Plus Minus Omnibus Law
Omnibus law sangat positif kehadirannya jika motif dan tujuannya adalah untuk keluar dari stagnannya ekonomi dan kontraproduktifnya hukum selama ini. Dalam kaitan aturan yang menghambat akselerasi pembangunan atau tidak progresif --meminjam istilah Prof. Satjipto Rahardjo-- omnibus law jelas sebuah jawaban.
Namun, paling tidak ada dua kekhawatiran utama dalam perspektif yuridis jika omnibus law itu tanpa memperhatikan asas-asas hukum yang telah puluhan tahun menjadi parameter “orang hukum” dalam menilai “layak dan tidaknya” sebuah hukum diberlakukan. Jika hal ini tidak diperhatikan dikhawatirkan “politik hukum” omnibus law itu telah terjebak pada hukum yang otoriter.
Terobosan naif (Naïeve Doorbraak)
Pertama, omnibus law hanya berprinsip pada asas “pasal karet” , ada juga yang menggunakan asas contrario actus yang sering dimaknai suka-suka pemerintah. Pemerintah yang membuat aturan, pemerintah pula yang bisa membatalkan atau menganggap pihak lain salah mempersepsikan (disini kesannya klaim hanya sepihak yaitu pemerintah).
Telah merebak isu bahkan undang-undang (omnibus law) ini akan diberlakukan dalam bentuk PP (Peraturan Pemerintah), mengingat jika melalui prosedur sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU MD 3 bahkan Tatib di DPR jelas akan memakan waktu yang lama.
Pemberlakukan melalui PP itu adalah jalan pintas. Tetapi harus diingat hal ini bisa jadi "terobosan naif", seperti tertuang dalam Bab XIII Ketentuan Lain-lain RUU Cipta Kerja, Pasal 170. Pasal ini dianggap mengarah kepada kondisi otoriterian.
Kedua, selama ini setiap RUU selalu berpayung hukum pada UU Nomor 11 Tahun 2012 yang mengutamakan prosedur (tahap-tahap dalam pembuatan undang-undang). Bahwa setiap pembentukan undang-undang harus berdasar pada tahapan-tahapan; inisiatif datang darimana, DPR atau Pemerintah. Undang-undang tersebut harus mengacu kepada landasan/alasan filosofis, sosiologis dan yuridis.
Kemudian RUU tersebut memiliki “Naskah Akademik” untuk menguji apakah undang-undang tersebut telah mempertimbangkan berbagai aspek yang dibutuhkan sekaligus yang tak kalah penting melibatkan stake holder terkait untuk mendapat masukan dan kritik. Terbatasnya pelibatan stakeholder menimbulkan kesan bahwa jangan-jangan ini memang hanya untuk pengusaha dan bukan untuk rakyat.
Jadi, masukan dari stakeholder dan para akademisi mutlak sehingga ketika diundangkan undang-undang tersebut “ideal”. Dikhawatirkan tahapan-tahapan ini hilang yang berarti bertentangan dengan UU Nomor 11 Tahun 2012 tersebut?
Ketiga, sejatinya omnibus law bukanlah sengaja menghilangkan substansi undang-undang lama (existing law).
Problem selama ini, aparatur pemerintah, terutama di daerah, lebih sering menggunakan --pendekatan secara informal untuk memfasilitasi atau menghambat izin terutama terkait isu lingkungan. Moral hazard paling banyak menurut beberapa studi adalah terutama tahap penyusunan AMDAL (Kompas, 27/12/2019).
Jika dirunut, proses penyusunan amdal menjadi ajang membangun hubungan informal antara aparatur dan perusahaan, bukan sebagai kajian akademik untuk memastikan pengelolaan dampak negatif aktivitas bisnis pada lingkungan (Bahrudin, 31/1/2019).
Intinya, hubungan baik secara informal menjadi penentu antara aparatur pemerintah dengan perusahaan untuk mendapatkan izin lingkungan. Untuk itu, perlu fasilitas dan biaya.
Di sini kesalahan prosedural pun dapat “diatur” sehingga izin dipastikan dapat keluar.Kesimpulannya, berbelit dan panjangnya proses penyusunan amdal bukanlah karena substansi regulasi, melainkan kuatnya proses informal yang melekat pada setiap tahap penyusunan amdal. Proses informal inilah yang seringkali terindikasi menjadi KKN, melemahkan hukum, yang berimplikasi langsung pula pada kualitas pekerjaan yang rendah.
Dari sini, dapat dikata menerapkan deregulasi seperti omnibus law bukan resep yang tepat karena aparatur negara yang “jual pengaruh” selalu punya trik/cara untuk me-regulasi informal yang sebenarnya a buse of power itu.
Keempat, omnibus law diharapkan dapat memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia. Sejauh ini, menurut data Bank Dunia Indonesia berada diranking ke-73 dari 180 negara. Jelas perlu kerja keras untuk bisa menjadi ranking 40-an seperti kemauan Jokowi. Dibayangi ketidakpastian ekonomi dunia yang trennya melambat Indonesia jelas membutuhkan stimulan berbagai hal untuk bangkit.
Bank Dunia sendiri menetapkan indikator 12 area regulasi, diantaranya regulasi memulai bisnis, perizinan konstruksi, listrik, registrasi kepemilikan, perkreditan, pajak, ketenagakerjaan. Dua area terakhir adalah indikator yang paling banyak dikritik serikat buruh. Menurut serikat buruh, indikator Bank Dunia dalam dua hal tersebut, yaitu pajak dan ketenagakerjaan adalah kesalahan kesimpulan.
Mengapa?
Pertama, efisiensi labor cost membahayakan perlindungan buruh kalau mensyaratkan PHK bebas hambatan, menurunkan jaminan sosial.
Indikator ini kontraproduktif dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan dapat memicu ketimpangan pendapatan serta merusak agenda penciptaan pekerjaan layak.
Dikatakan kontraproduktif juga karena menjadi ancaman ke ekonomi global yang terkesan menyeret negara berlomba menuju keterpurukan (race to the bottom). Semua didorong menghapus hambatan regulasi tanpa mempehitungkan akibatnya terutama pada kesejahteraan buruh dan degradasi lingkungan.
Kedua, indikator Bank Dunia menyarankan penurunan atau pemotongan tarif pajak. Indikator ini banyak pula didukung oleh sejumlah ahli di Indonesia (Bobby G.U,13/2/2020).
Indikator bidang pajak ini sejatinya asumsi yang salah, sebab menyarankan penurunan tarif pajak kepada pebisnis jelas akan mempersulit negara. Bagaimana mungkin negara sedang berkembang yang bekerja keras berjuang setengah mati menaikkan rasio pajak justru disuruh menurunkan pendapatan pajak?
Menurut Rekson Silaban (Kompas,23/1/2020), negara-negara tersebut akan kesulitan membiayai pembangunannya dan memperdalam utang luar negeri. Masalah utama yang dialami negara berkembang justru salah satunya akibat terlalu kecilnya penarikan pajak dari perusahaan trans-nasional, sementara pendapatan bidang lain relatif kecil.
Menyarankan penurunan tarif pajak sama artinya dengan menurunkan kemampuan pemerintah membiayai kebutuhan publik, jaminan sosial, pendidikan, riset dan sebagainya. Tampaknya, lebih baik jika Bank Dunia mendorong pemerintah merancang sistem perpajakan yang menguatkan negara dalam meningkatkan pajak. Bisa juga dengan terus mensosialisasikan pentingnya pajak untuk kesejahteraan bersama.
Bukan Sekadar Deregulasi
Pada akhirnya, kebijakan Omnibus Law diharapkan dapat menghilangkan faktor-faktor utama penghambat pertumbuhan ekonomi. Akan ada penyederhanaan regulasi dan perbaikan kelembagaan serta pengaturan pasar tenaga kerja yang lebih kompetitif.
Jika selama ini praktik regulasi informal tumbuh (yang sejatinya mengandung moral hazard) harus diakui itu akibat sistem regulasi Indonesia menganut command and control.
Pendekatan ini, memberi kewenangan penuh kepada aparatur negara untuk mendesain, menerapkan, berkreasi, dan mengawasi setiap regulasi. Yang menjadi soal, ketiga proses regulasi itu berada di ruang-ruang tertutup yang menyuburkan praktik informal ( a buse of power) atau melemahkan hukum.
Dalam konteks ini, omnibus law diterapkan bukan sekadar de-regulasi, melainkan mengubah cara memperlakukan regulasi secara lebih efisien, efektif dan progresif, semua merasakan manfaatnya demi untuk kesejahterakan bersama.
*) Erwin Moeslimin Singajuru adalahanggota DPR RI Periode 2008-2019.