Polemik Mutasi Seribu Pejabat di Akhir Jabatan Soekarwo
Mutasi seribu pejabat di sisa akhir masa jabatan Gubernur Jawa Timur Soekarwo menuai polemik. Mutasi yang digelar pada Jumat 30 November 2018 ini dinilai janggal dan melanggar aturan. Apalagi gubernur terpilih Khofifah Indar Parawansa kabarnya tidak menyetujui mutasi ini.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, disebutkan dalam Pasal 71 ayat 2, bahwa gubernur, bupati, wali kota maupun wakilnya masing-masing, dilarang melakukan penggantian pejabat 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri.
Undang-ungang inilah yang menurut mantan Ketua tim sukses Khofifah Indar Parawansa, M Roziki menjadi alasan kenapa Khofifah menolak mutasi.
Menurut Roziki, sebelum melakukan mutasi besar-besaran, Sekdaprov Jawa Timur, Heru Tjahjono dan Kepala Badan Kepegawaian Daerah, Anom Surahno sempat menemui Khofifah
Namun Khofifah, kata Roziki, tidak berkenan menandatangani surat rekomendasi yang dibawa oleh Heru dan Anom. Hanya saja Roziqi tidak mau mengungkap alasan Khofifah tak memberikan rekomendasi atas rencana mutasi tersebut.
"Memang Pak Heru dan Pak Anom temui Khofifah. Kabarnya Bu Khofifah tidak mau memberikan rekomendasi soal mutasi," ungkap Roziki, seperti dikutip dari akurat.co.
Roziki tidak mau ikut campur tangan terkait mutasi pejabat eselon tersebut karena tidak mengetahui secara pasti alasan Soekarwo melakukan itu.
Sekadar diketahui, pada Jumat 30 November 2018, Soekarwo memutasi 1.017 pejabat di lingkungan Pemprov Jawa Timur. Pergeseran pejabat dilakukan mulai eselon II hingga IV.
Pelantikan dan Pengambilan Sumpah Janji Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (eselon II) sebanyak 14 orang, Jabatan Administrator (eselon III) sebanyak 270 orang dan Jabatan Pengawas (eselon IV) sebanyak 733 orang itu dilakukan langsung secara bergantian oleh Soekarwo dan Sekdaprov Heru Tjahjono.
Soekarwo mengatakan, pelantikan yang dilakukannya kali ini murni untuk mengisi kekosongan jabatan. Pengisian tersebut dilakukan untuk mengisi 27 UPT yang dilebur sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri).
“Ini batas akhir yang diberikan Mendagri untuk mengisi kekosongan-kekosongan. Jadi tidak hanya yang tidak tertampung, tetapi semua eselon III dan IV sudah masuk dalam pelantikan ini,” ujarnya.
Meskipun dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016, namun Soekarwo berdalih mutasi kali ini berdasarkan PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. PP tersebut dikoreksi oleh Mendagri yang kemudian memunculkan Permendagri No. 12 Tahun 2017. Dalam Permendagri tersebut disebutkan bahwa terdapat 27 UPT di Jatim yang perlu ditiadakan.
“Jadi ini diperintah peraturan melalui PP dan Permendagri. Ada 27 UPT ditiadakan,” ujarnya.
Proses mutasi kali ini juga sedikit janggal karena tidak melibatkan Wakil Gubernr Jawa Timur Saifullah Yusuf (Gus Ipul). "Saya baru dikabari pagi hari sebelum mutasi," ujarnya. (man)