Polarisasi Politik? Diperlukan Dialog dari Hati ke Hati
Sejak masih di Arab Saudi, beberapa pejabat pemerintah menyatakan bahwa tidak adalah masalah dengan kepulangan Habib Rizieq Syihab (HRS) ke tanah air. Oleh karena itu, pemerintah hanya mempermasalahkan soal pelanggaran protokol kesehatan (Prokes) mulai di Bandara Soekarno-Hatta, Petamburan dan Megamendung.
Namun melihat kesiagaan aparat dan rencana Safari HRS menimbulkan tanda tanya. Apa yang sebenarnya terjadi?? Saya coba melihat dari sisi “politik kebangsaan“ terlepas dari sisi “politik kekuasaan“.
Sejak Pilkada DKI pada 2016, muncul isu politik identitas, sebagai dampak dari isu penistaan agama. Selama Pilpres, politik identitas berkembang menjadi “polarisasi politik” yang tajam, terjadi pembelahan masyarakat dengan isu yang menonjol antara lain: “ancaman PKI, bahaya dari utara, tenaga kerja RRC “, "kesenjangan ekonomi".
Polarisasi politik ini dicoba diatasi dengan mengakomodasikan Gerindra ke dalam pemerintahan. Tetapi polarisasi jalan terus.
Ketokohan HRS mencuat bak meteor pada saat Pilkada DKI, satu juta manusia berkumpul di Monas. Pada mulanya dikhawatirkan keos, tetapi realitasnya damai. Kebanyakan yang hadir mempunyai pandangan moderat. Salah satu faktor lainnya, Presiden Joko Widodo hadir di Monas, semacam sinyal “dialog simbolis”.
HRS mengungsi ke Arab Saudi, ada yang mengatakan untuk menghindari kasus yang menjeratnya terkait Pilkada.Tetapi sebelum kembali, HRS menyatakan ia pulang karena “ada kesepakatan boleh pulang ke Tanah Air setelah Pilpres. Wallahu a’lam. Saya tidak tertarik membahasnya.
Saya hanya ingin menggaris bawahi “bahwa politik identitas dan polarisasi politik” adalah masalah serius. Hal ini harus diselesaikan agar ke depan agenda pembangunan pemerintah sukses di tengah pandemi Covid-19 yang masih mengganas.
Sungguh bahaya bila jenis penyakit dunia lain yang sedang mewabah yaitu “populisme“, kemudian menular dan berhimpitan dengan polarisasi: Arab Spring terjadi karena hal hal tersebut di atas.
Persoalan pokok dari polarisasi masyarakat adalah adanya “ketimpangan sosial ekonomi“ yang masih cukup besar. Sebagai ilustrasi, sewaktu Pilkada seorang Ustadz terkenal di DKI mengatakan kepada saya, “Sudah menguasai ekonomi, kok mau menguasai politik ibukota. Mbok, sabar dulu sampai kesenjangan ekonomi semakin menurun".
Persoalan ini memerlukan dialog dari hati ke hati sebagai sesama warga bangsa, sama-sama membangun ukhuwah atau persaudaraan.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat sosial politik, tinggal di Jakarta.
Advertisement