Polisi: Anak Istri Menangis Melihat Diludahi Pengunjuk Rasa
Pasca kerusuhan 22 dan 23 Mei 2019 di kawasan Thamrin Jakarta Pusat dan Petamburan Jakarta Barat, polisi dibully habis oleh netizen, di media sosial.
Kerusuhan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, tujuh orang meninggal dunia dua diantaranya masih remaja dan 200 orang harus dirujuk ke rumah sakit, polisi dituding sebagai biang keroknya.
Kerusuhan ini berawal ketika polisi atas nama undang-undang, membubarkan peserta aksi massa menolak hasil Pilpres 2019 di depan Bawaslu secara paksa dengan tembakan gas air mata.
Ada yang digebug, ditendang, dan diinjak-injak dengan sepatu laras. Bahkan ada korban yang terkena tembakan peluru tajam.
Video dan foto-foto yang menggabarkan kekerasan pada saat itu, menjadi viral untuk memancing emosi dan kemarahan masyarakat kepada aparat keamanan, utamanya pada polisi.
Ngopibareng.id, Minggu 26 Mei 2019 menggali perasaan beberapa anggota Polri pasca kerusuhan. Tak mudah anggota baru menjawab setelah ada jaminan nama dan pangkat mereka tidak disebutkan. Mereka sebernya enggan memberikan keterangan kepada pers, dalam institusi Polri ada mekanismenya.
Seorang anggota Satuan Brimob Kelapa Dua Depok sebut saja namanya Mohammad Andika, mengatakan dalam melaksanakan tugas pengendalian huru-hara seperti unjuk rasa ada protapnya.
Tidak boleh menggunakan peluru tajam. Anggota hanya dilengkapi pentungan dan tameng untuk melindungi diri.
"Dokrin atau perintah untuk memukul pengunjuk rasa itu tidak ada. Kalau unjuk rasa berjalan tertib sesuai aturan, tidak anarkis, tidak masalah. Pengunjuk rasa bisa menyampaikan aspirasinya dengan tenang, polisi pun bisa mengawalnya dengan baik," kata Andika.
Anggota Sabhara Polda Metro, Rudi, bercerita dari sisi karakter. Menurut dia, pengunjuk rasa itu karakternya berbeda beda. Ada yang santun dan tertib, yang repot menghadapi pendemo 'mabok' brutal dan anarkis.
"Pengunjuk rasa berkarakter seperti ini sulit diikuti alurnya. Maunya memancing kemarahan dan mengajak polisi gelut," kata bintara polisi kelahiran Madiun tersebut.
Kalau polisi sampai terpancing dan terlibat bentrok dengan pengunjuk rasa, berita yang keluar pasti polisi yang disalahkan. Pengunjuk rasa digebuki, diinjak injak, padahal cuma saling dorong, tapi anggota sudah hafal dengan siasat semacam itu," katanya.
Mengenai kerusuhan 22 dan 23 Mei, sebenarnya tidak terjadi kalau peserta aksi gelombang kedua yang datang menjelang dinihari, tidak ditunggangi provokator yang punya agenda lain.
Anggota sudah dalam keadaan letih dan bertugas seharian sambil menahan haus dan dahaga karena puasa. Demonstran mencaci-maki, menuding-nuding, dan dikata-katain belain pemimpin curang. Ia kemudian menyebut polisi adalah manusia, punya anak istri dan harga diri.
"Saat kerusuhan pecah, petugas diludahi, dilempar batu, digebug tiang bendera, saat itu saya teringat istri dan anak semata wayang di rumah, sambil meneteskan air mata," katanya lirih.
Muncul pertanyaan dalam hatinya, bagaimana perasaan istri anak melihat bapaknya yang sedang menjalankan tugas dihina seperti ini. "Saya berusaha menahan diri dengan terus menurus membaca istighfar," katanya.
Ketika situasi semakin memburuk, batu segenggaman orang dewasa menghantam kepala. "Saya harus melindungi keselamatan jiwa saya juga. Karena yang kami hadapi adalah perusuh, bukan pengunjuk rasa sesungguhnya," kata Rudi yang menyesalkan sampai jatuh korban.
Waktu itu posisi Rudi di samping kiri Gedung Bawaslu, menahan laju pengunjuk rasa yang akan masuk Bawaslu.
Rudi dan pasukannya hanya dipersenjatai pentungan dan tameng. Ia berteriak agar pertahanan diperkuat.
Karena kondisi semakin kacau akhirnya massa yang brutal dipukul mundur dengan tembakan gas air mata.
"Itu yang saya alami, kalau ada yang tertembak, tidak tahu siapa yang menembak. Saya minta maaf, kalau saya kurang bisa menguasai diri," ujar Rudi.
Setelah situasi mulai aman, Rudi segera menelpon anaknya yang duduk kelas dua SMP, supaya mematikan televisi.
"Saya bilang papa dan anggota yang lain selamat, hanya beberapa anggota terkena lemparan batu. Saya mendengar istri saya menangis melihat siaran langsung kerusuhan di tivi," kata Rudi.
Menanggai cacian masyarakat terhadap Polri, bebarapa anggota Brimob Polda Maluku di temui di halte bus way depan Gedung Bawaslu, menjelaskan bahwa kejadian itu adalah sebuah resiko dalam menjalankan tugas.
"Suka dan duka selalu ada. Yang penting kami berusaha tidak menyakiti rakyat karena doktrin semacam itu tidak ada. Tapi masyarakat juga kami minta, jangan melihat hanya sebagai anggota polisi, tapi lihatlah sebagai wujud manusia juga," kata Ipang.
Terkait dengan keruduhan ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengunjungi rumah keluarga RF, 16 tahun yang tewas saat kerusuhan 22 Mei di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat, 24 Mei 2018. Dari kunjungan tersebut, KPAI menggali kronologi kejadian berdasarkan cerita keluarga korban.
"Dari keterangan keluarga korban, didapatkan informasi bahwa RF bukan peserta aksi dan pada saat kejadian, sekitar pukul 02.30 bersama teman-temanya seperti biasa, bersiap untuk membangunkan warga sahur di sekitaran musala dekat rumahnya.
Berdasarkan cerita keluarga, terdengar keramaian dari jalan raya sekitar rumah. Ini membuat RF bersama teman-temanya mencari tahu kegaduhan yang sedang berlangsung.
Namun nahas, begitu akan keluar gang, RF langsung roboh, diduga terkena peluru nyasar di pelipis mata sebelah kiri.
Warga kemudian mengevakuasi RF dan beberapa temannya yang lain ke mushala. Namun nyawanya tak terselamatkan.
"Selain ke kediaman keluarga RF, tim KPAI juga mendatangi kediaman MHR, 15 tahun, yang ikut menjadi korban kerusuhan 22 Mei.
Awalnya, kata komisioner KPAI, Jasra, orang tua tidak memiliki kecurigaan apapun, karena MHR sudah biasa bermain seperti itu. Namun firasat buruk sudah dirasakan ayahandanya, yang sejak siang terus-menerus menanyakan keberadaan MHR.
Sepulang kerja, ayah MHR berinisiatif mencari putranya ke rumah teman-teman bermain, namun dia tidak menemukan berita tentang putra satu-satunya tersebut.
Menurut Jasra, orang tua MHR menyebar informasi hilangnya anaknya itu ke grup Whatsapp. Tidak lama orang tua MHR mendapatkan jawaban untuk mengidentifikasi seorang korban yang sedang meregang nyawa di rumah sakit yang ternyata adalah benar putranya.
"Saat itu korban berada dalam ambulans menuju Rumah Sakit Darmais, namun belum sampai rumah sakit korban telah menghembuskan nafas terakhir, maka korban langsung di bawa ke RS Bhayangkari," kata Jasra. (asm)