Ada Dugaan Intoleransi, Polemik Gereja HKBP Viral di Jombang
Sekilas, jika dilihat dari luar, bangunan itu tampak biasa. Pintunya bermodel sliding door terbuat dari material besi berlapiskan cat warna biru. Warna ini senada dengan warna pagar yang melindungi sebuah rumah tepat di sampingnya. Berbeda dengan rumah yang pagarnya terkadang dibuka, bangunan berpintu besi biru itu terlihat tertutup rapat.
Berlokasi di Jalan Patriot Desa Kepuhkembeng, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang, bangunan ini mudah dijangkau. Maklum, letak bangunan ini hanya berjarak 50 meter dari jalan raya.
Di depan kedua bangunan ini terhampar jalanan beraspal yang terhubung dengan jalan raya. Jalanan ini biasa digunakan masyarakat berlalu-lalang.
Sementara, untuk bisa memasuki ke dalam bangunan itu harus melalui rumah di sampingnya. Saat melangkahkan kaki ke dalam terlihat ruangan ukuran setengah lapangan bola. Ruangan berkeramik krem itu tampak lengang. Pada sudut samping berjajar kursi-kursi yang ditumpuk rapi. Ada yang berwarna biru, ada pula yang berwarna merah. Pada sudut yang lain terlihat meja berukuran panjang beralaskan kain hijau serta alas pengkhotbah.
Ruangan ini dulunya digunakan sebagai tempat beribadah jemaah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Jombang. Setiap hari Minggu terdengar lantunan nyanyian pujian sejak pukul 10.00 hingga 11.00 WIB. Tampak sekitar 60 orang jemaah mengikuti kegiatan ibadah di sini.
Namun sekarang ruangan ini selalu sepi. Tak lagi terdengar dentuman speaker lagu-lagu rohani kristen. Tak terdengar pula suara pengkhotbah penuh khidmat di atas mimbar.
“Dulu di sini ada speaker-nya. Di sana tempat para majelis. Sebelah sini untuk pengkhotbah. Sebelah sana deretan kursi jemaah yang diatur berjarak satu meter,” kata Raymond Sitorus, Pendeta sekaligus pemimpin jemaah HKBP Jombang seraya memposisikan tangannya merekonstruksi kegiatan ibadah.
Terhitung sejak 8 Maret 2020, bangunan ini diresmikan sebagai Gereja. Mulanya bangunan ini merupakan pemberian dari seseorang. Rumah ini difungsikan sebagai ruang pastori, sedangkan ruang kosong di sampingnya untuk tempat beribadah. Namun, semenjak pagebluk melanda, ruangan ini tidak dipakai lagi. Saat itu bersamaan dengan larangan pemerintah dalam melaksanakan kegiatan ibadah secara masif. Tujuannya demi mencegah rantai penyebaran Covid-19.
Namun, menghadapi pandemi yang tak kunjung usai, pada Agustus 2020 Raymond meminta izin kepada pihak RT setempat. Saat itu Raymond memohon agar dia dan jemaahnya bisa melakukan kegiatan ibadah lagi. Tentunya dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Lantaran sudah memperoleh restu dari RT, Raymond memimpin jemaahnya melaksanakan kegiatan ibadah di tempat itu.
Raymond mengenang, dua hingga tiga kali kegiatan ibadah berjalan lancar. Namun, pada minggu ketiga datanglah dua orang yang mengaku dari pihak karang taruna setempat. Kedua orang ini lantas menegur dan melarang Raymond beserta jemaahnya mengadakan kegiatan ibadah apapun di ruangan itu.
Masih teringat jelas di memori Raymond, pada 16 Agustus 2020 adalah hari terakhir dia dan jemaahnya beribadah di tempat itu. Tak lama, sekitar 20 Agustus Raymond dipanggil menuju Balai Desa Kepuhkembeng untuk menghadiri mediasi. Mediasi diikuti oleh perwakilan pihak gereja, masyarakat sekitar, kepala desa, dan tokoh sekitar. Saat itu yang membuat Raymond kaget bukan main, kegiatan ibadahnya dianggap menyebabkan warga resah.
“Ibadah kami dibilang meresahkan warga dan membuat panas. Saya nggak tahu bagaimananya kok warga bisa panas. Kami tidak membuat keributan dan kerusuhan. Nyanyian dan pujian itu cara kami beribadah. Jarak radius berapa meter pun nggak terdengar,” kata Raymond dengan penuh kebingungan.
Raymond lantas mencari alternatif lain untuk beribadah. Raymond kemudian menyewa Gedung Juang 45 Jombang. Setelah itu, Raymond berpindah tempat dengan menyewa sebuah Rumah Toko (Ruko) di Jombang Kota. Di Ruko tersebut Raymond menggelar kegiatan ibadah bersama para jemaahnya. Ruko itu disewa terhitung sejak September 2020 hingga Februari 2021.
Raymond lantas memperpanjang durasi sewa sejak Maret 2021 hingga Februari 2022. Per tahunnya Raymond menggelontorkan dana sebesar Rp 6 juta untuk uang sewa. Biaya tersebut diperolehnya dari iuran para jemaahnya.
Di sisi lain, karena hendak menyambut Natal, pada November 2020 Raymond dan para jemaahnya kembali mengadakan kegiatan latihan penyambutan di bangunan pertama. Seperti menari, dan berliturgi. Sayangnya, beberapa hari setelah latihan datanglah empat orang menegur Raymond. Dalam teguran itu Raymond diperingatkan agar tidak melakukan kegiatan keagamaan apa pun di situ.
Merasa tak aman, Raymond lalu melayangkan surat permohonan perlindungan ke Kapolsek setempat. Sayangnya surat tersebut tidak pernah mendapat respons. Justru Raymond kembali mendapat panggilan dari desa untuk bermediasi kembali. Mediasi itu dihadiri Raymond, anggota majelisnya, pimpinan, sekretaris dan bendahara resort dari Surabaya di Balai Desa Kepuhkembeng.
Dari pertemuan tersebut dihasilkan keputusan pelarangan dilaksanakannya kegiatan ibadah apa pun di bangunan tersebut.
“Yang jadi pertanyaan saya jika ada duka cita apakah nggak boleh? Digunakan sebagai tempat pembelajaran alkitab apakah nggak boleh? Kami sudah memohon diperbolehkan buat latihan kegiatan natal tapi mereka bersikeras menolak. Toleransinya di mana?”, kata Raymond dengan nada kesal.
Tak hanya sampai di situ, sejak pelarangan kegiatan ibadah pada Agustus 2020 Raymond sering mengalami teror. Setiap malam pukul 21.00 WIB terdengar dengungan keras lemparan batu dari luar. Sekali dua kali Raymond mencoba bersabar dengan menganggap ulah dari orang iseng. Namun, teror tersebut didapatnya hingga pertengahan Februari 2021.
Beruntung, setelah menghubungi seorang anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang dia kenali, sejak saat itu teror tersebut berhenti.
“Saya terganggu loh ini, suaranya terdengar keras walau jauh. Saya bilang ke Babinsa yang saya kenal, kalau sampai ini ada hubungannya dengan toleransi akan saya angkat kasus ini. Puji Tuhan pertengahan Februari sudah nggak ada,” katanya.
Raymond tidak berharap banyak. Bagi Raymond bisa bebas beribadah dengan nyaman dan aman sudah membuatnya bersyukur.
Penutupan Gereja HKBP Jombang Viral di Medsos
Sementara kasus dugaan penutupan gereja HKBP di Kota Santri itu mulai terendus pada 17 April 2021. Di platform media sosial (Medsos) seperti Facebook dan Instagram tersebar luar surat perjanjian yang ditandatangani oleh beberapa pihak. Antara lain tokoh masyarakat, tokoh agama, perwakilan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), perwakilan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), kedua perwakilan HKBP dan kepala desa Kepuhkembeng. Isinya sebagai berikut,
“Pada hari rabu, 25 November 2020 pukul 09.00 WIB hingga selesai bertempat di Balai Desa Kepuhkembeng, musyawarah tentang tempat ibadah agama Kristen di dusun Kembeng yang dihadiri oleh Muspika (Tiga Pilar), tokoh agama, tokoh masyarakat, BPD, dan perwakilan dari umat Kristiani memutuskan bahwa warga Batak sudah tidak diperbolehkan melaksanakan ibadah di dusun Kembeng desa Kepuhkembeng Kec. Peterongan Kabupaten Jombang”.
Surat tersebut kemudian memicu adanya tudingan praktik intoleransi di Kota Kelahiran Gus Dur itu. Walhasil warganet pun ramai memperbincangkannya dan geger. Dari pantauan Ngopibareng.id hingga 24 April 2021 isu tersebut meluas hingga platform Youtube.
Sementara, kabar tersebut terdengar hingga ke telinga Aan Anshori, Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur. Aan secara tegas mengecam dugaan intoleransi berbasis etnis dan agama pada HKBP Jombang.
Aan pun mempertanyakan slogan kerja pluralisme yang digaungkan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat. Tak hanya itu, Aan juga menyangsikan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jombang.
“Jombang ini Kota Santri, ada Gus Dur di sini. Ini patut dipertanyakan, kerja pluralisme yang digaungkan Pemda omong kosong. Sudah 8 bulan ini nggak ada respons. Pertanggungjawaban APBD untuk kebhinekaan bagaimana?” katanya.
Pria yang juga berprofesi sebagai dosen di Universitas Ciputra Surabaya ini lantas mendorong Bupati mengambil sikap: Memanggil dan memberi sanksi pihak yang menandatangi surat kesepakatan tersebut. Bagi Aan surat perjanjian itu merupakan sebuah pelanggaran terhadap konstitusi.
Aan juga menyarankan, bagi masyarakat yang resistant terhadap HKBP dapat menyuarakan pendapatnya dengan tanpa adanya kekerasan. Atau mudahnya mengadukan masalah ini ke pengadilan secara langsung.
Saat ini, Aan sebagai representasi JIAD melakukan pendampingan awal kepada pihak HKBP. Aan pun mengedarkan publikasi tentang kasus ini agar masyarakat lebih sadar dan melek terkait isu ini.
Publikasi ini disebarkannya melalui media sosial seperti Instagram dan Facebook pribadinya. Ke depannya, Aan berencana mengirim surat kepada beberapa pihak. Agar kasus ini segera menemukan titik terang.
Terlebih berdasarkan pengalaman Aan ini bukanlah kasus gereja bermasalah pertama yang dia tangani. Sebelumnya terdapat kasus serupa yang terjadi pada tahun 2011 dan 2018. Beruntungnya saat itu kedua kasus tersebut berakhir dengan jalan damai.
Bamag Geram
Berbeda dengan Aan, Herry Soesanto Ketua Badan Musyawarah Antar Gereja (Bamag) Jombang mengaku geram dengan berkembangnya isu intoleransi tersebut. Baginya berita itu adalah fitnah. Herry lalu beralih menceritakan kronologi perkenalannya dengan Raymond Sitorus.
Awal mula Herry mengenal Raymond setelah dikenalkan oleh salah seorang temannya. Herry pertama kali bertemu tatap muka dengan Raymond saat acara arisan di Gedung Juang 45 Jombang. Setelah itu, pada Desember 2020 Raymond ditemani lima orang mendatangi Herry di Kantor Bamag Jombang.
Raymond meminta tolong kepada Herry untuk dicarikan tempat beribadah. Herry lantas mengontak jemaahnya. Kala itu ada ruko kosong yang siap dipakai Raymond dan jemaahnya beribadah. Setelah memfasilitasi tempat tersebut, hingga saat ini Herry lost contact dengan Raymond.
“Berita yang viral itu fitnah. Bamag sudah mencarikan tempat. Urusan tempat beribadah itu sudah aman dan nggak ada masalah. Pemerintah sendiri nggak pernah melarang untuk beribadah. Orang Jombang tidak pernah melakukan intoleransi,” tegasnya.
Tak Kantongi Izin
Di sisi lain jika merunut dari kronologi masalah, pendirian Gereja HKBP yang berlokasi di Jalan Patriot itu tidak mengantongi izin resmi. Izin yang dimaksud secara spesifik berupa surat izin tertulis. Data ini diperoleh saat Ngopibareng.id melakukan konfirmasi kepada RT, lurah, dan tokoh di Desa Kepuhkembeng.
Dulunya bangunan yang digunakan sebagai tempat ibadah itu merupakan kantor pegadaian. Setelah itu bangunan tersebut dibiarkan kosong selama tiga tahun.
“Dari awal didirikan itu konsepnya nggak jelas, mau dibuat rumah atau gereja. Selain itu nggak setor identitas ke saya,” kata M. Syaifudin, Ketua RT 09 RW 04 Desa Kepuhkembeng.
Syaifudin menambahkan, sebelumnya perwakilan pihak gereja sempat meminta tandatangan kepadanya untuk perizinan kegiatan ibadah. Lantaran merasa bukan wewenangnya sebagai pengambil keputusan, Syaifudin menolak. Syaifudin lantas menyarankan HKBP meminta izin kepada kepala desa.
“Saya sempat diminta tandatangan surat. Pas saya baca isinya terkait izin pelaksanaan kegiatan ibadah. Saya pribadi menolak. Saya mengarahkan ke Pak Lurah saja agar diselesaikan di balai desa,” imbuhnya.
Senada dengan Syaifudin, Kepala Desa Kepuhkembeng Suprapto mengaku hal yang sama. Sejak bangunan tersebut ada, tidak terdapat surat izin pendirian gereja yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang.
“Dulunya itu tempat pegadaian. Sempat kosong dan dipakai lagi. Tapi nggak ada surat izinnya untuk gereja sama sekali,” katanya.
Tak hanya itu, pernyataan serupa juga dilontarkan Fathurrokhman Abdul Karim, Tokoh Agama Desa Kepuhkembeng. Pria yang akrab disapa Gus Tuk itu membeberkan tidak adanya izin untuk pendirian gereja dan pelaksanaan kegiatan ibadah.
“Nggak ada izinnya, kalau ada pasti saya rumangsa. Itu berpolemik karena nggak ada izin tertulis dan tidak tertulis ke otoritas setempat,” katanya.
Kebijakan Pelarangan Demi Jaga Kedamaian
Selain izinnya yang bermasalah, ada tiga hal lain yang menjadi bahan pertimbangan sebelum dikeluarkannya kesepakatan pelarangan kegiatan ibadah. Pertama, terdapat dua gereja yang berlokasi tak jauh dari desa Kepuhkembeng.
Antara lain gereja Bethany Yestoya Jombang yang berjarak satu kilometer (berada di komplek Ruko Cempaka Mas) dan gereja Bethel Indonesia yang berjarak 2 kilometer. Kedua, terjadi disfungsi bangunan.
Gus Tuk menegaskan jika bangunan itu awalnya merupakan tempat hunian dan bukan gereja. Ketiga, mengantisipasi trauma masyarakat. Gus Tuk menuturkan sekitar lima tahun yang lalu terjadi bentrokan antara warga lokal dengan warga Batak.
Ketika itu bangunan itu masih difungsikan sebagai kantor pegadaian. Pada suatu sore ada dua warga Batak yang bermain badminton di tengah jalan. Oleh seorang warga lokal kedua orang Batak tersebut ditegur. Sayangnya teguran tersebut berujung adu mulut dan adu fisik. Warga lokal lainnya yang tidak terima lantas membalas dengan tindakan anarkis.
“Kebijakan ini kami ambil dan sepakati bersama demi ngeman warga Batak. Dulu itu warga sampai anarkis bawa parang dan batu, meski tidak ada korban dari kejadian tersebut. Agar kedamaian terwujud kami keluarkan kebijakan itu. Pihak gereja juga sudah menyetujui dan tidak ada masalah,” katanya.
Gus Tuk pun menegaskan, kebijakan ini berupa kesepakatan pelarangan kegiatan beribadah. Bukan penutupan gereja. Sebab, dari awal bangunan yang digunakan sebagai tempat ibadah tersebut belum diresmikan sebagai gereja.
Bahkan, pengasuh Manaqib Jawahirul Ma’ani Jombang itu lantas memfasilitasi HKBP dengan menembusi ke pengurus Gereja Bethel Indonesia.
Langgar Kesepakatan
Mantan Ro’is Surya NU MWC Peterongan itu pun menjelaskan lebih lanjut. Dulunya setelah kejadian anarkis masyarakat lokal, bangunan yang difungsikan sebagai tempat ibadah itu kosong selama tiga tahun.
Namun yang mengejutkan terjadi pada Agustus 2020, di mana Gus Tuk mendengar aduan dari masyarakat sekitar. Mereka mengadukan bangunan bekas penggadaian yang digunakan kembali sebagai tempat beribadah.
Saat itu terjadilah mediasi pertama yang dilakukan di Balai Desa Kepuhkembeng. Mediasi dihadiri sekitar 20 warga, tokoh agama dan masyarakat, lurah, perwakilan pihak gereja dan Muspika. Pada mediasi tersebut keluar hasil keputusan pelarangan penggunaan bangunan tersebut sebagai tempat ibadah.
Pelarangan ini disebabkan kekhawatiran timbulnya trauma masyarakat kembali atas kejadian lima tahun lalu. Kala itu Gus Tuk sudah menjelaskan ketiga alasan utama pelarangan tersebut. Akhirnya terjadilah kesepakatan. Pihak gereja pun meminta maaf sebab telah menggelar kegiatan ibadah tanpa mengantongi izin.
Sayangnya, pada November 2020 kesepakatan tersebut dilanggar. Yang tak kalah mengejutkan, pihak desa dibuat kaget dengan adanya pemberitahuan surat aduan dari Polres setempat. Isi surat tersebut menyatakan pihak HKBP Jombang meminta perlindungan, agar mereka dapat melakukan kegiatan keagamaan.
Mengetahui hal ini, lurah dan para tokoh Desa Kepuhkembeng melakukan mediasi kedua. Pertemuan yang kurang lebih berlangsung selama dua jam itu menghasilkan surat keputusan yang sama seperti surat pertama. Pihak gereja kembali meminta maaf dan bersepakat menandatangani surat tersebut.
“Saya sudah menjelaskan alasan dikeluarkannya kebijakan pelarangan kegiatan ibadah, tapi dilanggar. Akhirnya berakhir dimediasi dengan keputusan yang sama. Pihak gereja sudah meminta maaf. Yang bikin kaget ada lompatan izin ke Kapolsek, padahal izin ke lurah saja belum pernah ada,” kata Gus Tuk yang diamini Kepala Desa Kepuhkembeng Suprapto.
“Surat keputusan yang 25 November itu hasil dari diskusi selama dua jam. Masing-masing pihak diberi kesempatan mengutarakan pendapatnya. Setelah sepakat baru keluar surat itu, jadi nggak ujug-ujug. Semuanya sepakat, menerima, dan tidak saling mempermasalahkan,” katanya.
Hingga berita ini diturunkan, pada hari ketiga setelah wawancara, Jum’at 23 April 2021, Raymond Sitorus mengirimkan pesan melalui Whatsapp. Raymond meminta berita ini di take down. Sayangnya pada pesan tersebut Raymond tidak menyebutkan alasannya.