Polemik 0-12 Mil Berlanjut, Biaya ‘Siluman’ Hantui Pengusaha
Polemik 0-12 Mil Berlanjut, Biaya ‘Siluman’ Hantui Pengusaha
Oleh Oki Lukito
Tarik ulur kewenangan pengelolaan 0-12 mil laut antara pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan pemerintah daerah belum mencapai titik temu. KKP bersikukuh dengan ego, menerbitkan ‘senjata’ Permen KP 28 tahun 2021 untuk mengatur perijinan berusaha dan non berusaha dari nol hingga di atas 12 mil, khususnya Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang laut (PKKPRL). Sementara pemerintah daerah berpijak Undang Undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pengelolaan 0-12 mil mutlak ranah provinsi dan hal itu sudah disepakati di forum ‘Deklarasi Shangrila’ bulan Juni 2023 yang diikuti oleh 23 Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan se Indonesia.
Dampak ‘perseteruan’ KKP dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi merugikan pelaku usaha yang memanfaatkan ruang laut. Setidaknya sudah tiga stakeholder kelautan yang komplain terhadap persyaratan yang ribet dan biaya tidak terduga mirip ‘siluman’ tetapi nyata itu. Tercatat tahun lalu baru dua dari 22 Kontraktor Kontrak Kerjasama Migas (KKKS) Jawa, Bali, Nusatenggara (Jabanusa) mengurus PKKPRL. Penyebabnya, pengenaan PNBP PKKPRL dianggap menghambat peningkatan investasi dan kelancaran operasi hulu migas karena aturan tersebut tidak diatur dalam Production Sharing Contract Agreement (PSC) dan juga tidak sesuai dengan semangat penyederhanaan perizinan. Keluhan lainnya datang dari puluhan Galangan Kapal serta ratusan petambak intensif di sepanjang Pantura Jawa Timur.
Perairan Jawa Timur mempunyai spesifikasi khusus yang berbeda dengan provinsi lainnya. Dalam pengurusan PKKPRL, pelaku usaha selain bersentuhan dengan DKP untuk kesesuaian pemanfaatan ruang juga harus meminta clearance dari instansi lainnya. Contoh dengan Kementerian Perhubungan terkait wilayah DLKr, DLKp dan Rencana Induk Pelabuhan. Sebab jika lokasi yang diminta berada dalam kewenangan Kementerian Perhubungan maka harus mengurus rekomendasi atau surat keterangan melalui Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan. Selain itu masih ada lagi namanya Kawasan Srategis Nasional yaitu di Tuban (Refeneri Pertamina), Gresik (Pelabuhan Maspion) dan Sidoarjo (Bandara Juanda).
Instansi berwenang lainnya yang harus dimintakan surat keterangan yaitu Lantamal-V mengingat sebagian besar wilayah perairan Jawa Timur masuk dalam kawasan Pertahanan dan Keamanan TNI-AL. Sebaran ranjau, daerah pendaratan pasukan, kemanan alur pelayaran di bawah pengawasan dan penanganan Lantamal V Surabaya.
Untuk mendapat PKKPRL, dibutuhkan dua rekomendasi dari instansi tersebut tentunya membutuhkan waktu selain biaya. Belum lagi jika terjadi kesalahan pengisian aplikasi online Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko melalui melalui sisitim One Singgle Submission (OSS), maka pelaku usaha harus ke Jakarta belajar caranya di Ditjen Ruang Lalut KKP. Antri, sudah pasti karena semua permohonan PKKPRL dari seluruh Indonesia dipusatkan di KKP yang hanya memiliki 30 personil dengan rangkap fungsi dan jabatan.
Biaya Tinggi
Informasi yang diperoleh penulis, terdapat 9 KKKS eksploitasi Migas yang berpotensi mengeluarkan tambahan biaya sebesar Rp 118 milyar tahun lalu untuk mendapatkan Persetujuan KKPRL sebagai persyaratan dasar perizinan berusaha pemanfaatan ruang laut. Konsekuensi mengeluarkan biaya tambahan juga dialami oleh pelaku usaha Galangan Kapal (Galkap). Bukan soal ketetapan tarip PNBP Rp 18,6 juta per hektar yang dipermasalahkan. Akan tetapi biaya ikutan dan biaya ‘siluman’ yang harus dikeluarkan perusahaan cukup signifikan. Untuk pemanfaatan lahan reklamasi di atas 50 meter dari garis pantai, ketentuannya perusahaan cukup mengurus UKL/UPL yang feenya Rp 100 juta untuk hired konsultan. Jika PKKPRL yang diajukan lebih dari 50 meter dari garis pantai biaya konsultanya cukup besar Rp 700-750 juta karena harus membuat AMDAL. Pengerjaanya kurang lebih selesai dalam 3-6 bulan, belum biaya lainnya seperti mengurus izin reklamasi dan melakukan reklamasi dan sewa perairan, mengurus surat keterangan dari Kemenhub dan Lantamal. Jasa yang ditawarkan konsultan ‘plat merah’ besarnnya Rp 350 juta.
Pengurusan persetujuan KKPRL memang ngeri ngeri sedap. Biaya tinggi juga dialami pelaku usaha budidaya udang intensif yang jumlahnya ratusan di sepanjang pantura Jawa Timur. Ketentuannya, setiap usaha yang memanfaatkan ruang laut termasuk mengambil air laut (inlet) diharuskan memiliki PKKPRL. Umumnya perusahaan tambak udang mengambil air laut untuk bahan baku air tambak, pipa yang dipasang di kedalaman tertentu panjangnya 500 meter. Selain pipa inlet juga dipasang pipa outlet untuk pembuangan limbah sepanjang 500 meter. Total pipa 1000 meter, PNBP yang harus dibayar sekitar Rp 900 ribu akan tetapi perusahaan harus menyewa konsultan yang sudah mematok harga Rp 70 juta. Diduga ada biaya lainnya yang harus dipenuhi pengusaha tambak yaitu ‘under table fee’ Rp 1-1,5 miliar lebih seperti yang dialami pula oleh pengusaha Galkap.
Prospek Usaha
Terlepas dari upaya yang terus dilakukan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) termasuk meminta biaya enol rupiah untuk PNBP, usaha di sektor ini terus meraup dolar dan menjadi salah satu yang diincar investor manca negar. Tidak kalah menariknya usaha Galkap yang juga diminati pemodal dalam negeri maupun asing. Imbas dari akan ditutupnya usaha Galkap di Singapura membuka peluang usaha ini ke daerah daerah yang dekat dengan kota besar. Contoh di Bangkalan, sisi barat Pulau Garam ini sedikitnya terdapat 7 Galkap yang sudah beroperasi maupun dalam tahap persiapan termasuk usaha pemotongan kapal yang juga diincar investor karena tingkat keuntunganya bisa mencapai Rp 200-300 rupiah per Kg.
Jika dikonversi dengan biaya dikeluarkan sekali untuk selamanya dalam pengurusan persetujuan KKPRL dan sekaligus ekspansi investasi jangka panjang , biaya yang dikeluarkan masih relevan dalam hitungan ROI. Katakanlah total biaya yang dikeluarkan Galkap untuk membereskan perijinan dan biaya rekalamasi laut seluas 5-7 Ha (Rp 500 ribu per meter) total biayanya Rp 2-5 miliar. Tanah reklamasi mendapat sertifikat HGB di atas HPL sudah langsung bisa dianggunkan ke Bank dengan nilai maksimal Rp 700 ribu per meter untuk tambahan modal.
Sebagai perbandingan, harga tanah di pesisir barat Bangkalan Rp 1-1,5 juta per meter dan Galkap lebih cenderung melakukan reklamasi ketimbang membeli tanah di darat . Dari hasil perbaikan kapal, Galkap mengenakan tarip Rp 150 juta untuk perbaikan ringan hingga perbaikan berat atau overhaul sampai Rp 2 miliar per kapal. Keutungan besar tentunya dapat diaraup dari penbuatankapal baru. Sisi Barat pesisir Bangkalan tidak akan menjadi rebutan investor jika tidak menjanjikan disamping posisinya yang strategis berada di Alur Pelabuhan Barat Surabaya (APBS).
Kita sepakat dengan pendapat , apapun perizinan harus efisien dan tidak memakan waktu lama serta tidak ribet. Keluhan pengusaha udang seperti yang disuarakan Shrimp Club (SCI) seharusnya segera ditanggapi oleh KKP. Di satu sisi para pengusaha tambak didorong untuk menaikkan produksi (Ditjen Budidaya), di sisi lain mereka wajib mengurus KPPRL (Ditjen PRL) dalam prosesnya berbiaya tinggi. Biaya yang harus dikeluarkan perusahaan udang vanamei intensif mengurus PKKPRL plus membayar jasa konsultan plus mendapat rekomendasi kelayakan besarnya diprediksi Rp 2 miliar. Usaha udang vanamei paling banyak diminati di sektor perikanan mengingat prospek usaha yang menggiurkan memenuhi pasar lokal maupun ekspor.
Umumnya per hektar lahan tambak vanamei intensif dengan kepadatan tebar 1000-1500 ekor per meter persegi menghasilkan udang 20 ton per siklus. Di Jember karena menggunakan air laut selatan hasilnya bisa 30 ton per siklus. Umumnya petambak dalam dua tahun bisa panen hingga maksimal 5 kali. Harga vanamei paling rendah Rp 45 ribu per kg (isi 110 ekor) dan harga tertinggi Rp 80.000 per kg (isi 30 ekor). Ambil harga tengah Rp 55.000 per kg (isi 70 ekor), hasil bersih per hektar 20.000 kg x Rp 55.000= Rp 1,1 miliar dikurangi biaya operasioanal (benih,pakan, pekerja, listrik) dan penyusutan sebesar 65 persen atau Rp 715 juta, masih ada keuntungan plus minus Rp 385 juta per hektar per siklus. Sebagai referensi, KKP tidak akan berbisnis udang vanamei ‘ Budidaya Udang Berbasis Kawasan (BUBK)di Kebumen, Jawa Tengah jika tidak bau cuan dan menguntungkan.
*Oki Lukito, Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim. Perikanan, Dewan Pakar PWI Jawa Timur