'Political Violence' Menurun, Hikmah Pandemi Covid-19 ?
Akhir-akhir ini sering terjadi kekerasan dalam politik (political violence) termasuk di dalamnya politik memaksakan (political coercion). Contohnya adalah pelemparan bom molotov dalam unjuk rasa yang terjadi ketika Pilpres dan Pemilu 2019 dan terakhir pelemparan bom molotov terhadap kantor cabang PDIP di Megamendung dan kantor anak cabang PDIP di Ceulengsi, Bogor.
Kekerasan dalam politik bukan hanya bertentangan dengan UU tetapi juga melanggar budaya dan ajaran agama serta prinsip-prinsip politik itu sendiri. Hakikat politik sesungguhnya ada pengelolaan konflik kepentingan di dalam masyarakat secara damai guna mewujudkan keadilan dan kemaslahatan.
Dua hal yang disebutkan terakhir, keadilan dan kemaslahatan selaras dengan kulliyatul khamsa yang meliputi perlindungan aqidah , perlindungan jiwa / nafs, perlindungan aql (kebebasan berpikir dan berpendapat), perlindungan nasab / keturunan dan perlindungan hak milik (hifdzul Maal).
Sejak 1999 kita mempraktikkan demokrasi dengan tujuan menata kehidupan bernegara dan bermasyarakat lebih baik, tetapi perilaku kekerasan masih saja menjadi fenomena dalam berpolitik.
Apakah kekerasan politik itu karena situasi dan kondisi sosial ekonomi yang menurun karena Covid-19 atau sebab-sebab lainnya?. Jawabnnya berpulang kediri masing-masing.
As'ad Said Ali
(Pengamat sosial politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama 2010-2015, Wakil Kepala BIN, 2001)
Advertisement