Polisi Tangkap Buronan, Haedar: Ini Marwah Pejabat Negara
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, tertangkapnya buronan Djoko Tjandra memberi nilai positif bagi penegakan hukum di Indonesia. Kepolisian telah menunjukkan political-will yang baik.
Menurut Haedar, hal yang menarik dari kasus ini justru apa yang terjadi di balik layar. Kenapa pesakitan kakap ini “bersembunyi” leluasa selama 11 tahun? Padahal para teroris begitu mudah tertangkap di negeri ini.
"Kata orang, bersembunyi paling aman itu di tempat ramai. Djoko Tjandra hanya satu dari sejumlah buronan yang sampai saat ini belum ditangkap, sebagian besar menurut media hidup bebas di negeri tetangga.
"Padahal kerugian negara sudah triliunan, yang dapat dipakai biaya pulsa turah-turah untuk anak didik kita yang saat ini kesulitan belajar daring di seluruh pelosok akibat pandemi Covid-19," tutur Haedar Nashir.
Buron sekaligus koruptor jumbo sulit tertangkap karena masih terlindungi di negeri ini. Terbukti, ada keterlibatan pegawai dan pejabat negara yang mempermudah sang buron bebas. Dari kemudahan pengurusan KTP sampai surat ijin jalan yang sebenarnya untuk para pejabat.
"Itulah contoh buruk moralitas oknum pegawai atau pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya demi sesuatu yang menguntungkan dirinya dengan mengorbankan kepentingan negara. Birokrasi mudah dibeli dan diperdaya di negeri ini," kata Haedar Nashir.
Tentu masih banyak pegawai dan pejabat di negeri ini yang memiliki marwah atau standar moral yang tinggi. Namun terbukti sistem birokrasi mudah dibobol karena para (oknum) aparat atau pejabatnya tidak bertanggungjawab. Pagar makan tanaman.
Kenyataan sulit dibedakan antara oknum dan pejabat yang menyalahgunakan jabatannya. Masih tidak cukupkah fasilitas dan jaminan hidup para aparat negara tersebut?
Boleh jadi masih terdapat penyakit budaya birokrasi patrimonial. Aparat pegawai atau pejabat sering lebih menghargai tinggi orang terpandang dan beruang, terutama para pengusaha. Uang menjadi sangat menggiurkan. Akibatnya terdapat perlakuan istimewa, meskipun bertentangan dengan peraturan.
Di sinilah titik jebol yang sering dimainkan para koruptor dan perusak sistem bernegara. Kunci utamanya moralitas aparat dan pejabat sebagai aktor di balik sistem.
Ambil contoh penggunaan lahan. Bila untuk kepentingan sosial dari masyarakat atau organisasi kemasyarakatan, sering sulit sekali memperolehnya. Alasannya macam-macam. Namun para pengembang atau broker kakap dengan mudah mendapat lahan tersebut. Silakan cek di setiap daerah, siapa saja penguasa lahan luas di negeri ini, dari yang bernama sampai absente.
Contoh ironi ini merupakan bagian kecil dari tersanderanya sistem birokrasi oleh kekuatan uang. Kita tidak tahu nasib penduduk bumiputra dan rakyat kecil, apakah masih bisa punya tanah sempit sekalipun, yang dulu para nenek moyangnya berkorban nyawa untuk kemerdekaan negeri ini.
"Karena uang, moral dan sistem mudah dijebol. Rakyat dan negara yang dirugikan. Di sinilah pentingnya mengembalikan marwah berupa standar moral pegawai dan pejabat negara di seluruh lembaga pemerintahan. Secara moral diperlukan basis nilai dalam hidup insan Indonesia, lebih utama para pejabat negara," kata Haedar Nashir.