PM Inggris Melunak Soal Brexit, Begini Sikap Pemimpin Uni Eropa
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, berusaha membangun sebuah koalisi di dalam negeri untuk mendukung pendekatan Brexit-nya. Kali ini, Johnson bersikap lebih ramah pada hari Kamis, 3 Oktober 2019, dibandingkan penampilan sebelumnya di House of Commons.
Berbeda sikap dengan Johnson, para pemimpin Eropa menyatakan langkah yang diusulkan PM Inggris itu belum memenuhi konsesi yang perlu guna mencapai sebuah kesepakatan.
Menurut Johnson, perubahan yang ditawarkan terkait pengaturan perdagangan antara Irlandia dan Irlandia Utara setelah Brexit, merupakan kompromi yang berarti. Ia berpendapat konsesi yang ditawarkannya harus menjawab kekhawatiran yang mendorong anggota parlemen Inggris menolak perjanjian Brexit sebelumnya tiga kali.
“Kami telah mengusahakan secara sungguh-sungguh dalam menjembatani perbedaan, mempertemukan perbedaan pendapat, dan melakukan lebih dari itu, sementara waktunya semakin sedikit,” katanya, dikutip VOA, Jumat 4 .
Menurut rencana, Inggris akan keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober. Namun hal tersebut bisa mundur jika Inggris sekali lagi minta perpanjangan. Johnson menegaskan, ia tetap merencanakan untuk meninggalkan Uni Eropa pada tanggal yang telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa persetujuan.
Begitu pun Parlemen Inggris telah meloloskan UU yang mewajibkan ia minta perpanjangan seandainya persetujuan Brexit tidak tercapai.
Sebelumnya, Boris Johnson tersudut karena keputusannya membekukan parlemen dinyatakan sebagai suatu pelanggaran hukum oleh Mahkamah Agung.
Keputusan ini menambah ketidakpastian terkait dengan krisis Brexit atau upaya Inggris keluar dari organisasi kerja sama Uni Eropa, sementara negara berusaha memutuskan bagaimana, kapan dan apakah memang akan meninggalkan Uni Eropa.
Majelis Rendah dan Majelis Tinggi ditutup -- atau istilah resminya dibekukan -- pada tanggal 10 September dan baru dijadwalkan bersidang kembali pada tanggal 14 Oktober.
Padahal Inggris dijadwalkan untuk meninggalkan Uni Eropa pada akhir bulan itu.
Tanggal pembekuan ini dipandang kontroversial karena telah mengurangi masa sidang parlemen sebelum Brexit terjadi, di mana anggota parlemen dapat bertanya atau mengkaji peraturan pemerintah sebelum pembekuan.
MA secara bulat menyatakan tindakan PM membekukan parlemen untuk melakukan tugasnya merupakan suatu pelanggaran dan pemerintahlah yang bertanggung jawab.
"Ini bukanlah suatu pembekuan normal ... ini menghambat parlemen untuk melakukan tugas konstitusionalnya selama lima minggu dari delapan minggu yang seharusnya tersedia dari akhir libur musim panas sampai hari keluar Uni Eropa pada tanggal 31 Oktober."
Mahkamah menolak pernyataan pengacara pemerintah yang mengatakan ini adalah "wilayah terlarang" bagi para hakim untuk campur tangan dalam perdebatan politik terkait dengan kapan dan bagaimana parlemen dibekukan. (voa/bbc)