Pleidoi, Panpel Arema FC Bersumpah Tak Niat Bunuh Aremania
Ketua Panpel Arema FC, Abdul Haris, salah satu terdakwa Tragedi Kanjuruhan mengajukan pleidoi, usai dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU), 6 tahun 8 bulan penjara.
Haris terlihat menangis ketika membacakan nota pembelaanya, dihadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, pada Jumat, 10 Februari 2023.
Dalam nota keberatanya, Haris bersumpah tidak memiliki niatan, untuk membunuh para Aremania yang tengah menonton pertandingan Arema FC melawan Persebaya.
“Yang Mulia, demi Allah tidak ada sedikitpun niat untuk melukai apalagi membunuh saudara saya, tidak ada niatan, adik-adiku, saudara-saudaraku yang setiap hari saya ketemu,” kata Haris. “Saya bukan seorang pembunuh apalagi merencanakan untuk membunuh dan melukai,” tambahnya.
Haris pun merasa sedih atas insiden yang telah terjadi di Stadion Kanjuruhan, pada 1 Oktober 2022, tersebut. Sebab, dia telah menganggap Aremania sebagai keluarganya.
“Saya sangat syok dan sedih atas insiden yang telah menimpa korban, Aremania dan Aremanita, dan suporter sepak bola di seluruh Indonesia,” jelasnya.
Oleh karena itu, Haris meminta maaf dan menyesal karena tidak bisa menjaga para Aremania. Secara pribadi, dia juga kehilangan keponakanya sendiri dalam Tragedi Kanjuruhan.
“Tangan saya selalu menengadah meminta kepada Allah SWT setiap selepas salat agar almarhum dan almarhumah diberikan tempat terbaik di sisi Yang Maha Kuasa,” ucapnya.
Pria 57 tahun tersebut mengaku jika Tragedi Kanjuruhan sangat berdampak kepada keluarganya. Hal itu semakin parah usai dirinya didakwa bersalah atas insiden itu.
“Ibu saya sakit-sakitan, anak saya yang pertama mengundurkan diri dari kuliah. Saya juga kehilangan pendapatan, saya satu-satunya yang tulang punggung ekonomi keluarga,” ujarnya.
Hari mengungkapkan, terkait permasalahan 43.000 tiket yang melebihi kapasitas stadion. Ia sudah melakukanya pada setiap pertandingan Arema FC, sejak 2008 silam.
Menurut Haris, selama itu pula pertandingan besar yang dijalani Arema FC dikandang berjalan lancar. Namun, cerita berbeda ketika aparat kepolisian menembakan gas air mata. “Pertandingan di stadion manapun di dunia apabila pengendalian massanya bersifat represif maka tak akan ada satu stadion pun yang mampu menahannya,” kata dia.
Dengan demikian, Haris memohon kepada Majelis Hakim agar memberikan keputusan dengan adil, yakni membebaskannya dari segala tuntutan yang saat ini menjeratnya.
“Saya juga memohon agar diri saya dibebaskan dari tuntutan ini karena tidak ada satupun saksi dalam fakta persidangan yang dapat membuktikan adanya kesalahan saya,” pungkasnya.
Sebelumnya, kuasa hukum terdakwa, Sumardhan mengatakan, jika penyebab utama atas terjadinya Tragedi Kanjuruhan bukan merupakan kesalahan mereka.
“Timbulnya korban meninggal, sesuai dengan narasi umum bahwa penyebabnya adalah penembakan gas air mata,” kata Sumardan, saat pembacaan nota keberatan, di PN Surabaya.
Dengan demikian, pihak yang bertanggung jawab atas tewasnya 135 korban meninggal dunia tersebut adalah pihak kepolisian yang menembakan gas air mata.
“Sudah diberitakan secara luas di media masa elektronik dan hasil temuan tim TGIPF yang diketuai Mahfud MD, serta hasil temuan komnas HAM,” jelasnya.
Selain itu, Sumardan menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni, Pasal 359 KUHP, Pasal 360 ayat (1) KUHP dan Pasal 360 ayat (2) KUHP, kepada kedua terdakwa tidak tepat.
Sebab, pembentuk Panitia Pelaksana dan Security Officer merupakan PT. Liga Indonesia Baru (LIB). Badan itu juga yang perintahkan penyelenggaraan laga Arema FC VS Persebaya.
“Dan dalam aturan komisi disiplin (PSSI) Pasal 142 menyebutkan, putusan badan yudisial PSSI tidak dapat dibawa oleh siapapun kedalam proses peradilan umum,” ucapnya.
“Artinya telah terjadi kesewenang-wenangan penuntut umum untuk memilih siapa saja yang dikehendakinya untuk tidak menjadi terdakwa,” tambahnya.