Polisi Tangkap Demonstran, Kontras Ingatkan Demokrasi
Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya, berpendapat bahwa kerusuhan massa aksi tolak Omnibus Law, di Gedung Negara Grahadi, Kamis, 8 Oktober 2020, lalu, merupakan dampak dari sikap represif polisi.
Sekjend Federasi Kontras Surabaya, Andy irfan mengatakan, seharusnya pihak kepolisian yang bertugas melakukan penjagaan, tidak melakukan sikap represif kepada peserta demo.
“Polisi harusnya lebih persuasif pada masyarakat ketika menyampaikan aspirasinya. Wajar masyarakat menolak RUU ini. Banyak persoalan,” kata Andy, kepada Ngopibareng.id, Sabtu, 10 Oktober 2020.
Sebab, kata Andy, setiap warga negara memiliki hak kebebasan berpendapat, maka seharusnya aparat kepolisian memberikan ruang kepada masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya.
“Terlalu banyak polemik, banyak hal yang tidak bisa diterima. Polisi harusnya tidak membatasi ruang bicara masyarakat, semua elemen masyarakat punya aspirasi yang harus disampaikan,” ucapnya.
Andy mengungkapkan jika Indonesia merupakan negara demokrasi yang menghendaki adanya penyampaian aspirasi di ruang terbuka, dan aktifitas para demonstran tak melanggar hukum.
“Demokrasi memberikan tempat yang luas untuk aspirasi, kalau orang beraspirasi tapi dibatasi, bukan demokrasi. Jadi polisi melanggar karena ada pengekangan,” kata dia.
Oleh karena itu, menurut Andy, seharusnya seluruh peserta aksi tolak Omnibus Law segera dibebaskan ketika itu juga. Sebab, lanjutnya, mereka bukanlah pelaku kriminal yang harus ditetapkan sebagai tersangka.
“Massa aksi bukan pelaku kriminal, demonstrasi adalah bagian dari sikap masyarakat, bahwa telah terjadi ketimpangan, seharusnya mereka langsung dilepas, setelah aksi selesai,” tutupnya.