Polemik Pengeras Suara Masjid, Riwayatnya Ada Sejak Zaman Belanda
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan surat edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara atau toa di masjid dan musala. Aturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 Tahun 2022, tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
Surat edaran itu terbit pada 18 Februari 2022 dan ditujukan kepada Kepala Kanwil Kemenag Provinsi, Kepala Kantor Kemenag kabupaten/kota, Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan, Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ketua Dewan Masjid Indonesia, Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam, dan Takmir/Pengurus Masjid dan Musala di seluruh Indonesia. Surat ini menuai pro-kontra sederet pihak. Ada yang mendukung, namun ada pula yang menolak.
Sejarah Penggunaan Pengeras Suara
Melansir berbagai sumber, pengeras suara kali pertama digunakan pada zaman Belanda. Saat terdapat sebuah masjid yang mengharamkan penggunaan toa.
“Saya bersekolah dasar di Jakarta pada 1968. Saya ingat Masjid Muhajirin dan Al-Anshar, Tanah Abang, Jakarta Pusat sudah menggunakan pengeras suara, kata Ahmad Mathar Kamal, penulis buku Catetan si Cheppy, aktivis Betawi kelahiran Tanah Abang 1958,” seperti dikutip dari Historia.id.
Mathar menambahkan, dari cerita temannya, penggunaan pengeras suara sudah ada sejak 1960 hingga 1964. Saat itu beda masjid menggunakan beda tipe toa yang digunakan. Selain itu, tak semua masjid ditemukan menggunakan toa. Terlebih, sebuah masjid di Kebun Jeruk justru mengharamkan penggunaan pengeras suara pada tahun 1970-an.
Pengeras suara tidak ada pada zaman nabi. Melansir historia.id, masjid pertama yang menggunakan toa untuk azan adalah masjid Agung Surakarta. Saat itu pada tahun 1930-an.
Protes Penggunaan Pengeras Suara
Di sisi lain, kendati saat itu toa marak di berbagai masjid, pada tahun 1970-an penggunaan toa menjadi perdebatan. Warga yang menolak menuliskan keluh kesahnya di sebuah surat kabar bernama Ekspres.
“Bagaimana jika ada orang yang sakit dan meninggal karena suara azan yang terlalu keras misalnya,” tulis protes salah satu pembaca di Jakarta yang termuat di Ekspres pada 22 Agustus 1970.
Selain itu, pegawai di Departemen Agama Oka Diputhera menyatakan hal serupa. “Di luar azan, pengurus masjid menggunakan toa untuk zikir, doa, dan pembacaan Alquran tengah malam. Tepatnya sebelum subuh, saya sendiri sebenarnya tidak masalah terkait azan lantaran meskipun Budhis saya juga merasakan hikmah yang agung dan saya senang,” katanya.
Larangan di Arab dan Mesir
Sama halnya dengan peraturan penggunaan toa di Indonesia, Arab Saudi terlebih dahulu mengeluarkan edaran terkait pengaturan pengeras suara di masjid dan musala. Tepatnya, pada bulan Juni 2021 silam. Surat edaran itu menjelaskan terkait pembatasan pengeras suara yang diperbolehkan untuk syiar keagamaan. Arab Saudi sendiri saat ini memiliki kurang lebih 98.000 masjid di seantero wilayah Kerajaan Arab.
Dilansir dari Saudi Gazette, dalam aturan itu disebutkan pengeras suara luar hanya diperbolehkan untuk azan dan ikamah saja. Selain itu, penggunaan pengeras suara harus diturunkan volumenya hingga sepertiga volume biasanya. Sementara, alasan pembatasan pengeras suara tersebut adalah, suara azan yang keras disinyalir akan mengganggu mereka yang sedang sakit, khususnya yang berada dalam radius suara dari masjid tersebut.
Sebelum Arab Saudi dan Indonesia, Mesir terlebih dahulu mencuri start dengan peraturan serupa. Yaitu sejak 2018 lalu. Penyebabnya sama dengan Arab Saudi. Yakni banyaknya keluhan terkait volume pengeras suara masjid yang dinilai terlalu besar.
“Keputusan melarang pengeras suara di dalam masjid tetap diberlakukan, khatib akan diinformasikan untuk mengikuti aturan kementerian terkait salat di bulan suci,” kata Kepala Bidang Keagamaan Kementerian Wakaf Mesir, Gaber Ta’e pada 2018 lalu melansir Egypttoday.
Pro-Kontra di Indonesia
Di Indonesia peraturan teranyar Kemenag menimbulkan pro dan kontra. Dukungan atas peraturan tersebut berasal dari PP Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad menyambut baik pedoman terkait penggunaan pengeras suara ini dan akan menggunakannya di masjid-masjid Muhammadiyah.
“Bagus ada pengaturan. Supaya penggunaan pengeras suara masjid atau pun yang lain sembarangan dan tidak sembarang waktu. Masjid Muhammadiyah sudah disiplin dari dulu. Penggunaan pengeras suara keluar hanya azan saja,” kata Dadang dikutip dari Kompas TV.
Menurut NU, aturan pengeras ini dalam penerapannya jangan menjadi aturan yang kaku. Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zulfa Mustofa mendukung Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Menurut Zulfa, pedoman ini dibuat untuk menciptakan kenyamanan di tengah masyarakat.
"Selama tidak melarang total penggunaan pengeras suara masjid dan musala, prinsipnya PBNU sepakat dengan surat edaran pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid dan musala tersebut, untuk kenyamanan dan kemaslahatan masyarakat," ucap Zulfa dilansir dari Tribunnews.com.
Meski begitu, Zulfa meminta agar Kementerian Agama melakukan sosialisasi dengan masif. Hal ini, menurutnya, perlu dilakukan agar tidak ada penolakan dari masyarakat yang tak membaca secara pedoman ini secara mendalam.
Namun menurut anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Bukhori Yusuf, aturan tersebut secara substansi mengabaikan dinamika kondisi sosiologis dan kultural masyarakat setempat seperti di wilayah pedesaan.
“Penggunaan pengeras suara di masjid adalah tradisi umat Islam di Indonesia. Bagi masyarakat tradisional yang komunal, mereka relatif memiliki penerimaan yang lebih positif terhadap tradisi melantunkan azan, zikir, atau pengajian dengan suara keras melalui speaker masjid,” kata Bukhori,
Bukhori menambahkan, “Kalau bunyinya melemah atau hilang, seperti ada bagian yang hilang dalam keseharian hidup mereka”.
Senada dengan Bukhori, Haris Tua Marpaung, pengurus dan mantan imam Masjid Al Maksum, Tanjung Balai, Sumatera Utara, menyatakan tidak setuju jika pengeras suara masjid diatur.
"Masjid adalah tempat ibadah bagi seluruh umat setiap saat. Kalau bisa tidak ada berhentinya. Suara dari masjid tetap berkumandang. Kenapa sekarang dibuat seperti ini? Tidak boleh diatur, itu termasuk penganiayaan juga terhadap rumah ibadah," keluh Haris.
Haris merupakan pelapor ke polisi dalam kasus penistaan agama dengan tersangka Meiliana karena memprotes pengeras suara azan, di Tanjung Balai, 2016 lalu.
Berbeda, pengurus Masjid Baitul Hakim, Jakarta Timur Saefudin mendukung surat edaran tersebut. Bahkan Saefudin mengatakan, Masjid Baitul Hakim sudah menjalankan aturan tersebut sejak 10 tahun lalu.
"Kami mendukung dan tidak masalah dengan aturan itu. Pengeras suara di luar untuk azan dan baca Alquran jelang salat Jumat. Sedangkan kegiatan sehari-hari, pakai speaker dalam semua," katanya.
Senada, Masjid Abdullah Ibnu Mas'ud di Tangerang juga mendukung aturan pemerintah tersebut.
"Kalau kami memang tidak terlalu banyak menggunakan speaker luar, biasanya untuk azan, saat salat pakai speaker dalam. Itu pesan dari guru saya, jangan terlalu banyak pakai speaker luar karena mengganggu orang kalau berisik apalagi di tempat banyak populasinya," kata ketua DKM masjid Marhali, 60 tahun.
Protes Toa, Perempuan Tanjungbalai Dibui
Dari penelusuran Ngopibareng.id polemik penggunaan toa sebelum dikeluarkannya SE Kemenag sudah ada sejak dulu. Saat itu keluhan artis Zaskia Adya Mecca viral lantaran mempertanyakan keetisan menggunakan pengeras suara masjid untuk membangunkan sahur.
Tak hanya itu, pada 2018 seorang perempuan bernama Meiliana di Tanjungbalai, Medan, Sumatera Utara dibui 18 bulan. Saat itu Meiliana dijerat pasal penistaan agama lantaran mengeluhkan volume suara azan.
Bahkan, Mahkamah Agung (MA) menolak banding yang diajukan Meiliana. Dalam keputusan yang dimuat di situs MA, hari Senin 8 April 2019 MA mengatakan mereka menguatkan vonis 18 bulan penjara dan menolak banding Meiliana, namun tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Mulanya kasus Meiliana terjadi pada akhir Juli 2016 yang berawal dari permintaannya kepada masjid di dekat rumahnya di Tanjungbalai untuk mengecilkan suara azan. Meiliana menyebut pengeras suara itu "membuat telinganya sakit". Permintaan Meiliana ini disebutkan "memicu "kemarahan warga dan menyulut kerusuhan".
Sejumlah orang merusak rumah Meiliana dan membakar. Mereka juga merusak vihara dan klenteng di Tanjungbalai. Saat itu, Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara pada Januari 2017 menyatakan permintaan Meiliana permintaan adalah bentuk "perendahan dan penistaan terhadap agama Islam".
MUI juga mendesak agar Meiliana diproses secara hukum. Di persidangan pada Mei 2018, jaksa menetapkan Meiliana sebagai tersangka penistaan agama dan mendakwanya dengan Pasal 156 dan 156a KUHP tentang penistaan agama. Terungkap pula dalam persidangan ini bahwa suami Meiliana telah meminta maaf ke masjid, setelah sejumlah orang bereaksi negatif atas keluhan volume azan.
Isi Surat Edaran
Berikut ini ketentuan dalam Surat Edaran Menteri Agama tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala:
1. Umum
a. Pengeras suara terdiri atas pengeras suara dalam dan luar. Pengeras suara dalam merupakan perangkat pengeras suara yang difungsikan/diarahkan ke dalam ruangan masjid/musala. Sedangkan pengeras suara luar difungsikan/diarahkan ke luar ruangan masjid/musala.
b. Penggunaan pengeras suara pada masjid/musala mempunyai tujuan:
1) mengingatkan kepada masyarakat melalui pengajian Alquran, selawat atas Nabi, dan suara azan sebagai tanda masuknya waktu salat fardu;
2) menyampaikan suara muazin kepada jemaah ketika azan, suara imam kepada makmum ketika salat berjemaah, atau suara khatib dan penceramah kepada jemaah; dan
3) menyampaikan dakwah kepada masyarakat secara luas baik di dalam maupun di luar masjid/musala.
2. Pemasangan dan Penggunaan Pengeras Suara
a. pemasangan pengeras suara dipisahkan antara pengeras suara yang difungsikan ke luar dengan pengeras suara yang difungsikan ke dalam masjid/musala;
b. untuk mendapatkan hasil suara yang optimal, hendaknya dilakukan pengaturan akustik yang baik;
c. volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan, dan paling besar 100 dB (seratus desibel); dan
d. dalam hal penggunaan pengeras suara dengan pemutaran rekaman, hendaknya memperhatikan kualitas rekaman, waktu, dan bacaan akhir ayat, selawat/tarhim.
3. Tata Cara Penggunaan Pengeras Suara
a. Waktu Salat:
1) Subuh:
a) sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Qur'an atau selawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) menit; dan
b) pelaksanaan salat Subuh, zikir, doa, dan kuliah Subuh menggunakan Pengeras Suara Dalam.
2) Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya:
a) sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Qur'an atau selawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) menit; dan
b) sesudah azan dikumandangkan, yang digunakan Pengeras Suara Dalam.
3) Jumat:
a) sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Qur'an atau selawat/tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) menit; dan
b) penyampaian pengumuman mengenai petugas Jumat, hasil infak sedekah, pelaksanaan Khutbah Jumat, Salat, zikir, dan doa, menggunakan Pengeras Suara Dalam.
b. Pengumandangan azan menggunakan Pengeras Suara Luar.
c. Kegiatan Syiar Ramadan, gema takbir Idul Fitri, Idul Adha, dan Upacara Hari Besar Islam:
1) penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan baik dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarus Alquran menggunakan Pengeras Suara Dalam;
2) takbir pada tanggal 1 Syawal/10 Zulhijjah di masjid/musala dapat dilakukan dengan menggunakan Pengeras Suara Luar sampai dengan pukul 22.00 waktu setempat dan dapat dilanjutkan dengan Pengeras Suara Dalam.
3) pelaksanaan Salat Idul Fitri dan Idul Adha dapat dilakukan dengan menggunakan Pengeras Suara Luar;
4) takbir Idul Adha di hari Tasyrik pada tanggal 11 sampai dengan 13 Zulhijjah dapat dikumandangkan setelah pelaksanaan Salat Rawatib secara berturut-turut dengan menggunakan Pengeras Suara Dalam; dan
5) Upacara Peringatan Hari Besar Islam atau pengajian menggunakan Pengeras Suara Dalam, kecuali apabila pengunjung tablig melimpah ke luar arena masjid/musala dapat menggunakan Pengeras Suara Luar.
4. Suara yang dipancarkan melalui Pengeras Suara perlu diperhatikan kualitas dan kelayakannya
Suara yang disiarkan memenuhi persyaratan:
a. bagus atau tidak sumbang; dan
b. pelafazan secara baik dan benar.
5. Pembinaan dan Pengawasan
a. pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Surat Edaran ini menjadi tanggung jawab Kementerian Agama secara berjenjang.
b. Kementerian Agama dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan Organisasi Kemasyarakatan Islam dalam pembinaan dan pengawasan
Advertisement