PKS Merapat ke Partai Demokrat, Ada Apa?
PKS (Partai Keadilan Sejahtera) merapat ke Partai Demokrat. Presiden PKS Sohibul Iman, Kamis malam mengunjungi Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono di kediamannya di Puri Cikeas, Kabupaten Bogor. Apakah kedua partai ini akan menggalang oposisi?
Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman datang sekitar pukul 18.46 WIB beserta para pengurus DPP PKS.
"Ini adalah rangkaian pertemuan silaturahim yang kami bangun waktu dimulai dari Nasdem, partai-partai lain termasuk ormas-ormas keagamaan. Jadi ini sekarang giliran kepada Demokrat," kata Sohibul Iman.
Sohibul menyebutkan bahwa PKS sudah meminta sejak Desember untuk bertemu dengan SBY tapi karena situasi SBY, PKS sangat memahami sehingga PKS menunggu.
"Beberapa hari lalu Mas Andi Mallarangeng mengontak saya, Pak SBY siap menerima saya hari ini," kata dia.
Pertemuan itu membicarakan situasi saat ini tantangan global hingga corona kemudian berimbas pada sejumlah aspek, harga minyak dan pasar modal.
"Lebih spesifik kita menyoroti beberapa hal terkait agenda keparlemenan. Ada Omnibus Law jadi bahasan kita. Juga terkait Parliamentary Threshold (PT). Kemudian terkait Pilkada dan Corona," ujar dia.
Sohibul ditemui langsung oleh SBY, kedua putranya dan para pengurus DPP Partai Demokrat.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan berbagai hal dibicarakan dalam pertemuan pimpinan kedua partai. Termasuk diskusi yang mendalam soal ambang batas parlemen (parliamentary threshold).
Ia mengatakan bahwa SBY, Demokrat, dan PKS memiliki pandangan yang sama soal ambang batas parlemen itu agar tidak dinaikkan menjadi 7 persen dari semula 4 persen.
"Kami punya pandangan yang sama. Kami menolak usulan 7 persen, apalagi kalau dimaksudkan hanya karena alasan penyederhanaan. Esensi PT yang sekarang ada 4 persen itu sudah ideal karena merepresentasikan keberagaman bangsa Indonesia," ujar Hinca.
Menurut Hinca, kedaulatan rakyat yang beragam harus terwakili di parlemen. Karena itu menyangkut esensi hak asasi warga negara untuk dipilih dan memilih.
"Jangan abaikan, ini perintah dan jaminan konstitusi," ujar dia.
Setelah diskusi panjang soal ambang batas parlemen, Hinca mengatakan SBY dan Demokrat juga berdiskusi panjang soal ambang batas partai politik dalam mencalonkan Presiden (Presidential Threshold) dengan PKS.
Ia mengatakan, SBY berpandangan bahwa idealnya Presidential Threshold itu adalah nol persen.
Bukan tanpa alasan SBY mengusulkan presidential threshold sebesar nol persen. Kata Presiden PKS Sohibul Iman, asumsi SBY dengan jumlah tersebut adalah berawal dari fakta bahwa pemilihan Presiden dan Legislatif akan diselenggarakan serentak.
"Itu logikanya (presidential threshold) harus nol, itu juga saya sepakat. Jangan diserentakkan pakai hasil pemilu lima tahun yang lalu. Mood rakyat di saat pilpres dengan mood rakyat di saat itu kan beda. Jadi harus nol," kata Sohibul Iman.
Sementara Hinca beranggapan, bahwa dalam pileg dan pilpres serentak diadakan ambang batas Presiden yang berbeda atau lebih tinggi dari ambang batas parlemen akan mematikan kesempatan anak bangsa untuk menggunakan haknya dalam memilih dan dipilih.
"Yang terbunuh di depan pintu gerbang stadion tak sempat bertanding," kata Hinca.
Ia mengatakan bahwa usulan dari Partai Demokrat adalah disamakan saja antara Presidential Threshold dengan Parliamentary Treshold.
"Artinya parpol yang lolos ke parlemen secara otomatis berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden seperti tahun 2004 lalu. Setelah kami sampaikan pandangan ini, PKS juga setuju," ujar Hinca.
Hal itu diamini oleh Presiden PKS Sohibul Iman. PKS mengusulkan agar presidential threshold sama dengan usulan ambang batas parlemen, yakni antara empat hingga lima persen. "Sehingga saya katakan Pak, empat sampai lima persen itu yang paling tepat. Kalau empat sampai lima persen, representasi keragaman Indonesia itu terwakili oleh partai," ujar Sohibul.
Dengan asumsi ambang batas parlemen tersebut, dia menjelaskan, maka sekitar delapan hingga sembilan partai yang ada di parlemen.
"Delapan, sembilan, sepuluh partai itu cukup merepresentasi. Tapi kalau lebih tinggi lagi (ambang batasnya) mungkin partai hanya enam, lima itu saya kira akan menghilangkan representasi kemajemukan Indonesia," jelas dia. (ant)