Gregetan Tanpa Solusi
Oleh: Sirikit Syah
Emak-emak di kampung X yang berada di cepitan antara hotel dan mall, di tengah kota Surabaya, pada nongkrong, bergunjing tentang keadaan negara. Apa dikira cuma bapak-bapak di warkop yang bisa ngobrol masalah negara? Atau para intelektual kampus? Emak-emak ini juga punya perhatian pada keadaan negara. Bahkan, kalau gemes, gemesnya sampai gregetan, sampai nyincing lengan baju.
“La iyo, kok onok wong wedok iso nguasai para pemimpin bangsa ..” kata Mak’e Supri, sambil jaga warung kecil di depan rumahnya yang mepet jalanan gang.
“Sing kok omongno ki sopo, Ning?” tanya Mak’e Sari yang kebetulan beli kecap di situ.
“Iku lho, sing jenenge Tan Lin ato Lin Tan, sing nang Kalimantan, jarene berita televisi 'perempuan di balik tambang batubara',"tutur Mak’e Supri sambil menyerahkan botol kecap ukuran kecil dan menerima uang, kemudian memberikan kembalian. Tapi Mak’e Sari tak beranjak dari tempatnya.
Ning Karomah yang sedang nongkrong di amben depan rumah (seolah-olah teras), tertarik pada pembicaraan itu. Mereka bertiga kemudian asyik membahas harga minyak goreng yang terus melangit, obat BPJS yang diresepkan oleh dokter, oleh apotek rumah sakit selalu dibilang “Stoknya kosong buk, ibuk beli sendiri saja ya di luar”, sampai ke topik “Sakjane presidene awak dewe iki sopo to yo?”
“Pak Jokowi bilang stop ekspor batu bara, eh Opung Binsar bilang buka. Trus perbowone pemimpine awak dewe iku ditaruh mana?” Ning Karomah mengusung topik batu bara. Obrolan emak-emak di kampung sempit tapi di tengah kota itu memang lucu. Kadang pakai bahasa Suroboyoan, kadang bahasa Indonesia, tak jarang pakai bahasa Inggris atau Mandarin juga.
Cak Sarijan yang baru pulang dari antar anak sekolah memarkir sepeda motornya di dekat warung, mampir pisan beli rokok. “Mbahas opo ibuk-ibuk? Kok cik gayenge?” Setelah tahu topik hari itu, Cak Sarijan malah gabung, dan malah seperti jadi narasumber utama. Dengan berlagak luas pengetahuan, mirip buzzer kribo yang mengaku habib itu,
Cak Sarijan berkisah panjang lebar tentang politik yang amburadul. Emak-emak kelihatan gak mudeng tapi pura-pura mudeng supaya gak dibilang telmi. Padahal, bagi emak-emak, politik itu wilayah abu-abu, gak jelas. Yang terang benderang di depan mata adalah harga-harga dan tarip-tarip yang dihadapi sehari-hari.
Tiba-tiba Satpam Roni, keturunan Ambon yang lama jadi warga kampung, menegor kerumunan kecil itu. “Hayo, bapak-bapak, ibu-ibu, jangan berkerumun, jaga jarak, mana maskernya? Sudah cuci tangan belum?”
“Gayamu Ron, koyok Satpol PP ae,” ujar Cak Sarijan.
“Malah koyok polisi, seragame lho wis podho,” kata Mak’e Supri, yang tidak tampak gentar sedikitpun.
“Lha ya itu, buk, seragam sik digawe durung setahun wis arep diganti maneh. Kata Pak Kapolri, karena sering dikira polisi, seragam Satpam akan diganti,” kata Roni.
“Oallaaa, dulu kan yang mutuskan Polri. Aneh memang, satpam kok diseragami seragam polisi, maksudnya apa, coba? Supaya kelihatan banyak aparatnya? Ada dimana-mana? Rakyat terintimidasi, kaget-kaget bolak balik ketemu polisi? Kok mau diganti lagi. Biyen mikir opo para pimpinan iku. Pemborosan!” Cak Sarijan komentar sambil bersungut-sungut.
“Polisi memang aneh-aneh Pak, tapi di mataku yang lebih aneh lagi buzzer rambut kribo yang ngaku habib itu. Kalau gak salah namanya Asegaf ya pak? Keturunan Arab, kan? Tapi kok menjelek-jelekkan orang Arab ya? Kan nenek moyangnya, orangtuanya, Arab? Berapa ya dia nerima bayaran untuk begitu?” Komentar Roni yang beragama Nasrani.
“Masalah sampeyan kabeh iku Pak, Buk, suka saling mengata-ngatai teman sendiri. Islam jadi terpecah belah. Di agamaku juga banyak sekali perbedaan, tapi tidak diobral di media atau medsos,” lanjutnya.
“Heh, ojok ngawur yo Ron. Sing mecah belah umat Islam itu bukan Islam pastinya. Bisa saja dia PKI, Konglomerat, pokoe sing pingin Islam gak bersatu. Kalao ada tokoh Islam yang jadi pengadu domba, yo iku cuma kaki tangan saja. Tapi memang gobloge wong Islam dewe yo, kok mau diadu koryok adu jangkrik,” Mak’e Sari, yang masih menggenggam botol kecapnya, menyelot.
“Yah, begitulah keadaan negara kita sekarang. Dipikir kok nglarakno ati, gak dipikir tambah nggregetno,” imbuh Ning Karomah. Dia kemudian balik kanan, masuk rumah, karena dipanggil anaknya yang sedang sekolah daring. Mak’e Sari juga ngeloyor balik, rupanya teringat masakannya yang menunggu dikecapi. Cak Sarijan dan Roni melanjutkan diskusi, tapi tak lama karena Roni masuk shift jaga. Mak’e Supri duduk manis jaga dagangannya, setia menunggu pembeli, yang kebanyakan tetangganya sendiri.
Percakapan rakyat, tak pernah memunculkan solusi. Wong para cerdik pandai yang mengusulkan solusi saja malah bisa ditahan dan masuk penjara. Apalagi wong cilik di kampung cepitan gedung-gedung pencakar langit di kota metropolitan. Suaranya cuma sayup-sayup, hilang terbawa angin. (15 Januari 2022)
*Sirikit Syah, pengamat media dan doktor komunikasi, tinggal di Surabaya.
Advertisement