaan. Yang ditawarkan para pendiri republik ini adalah fondasi, bentuk, dan bangunan rumah seisinya yang diharuskan menjadi tempat dimana HAM dan Demokrasi Indonesia ditumbuh-kembangkan.
Para pendiri republik seperti telah mengetahui bahwa menjelang abad 21, negara-negara adikuasa di barat (Amerika-Eropa Barat) akan menggiring negara-negara yang tengah berkembang untuk mengadopsi sistem demokrasi (liberal) yang mereka tawarkan. Diawali dengan penyeragaman etika, logika, dan estetika dalam kehidupan sehari-hari. Agar kaum kapitalis global dapat menguasai pasar dunia setelah penduduk dunia berada dalam keadaan satu selera.
Review ini saya tulis ketika saya membuka kembali lembaran sejarah pada hari-hari menjelang dan pada saat awal pergantian rezim Orde Baru ke Reformasi. Tercatat sejumlah tokoh yang begitu gencar menyuarakan demokrasi ala barat yang sepenuhnya mengenyampingkan nilai ‘Musyawarah Mufakat’ yang dititipkan oleh para pendiri republik kepada bangsa ini. Bahkan ada sebuah LSM yang begitu gencar melakukan kampanye dan advokasi untuk tujuan ini. Mereka pun berhasil mempengaruhi parlemen dengan memasukkan agenda-agenda politik agar seluruh program liberalisasi Indonesia dapat terakomodasi dalam sistem kenegaraan kita. Cerdasnya, mereka lakukan ini atas nama perjuangan Demokrasi dan HAM.
Pada dasarnya, memang demokrasi dan HAM itu sendiri suatu nilai dan sistem yang sangat diperlukan hadir pada saat itu. Karena pada saat itu rezim Orde Baru yang telah selama 30 tahun memimpin, dikenal dengan tindakan opresif sebagai rezim otoriter yang tak mengenal kebebasan, demokrasi, dan HAM. Jadi tawaran tentang demokrasi dan HAM saat itu merupakan pilihan yang tepat. Namun sayangnya penerapannya di Indonesia didesain dan dilaksanakan justru untuk meniadakan (abolishing) nilai-nilai yang terkandung dalam sila keempat Pancasila dalam kaitan Demokrasi; dan sila kedua dalam kaitan HAM.
Maka yang terjadi, bertumbuhanlah kelompok-kelompok dengan marak dan penuh eforia menonjolkan kebenaran masing-masing atas nama kepentingan bendera masing-masing yang berlanjut dengan mengentalnya identitas masing-masing. Mereka menjadi enggan bermusyawarah karena atas nama kebebasan lebih asyik mengetengahkan argumen dan pembenaran terhadap kebenaran yang diyakini kelompoknya. Mereka yang tidak setuju, bahkan mengkritik saja, langsung diposisikan sebagai lawan. Dan lawan harus dihabisi.
Menghabisi kelompok yang tak sejalan, berkembang menjadi semangat menghabisi kelompok tak seiman. Menjadi keniscayaan pada saat pijakan nilai-nilai kehidupan sebagaimana pandangan hidup bangsa (Pancasila) tak lagi menjiwai dan mengisi rumah batin rakyat Indonesia. Semangat Bhineka Tunggal Ika digerogoti eksistensinya dengan semangat keseragaman dan uniformitas. Kesamaan simbol dan identitas menjadi sangat penting. Dan yang menyedihkan, masyarakat pun menjadi jauh dari substansi permasalahan karena tergiring menjadi kumpulan manusia penyembah simbol-simbol.
Ketika simbol-simbol kelompok ini dilekatkan (dipersonifikasi) pada seorang pemimpin kelompok, maka demi sang pemimpin, berbagai kepentingan lain yang lebih besar dan lebih substantif sekalipun, terlupakan. Potret dari kehidupan yang memprihatinkan ini menjadi sangat terasa dan mencapai puncaknya sejak PIlpres 2014 digelar. Bangsa Indonesia seolah terbelah menjadi dua dan hidup setiap hari seakan dalam suasana pemilu-pilpres. Antar pendukung lanjut berseteru. Yang dulu kawan semasa perjuangan reformasi, belakangan menjadi bermusuhan karena berbeda pilihan jagonya. Mereka seperti tak mempunyai pegangan ideologi yang jelas karena telah memilih menjadi pengabdi simbol tanpa makna yang substantif dan kejelasan tujuan. Potret kecilnya bisa dipelajari lewat Pilkada DKI 2016.
Akankah ‘ketersesatan’ ini dipelihara dan berlanjut pada Pilpres 2019? Kalau terus begini, kesimpulannya hanya satu; desainer politik devide et impera dari kaum kapitalis global memang super canggih. Karena tahu kelemahan dasar bangsa ini yang 350 tahu bisa dijajah oleh negara se-uprit(Belanda) karena politik devide et impera menjadi andalannya.
Target mereka, semua orang Indonesia harus lupa akan ke-Indonesiaannya; terutama melupakan sepenuhnya cita-cita kemerdekaan bangsanya!
Nah, jangan biarkan mereka menang terus dan kita menjadi kumpulan orang-orang kalah!
*) Erros Djarot adalah budayawan, seniman, politisi dan jurnalis senior - Tulisan ini dikutip sepenuhnya dari laman Watyutink.com