Polda Jatim Bongkar Kasus Pembuatan Akta Otentik Palsu
Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur membongkar tindak pidana pembuatan dan menggunakan surat otentik palsu dalam proses jual beli tanah yang terjadi di Kabupaten Malang dan Kota Batu.
Wadirreskrimum Polda Jatim, AKBP Piter Yanottama, menjelaskan, perkara ini diawali dari adanya laporan masyarakat pada Desember tahun 2021.
Ia menjelaskan, kasus ini berawal tahun 2016 ketika pemilik tanah ingin melakukan administrasi balik nama objek tanah sertifikat sebanyak 11 bidang melalui perantara, yakni perempuan Eka Wulandari.
"Tersangka Eka menyanggupi dan kemudian meminta bantuan kawannya tersangka Henry. Dari tersangka Henry kemudian menghubungi kawannya lagi bernama Sultan Alamsyah untuk bisa membantu keinginan dari korban atau pemilik tanah tersebut," ungkap Piter.
Dalam prosesnya, ketiga tersangka membuat dokumen palsu berupa delapan akta pembagian hak bersama dan tiga akta hibah, termasuk juga surat pajak palsu dokumen-dokumen yang dibuat palsu.
"Melalui cek dan picek dari PPAT Novitasari Dian Priharini menyatakan, dokumen-dokumen tersebut memang palsu karena tidak dikeluarkan oleh Kantor PPAT," beber dia.
Setelah itu, mereka dibantu oleh dua orang yang berprofesi sebagai makelar untuk memuluskan proses balik namanya di Kantor Pertanahan, yaitu Nanang Sugiarto dan Andi Lala.
"Kami telah menetapkan lima orang tersangka, pertama EW, HEA, SA, MS dan AL. Dan sudah memeriksa 17 orang saksi untuk bisa mengumpulkan alat bukti guna membuat terang tindak pidana," tegas dia.
Sedangkan modus operandi yang dilakukan oleh kelima tersangka ini dipilah menjadi dua bidang, untuk tersangka Eka, Henry dan Sultan Alamsyah tugasnya adalah membuat surat palsu, dokumen-dokumen palsu, termasuk surat pajak palsu.
Dokumen itu kemudian diserahkan kepada tersangka Nanang Sugiarto dan Andi Lala untuk kemudian dilanjutkan proses di Kantor Pertanahan. Sehingga ketika sudah berhasil, dibalik nama sebanyak 11 sertifikat.
Kemudian motifnya kelima tersangka, yakni untuk mendapatkan keuntungan materi. "Tersangka EW mendapat Rp850 juta, namun dari proses penyidikan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh tersangka sebanyak Rp230 juta lebih. Artinya, tidak dapat dipertanggungjawabkan ketika tersangka menyampaikan untuk proses kegiatan sesuai dengan SOP," tambahnya.
Kemudian tersangka Henry mendapatkan keuntungan uang sebesar Rp50 juta dari korban, kemudian tersangka ketiga, Sultan, mendapatkan keuntungan Rp30 juta, kemudian untuk tersangka Nanang mendapatkan keuntungan uang sebesar Rp22 juta, sedangkan untuk tersangka kelima Andi Lala mendapatkan keuntungan sebesar Rp400.000.
Untuk kelima tersangka, Eka dan Henry dikenakan Pasal 264 ayat 1 dan ayat 2 dan atau Pasal 263 ayat 1 dan ayat 2 Jo Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 8 tahun.
Kemudian untuk tersangka Sultan dikenakan Pasal 264 ayat 1 KUHP dan atau 263 ayat 1 KUHP Jo Pasal 55 KUHP dan pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 8 tahun penjara
Tersangka keempat dan tersangka kelima yaitu Nanang dan Andi dikenakan Pasal 264 ayat 2 KUHP dan atau Pasal 263 ayat 2 KUHP Jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 8 tahun penjara