Polemik Salam dalam Kejernihan Pikir
Tadi pagi, bersama dua teman, saya menikmati bakso. Sambil ngobrol tentu saja. Kita bertukar tangkap pemikiran, untuk urusan yang sedang ramai.
Itu lho, salam pembuka para pejabat negara. Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan himbauan penting. Isinya terlampir dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019.
Yang menekennya, Ketua MUI Jatim KH Abdusshomad Buchori. Isinya, himbauan agar pejabat tak memakai salam pembuka semua agama. Walau hanya sebatas himbauan, tapi telah memantik polemik.
Jamak, dari Presiden Joko Widodo dan banyak pejabat memakai salam pembuka semua agama. Tentu saja, ada unsur menghormati kemajemukan. Karena Indonesia terdiri dari beragam suku dan agama yang dianut.
Saya pun memantik hal ini kepada dua teman sarapan ini. Keduanya datang dari keluarga yang beragam. Maksudnya, sanak keluarganya menganut agama berbeda. Poligama, bukan monogama.
Yang pertama, sebut saja namanya Ucok. Bapak dan Ibunya, pendeta Kristen Pantekosta di pinggiran Danau Toba. Adik kandungnya, mualaf saat kuliah. Demikian juga, iparnya juga mualaf.
Dirinya dan istrinya, penganut Kristen Protestan yang taat. Dulu, neneknya juga muslim. “Jadi jangan heran Bro, gua juga sudah sunat,” ungkap dengan tawa derai yang panjang.
“Tinggal satu langkah lagi, saya dapat hidayah,” katanya. Maksudnya, kalau dia mengucapkan dua kalimat syahadat. Mirip pembawa acara talk show di televisi, Dedy Corbuzier itu.
Ternyata, ayahnya yang pendeta itu, mengajarkan anak-anaknya, bahwa semua agama tujuannya baik. Jadi, empat anaknya bebas memilih agama. “Selepas umur 18 tahun,” cetus Lae Ucok.
Saat berumur dewasa itu, ke empat anaknya kembali berdiskusi dengan kedua orang tuanya. Menyampaikan posisi agama yang akan dipilih. “Kami dibebaskan memilih agama yang menurut kami paling pas,” tambahnya.
Dengan pengalaman keluarganya yang plural itu, Lae Ucok mengaku pengucapan salam seluruh agama oleh para pejabat tidak pada tempatnya. “Di rumah kita tidak ada saling bertukar salam kok, karena kami saling menghormati,” katanya.
Dalam konteks bernegara, pengakuan atas semua agama juga sudah ditabalkan oleh konstitusi kita. Tak perlu lagi hanya level pengucapan. “Pengakuan itu diwujudkan dengan penghormatan atas kemerdekaan beragama,” tegasnya.
Jadi, sederhananya seperti ini. Bila pejabat itu muslim, cukup saja bilang, “Assalamualaikum”. Kalau dia Nasrani, cukup saja bilang, “Salam sejahtera.”
Tentu saja, peserta acara sudah paham. Mereka akan menghormati pilihan agama pejabat itu. Di matanya, praktik kehidupan beragama masuk wilayah privat.
“Yang diutamakan seharusnya kesadaran, untuk mencapai kebaikan beragama. Bukan pemaksaan penyeragaman, yang imbasnya malah bikin polemik,” paparnya panjang lebar.
Waduh, mendengar jawabannya itu, saya terdiam sejenak. Juga agak takjub. Tak membayangkan sebelumnya.
Lae Ucok ini memang unik. Latar belakang pendidikanya adalah insinyur. Dari perguruan tinggi negeri terkemuka di Bandung.
Saat di semester dua dia ambil mata kuliah Kristen. “Tapi saya dapat nilai B. Tak puas, saya ambil mata kuliah Agama Budha, malah dapat nilai A,” terangnya sambil terbahak.
Lain Lae Ucok lain pula Mas Wawan. Teman saya yang satu ini, seorang muslim taat. Namun, neneknya penganut Kristen.
Di keluarganya, masih banyak yang menganut Kristen. Saat mengenyam bangku SMA, dia bersekolah di bawah naungan lembaga Katolik. “Saya masih ingat, ritual berdoanya sampai sekarang,” ungkapnya.
Jadi, saat Natal, semua keluarga ikut bertandang merayakan natal ke kerabat lainnya. Saat Hari Raya Idul Fitri, ganti kebalilannya. “Kami saling menghargai dan menghormati pilihan masing-masing,” tambahnya sambil mengunyah bakso.
Sama seperti pengalaman Lae Ucok, di acara keluarganya tak ada bertukar salam. Sudah dianggap biasa. Semua sudah saling menghormati.
Bagi Mas Wawan, bisa jadi pengucapan salam lebih kepada upaya negara menyamakan persepsi saja. Arahnya untuk penyeragaman saja. “Padahal pemaksaan, biasanya hasilnya tak akan maksimal,” katanya.
Aduh, ini dua orang teman saya kok kritis sekali pemikirannya. Di sisi lain, mereka mewartakan kejernihan pikir. Bahkan, mereka mengalami sehari-hari pluralitas di keluarganya.
Saat saya sodori sebuah pertanyaan, apakah perlu salam nasional? Misalnya, pemerintah mengeluarkan seruan “Salam Bhinneka Tunggal Ika”. Keduanya agak berbeda pendapat.
Lae Ucok sudah yakin, tak perlu ada pemaksaan. Tak perlu ada penyeragaman. “Biarkan alami saja. Yang dibutuhkan sekarang adalah kemakmuran rakyat!” ucapnya tegas.
Kalau Mas Wawan masih agak bimbang. Kalau untuk urusan pemerintahan, mungkin diperlukan. Walaupun sebenarnya tak berefek maksimal. “Hanya akan selesai jadi jargon saja,” dalihnya.
Pengucapan salam pembuka semua agama, pada sisi praktiknya bisa juga memunculkan polemik turunan. Misalnya, tentang kefasih ucapan. Apakah sang pejabat sudah mengucapkannya dengan benar?
Bisa jadi kalau ada yang merekam, lalu ucapan jadi viral, wah bisa bikin kepayang. Pusing membuat penjelasan tambahan atau pembenaran.
Bisa jadi, muncul juga penafsiran lain. Apakah pengucapan itu sebagai bagian penanda identitas seseorang beragama? Jadi kalau tidak mengucap salam, kita dianggap tak beragama?
Padahal negara juga memfasilitasi pencantuman penghayat kepercayaan di KTP atau KK. Lho ini sudah akhir tulisan kok malah banyak percikan pertanyaan lainnya?
Sudah sementara ini, kita hentikan dulu. Yang kami bertiga sepakat, adalah nikmatnya bakso yang kami santap. Top banget ini.
Kuahnya gurihnya lembut, juga segar. Baksonya tak terlalu kenyal. Tekstur dagingnya terasa sempurna.
Ngomongin bakso dan makanan, ada juga yang menarik. Ini terkait urusan meja makan. Terutama saat pertemuan keluarga yang plural itu.
Keluarga kedua teman saya ini, tidak akan menyediakan makanan dan minuman terkategori haram. “Itu sudah keputusan tak tertulis. Semua mahfum,” jawab Mas Wawan dan Lae Ucok serempak.
Mendengar ucapan itu, saya yakin, dalam praktik sehari-hari, sudah ada kedewasaan umat beragama. Mereka sudah menemukan perilaku terbaik untuk saling menghormati sesama.
Ajar Edi
Kolomnis “Ujar Ajar” di ngopibareng.id