POLITIK
“Pak Zen, tidak ingin terjun ke Politik?’’
Entah maksudnya apa, beberapa orang sering iseng mengajukan pertanyaan seperti itu ke saya. Terutama, di tahun-tahun politik seperti sekarang ini.
Dulu, saya menanggapi pertanyaan itu dengan jawaban serius. Belakangan, saya lebih rileks. “Saya orangnya baperan. Tidak cocok di dunia politik,” jawab saya enteng.
Sejatinya, saya senang dan tertarik politik. Kesenangan dan ketertarikan itu semakin kuat ketika saya nyantri di Kajen, Pati. Karena dari pesantren itulah saya mulai mengenal figur-figur besar yang aktif di kancah politik. Salah satu tokoh penting di Kajen, (alm) KH Sahal Mahfudz adalah tokoh penting dalam percaturan politik nasional. Selain KH Abdullah Salam (alm. Mbah Dullah), beliau adalah tokoh idola bagi santri Kajen.
Konsep bermanfaat bagi sesama (khoirun naas, anfauhum linnas), menjadi kata kunci ketika saya memahami keterlibatan Mbah Sahal di kancah politik nasional. Beliau tidak masuk dalam politik praktis. Tapi, keberadaan beliau di PB NU dan MUI, sangat memperngaruhi warna politik di negeri ini.
Menurut penilaian saya, Mbah Sahal telah menjadi sosok yang bisa memberikan kemanfaan besar bagi sesama. Karena itu, sejak di Kajen, saya mencoba belajar politik. Caranya, aktif di organisasi pondok. Dari menjadi panitia reuni alumni, hingga pada akhirnya menjadi pengurus harian pondok.
Ketika sekolah di Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Semarang, saya pun tetap menjadi aktivis. Dari menjadi ketua kelas, pada tahun pertama, hingga akhirnya menjadi pengurus harian Osis. Hal itu berlanjut ketika kuliah di IAIN Semarang. Berbagai organisasi saya pimpin, dan puncaknya menjadi Pemimpin Umum Tabloid IAIN Walisongo Semarang.
Di luar organisasi kampus (intra kampus), saya juga aktif di organisasi ektra. Di PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) ‘’karier’’ tertinggi saya sebagai wakil seketaris PMII Korcab Jawa Tengah. Sementara, di organisasi mahasiswa daerah asal saya (Kendal, Jateng), saya menjadi ketua umum Ikatan Mahasiswa Kendal (IMAKEN).
Seabreg..breg.. Sangat melelahkan dan banyak pengorbanan. Namun, saya senang dan menikmati. Saya merasa bisa bermanfaat untuk sesama. Saya yakini itu sebagai bagian dari ibadah. Karena itu, ketika sudah bekerja sebagai wartawan di Jawa Pos (1998), saya pun tidak bisa lepas dari politik. Saya condong mengikuti dan meliput berita-berita politik. Mungkin karena melihat kecenderungan saya itu, Jawa Pos akhirnya menugaskan saya sebagai wartawan politik, baik di Senayan (Gedung DPR RI) maupun di Istana. Bersamaan dengan itu, saya juga sempat masuk di kepengurusan PP GP Ansor.
Merasa tidak cukup dengan pengalaman praktis semata, sembari menjadi wartawan, pada tahun 2000, saya melanjutkan kuliah S2 di Universitas Indonesia (UI) dengan mengambil jurusan Ilmu Politik. Dari kuliah S2 ini, saya ingin punya ilmu politik lebih banyak lagi. Dan benar, selama kuliah, banyak ilmu politik yang saya serap dari para doktor dan profesor yang mengajar.
Namun, setelah banyak yang saya ketahui, justru ketertarikan saya pada politik semakin meredup. Saya melihat kenyataan yang sangat berbeda dengan yang saya bayangkan. Nilai-nilai ideal politik, ternyata sangat sulit diterapkan. Politik yang seharusnya memberikan banyak kemanfaatan, malah banyak menimbulkan kemadlaratan.
Politik yang seharusnya banyak melayani, ternyata malah sering menyusahkan rakyat. Politik yang harusnya banyak memberi, sebaliknya malah banyak meminta dan mengambil hak orang lain, baik dengan cara baik-baik karena ada aturan yang mengatur atau dengan cara curang seperti korupsi.
Saya merasa tidak bisa melakukan itu. Dan ternyata, dari sejarah yang saya pelajari, praktik politik semacam itu telah berlangsung sepanjang sejarah perpolitikan manusia. Dalam politik, manusia berubah menjadi serigala yang saling memangsa. Hanya ada beberapa orang (khususnya para Nabi) yang berhasil meluruskan misi suci politik.
Saya merasa tidak memiliki kemampuan cukup untuk ikut meluruskannya. Saya pun menyerah! Pelan-pelan ketertarikan dan minat pada politik semakin meredup dan nyaris hilang.
Beruntung, saya ingat konsep politik kebangsaan dan kerakyatan yang sering dikampanyekan Mbah Sahal selama beliau menjadi Raim Aam PBNU. Konsep ini menjadi koreksi atas pemahaman saya tentang politik. Karena tanpa saya sadari, saya telah terseret dalam pemahaman politik kekuasaan atau politik praktis.
Dalam politik kebangsaan dan kerakyatan, seseorang tidak perlu masuk parpol dan ikut memperebutkan jabatan-jabatan politik. Spirit dari konsep ini adalah melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi rakyat, bangsa dan negara, tanpa harus memiliki jabatan politik tertentu.
Konsep yang luar biasa! Dengan konsep itu, nilai ideal politik kembali bisa ditemukan. Ternyata, banyak persoalan rakyat, bangsa dan negara yang bisa dipecahkan dengan tanpa politik kekuasaan. Keterbelakangan masyarakat dalam hal pendidikan, misalnya, bisa dipecahkan dengan tanpa menjadi presiden, menteri, gubernur, bupati, DPR dan lain sebagainya. Dengan mengambil peran sebagai pendidik masyarakat (baik sebagai pendidik formal atau non formal) maka peran besar telah bisa dilakukan.
Begitu juga dengan masalah pemberdayaan umat, ketertindasan, kemiskinan dan ketidakadilan. Dengan politik kerakyatan dan kebangsaan, semua persoalan itu bisa dicakup dan terbuka luas area untuk ikut andil memecahkannya. Memang, dalam hal jangkauan dan efektifitas hasilnya, politik kekuasaan seharusnya bisa lebih dahsyat dan lebih efektif. Namun, itu kalau kondisinya memungkinkan dan kalau pemegang kekuasaan politik memang mau melaksanakan! Kalau tidak, maka pilihan politik kerakyatan dan kebangsaan, tentu akan menjadi pilihan yang lebih cocok. Yang penting, konsep bahwa politik seharusnya memberikan kamanfaatan bagi sesama bisa dilaksanakan.
Mungkin banyak yang janggal dengan prinsip itu. Tapi, saya merasa cocok dan nyaman menjalaninya, meski belum banyak yang bisa saya lakukan. Itulan salah satu alasan pokok, mengapa saat ini saya asyik “menenggelamkan diri” dalam dunia pendidikan. Dan saya pun sering mengajak beberapa orang dengan berujar, “Ayo kita fokus ngurusi pendidikan. Kita kerja dalam sepi. Kita memang jauh dari popularitas. Tapi, insya Allah besar sekali menfaatnya.”
Tentu, dengan begitu, saya tidak bermaksud meremehkan mereka yang saat ini terjun di politik praktis. Dunia ini luas. Warna warni. Yang penting, saling memahami dan menghargai. Kalau bisa, bersinergi menciptakan kebaikan di muka bumi ini. Wassalam.
* Akhmad Zaini, mantan Jurnalis Jawa Pos yang kita jadi Khodim Pendidikan di IAINU Tuban
Advertisement